Skip ke Konten

Bahasa Inggris dengan Cinta: Merawat Etika Lokal di Kelas Global

Nur Asiza (Dosen  Pendidikan Bahasa Inggris)
27 Juli 2025 oleh
Bahasa Inggris dengan Cinta: Merawat Etika Lokal di Kelas Global
Suhartina

Di tengah derasnya arus Artificial Intelligence (AI) dan dominasi budaya asing dalam pendidikan, nilai-nilai lokal dalam pembelajaran—terutama Bahasa Inggris—sering kali terpinggirkan. Bahasa Inggris memang merupakan pintu gerbang menuju dunia internasional. Namun, pembelajaran bahasa ini tidak boleh mencabut peserta didik dari akar budayanya sendiri. Di sinilah pentingnya menghadirkan pendidikan bahasa yang berkarakter—yang tidak hanya mengasah kemampuan linguistik, tetapi juga menumbuhkan etika, cinta, dan jati diri lokal.

Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) menawarkan inovasi pendidikan yang relevan dalam konteks ini. KBC memuat lima nilai utama: cinta kepada Tuhan, sesama, ilmu, lingkungan, serta bangsa dan negara. Dalam pembelajaran Bahasa Inggris, kelima nilai ini dapat menjadi fondasi yang kokoh untuk membentuk peserta didik yang tidak hanya fasih berbahasa, tetapi juga memiliki kepribadian luhur dan cinta tanah air.

Jika nilai-nilai cinta dalam KBC diintegrasikan dengan kearifan lokal seperti ajaran La Pagala—yang dikenal melalui sosok bijak Nene’ Mallomo dari etnis Bugis—maka pembelajaran Bahasa Inggris menjadi lebih bermakna. Nene’ Mallomo dikenal dengan prinsip hidupnya yang berbunyi, “Resopa temmangingngi, namalomo naletei pammase dewata” (hanya dengan kerja keras dan kesungguhan, rahmat Tuhan akan turun). Prinsip ini dapat menjadi pijakan karakter peserta didik dalam belajar bahasa asing.

Tilaar (2022) menyatakan bahwa pendidikan yang bermakna tidak hanya terletak pada transfer pengetahuan, tetapi juga pada bagaimana nilai-nilai lokal dijadikan dasar dalam proses pembelajaran. Bahasa Inggris sebagai bahasa asing seharusnya diwarnai dengan nilai-nilai lokal agar peserta didik tetap membumi. Dalam konteks ini, ajaran Nene’ Mallomo menjadi penopang penting dalam membentuk etika, daya juang, dan identitas peserta didik Bugis.

Mengapa nilai lokal dan cinta penting dalam kelas Bahasa Inggris? Karena bahasa adalah jembatan budaya. Saat peserta didik mempelajari Bahasa Inggris, mereka juga sedang mengenal budaya Barat. Jika tidak diimbangi dengan penanaman nilai-nilai lokal, proses ini bisa menimbulkan kekaguman berlebihan terhadap budaya asing—yang pada akhirnya mengarah pada westernisasi dan kehilangan jati diri. Di sinilah peran guru tidak hanya sebagai pengajar speaking, reading, dan vocabulary, tetapi juga sebagai penjaga nilai—value keeper.

Pengajaran multikultural dalam kelas bahasa seharusnya tidak sekadar mengenalkan budaya asing, tetapi juga menanamkan penghargaan terhadap budaya sendiri (Banks, 2020). Pendekatan ini akan menghasilkan peserta didik yang mampu menjadi warga global tanpa tercerabut dari akar budaya. Maka, KBC dan filosofi lokal seperti ajaran Nene’ Mallomo dapat menjembatani antara kompetensi berbahasa dan penguatan etika lokal.

Dalam praktiknya, misalnya pada kelas speaking atau writing, pendidik dapat meminta peserta didik menulis deskripsi tokoh lokal seperti Nene’ Mallomo dalam Bahasa Inggris. Ini tidak hanya melatih keterampilan berbahasa, tetapi juga memperkenalkan mereka pada kearifan lokal. Dalam diskusi kelompok, peserta didik bisa mendebatkan isu sosial dengan mengaitkan nilai kejujuran dan keadilan ala Nene’ Mallomo, menggunakan ekspresi Bahasa Inggris yang sopan dan bermartabat.

Nilai cinta kepada ilmu dan kerja keras dapat ditanamkan saat peserta didik menghadapi kesulitan dalam belajar. Proses pembelajaran bahasa sejatinya memerlukan ketekunan, niat yang kuat, serta kesabaran yang tinggi—sejalan dengan falsafah resopa temmangingngi. Sementara itu, cinta kepada lingkungan dan sesama dapat muncul dalam topik pembelajaran yang menyentuh isu lingkungan atau proyek kecil (small project) yang dikemas dalam Bahasa Inggris dengan konteks lokal.

Mendidik dengan cinta bukan sekadar slogan. Ia adalah komitmen sadar untuk menanamkan nilai-nilai luhur dalam setiap pelajaran—termasuk dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Kini saatnya kita tidak memisahkan penguasaan bahasa dengan pendidikan karakter. Di masyarakat Bugis, sinergi antara cinta, etika lokal, dan semangat kerja keras sangatlah dibutuhkan, agar bahasa asing tidak terasa asing. Sebab pada akhirnya, keberhasilan pendidikan bukan hanya soal nilai ujian, tetapi tentang sejauh mana peserta didik menjadi manusia yang utuh—cakap berbahasa, kuat dalam karakter, dan dalam dalam cinta.



Bahasa Inggris dengan Cinta: Merawat Etika Lokal di Kelas Global
Suhartina 27 Juli 2025
Share post ini
Arsip