Tanah air bukan sekadar tempat kita lahir, melainkan rahim kedua yang menumbuhkan kita, memberikan udara untuk bernapas, air untuk menghidupi, bumi untuk menapak setiap langkah, serta langit untuk bermimpi. Ia memeluk kita dalam senyap, menopang kita dalam lelah, dan mengajarkan arti pulang meski kaki telah jauh melangkah.
Dalam pandangan Islam, alam semesta bukan sekadar panggung tempat manusia hidup, tetapi amanah langsung dari Allah. Langit yang biru, tanah yang subur, air yang mengalir, dan pepohonan yang rindang adalah titipan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Ekoteologi merupakan cara pandang yang menghubungkan iman dengan lingkungan, mengajarkan bahwa merawat alam adalah ibadah yang pahalanya mengalir, sebagaimana mengalirnya sungai yang memberi kehidupan pada setiap tetesnya.
Menjaga lingkungan berarti juga menjaga tanah air sebab tanah air bukan hanya batas wilayah di peta, melainkan juga udara yang kita hirup, hujan yang menyuburkan tanah, hutan yang meneduhkan, dan laut yang memeluk pantai-pantainya. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad ﷺ begitu mencintai Makkah. Saat harus meninggalkan kota itu, beliau menatapnya penuh haru sambil berkata: "Mā aṭyabaki min baladin wa aḥabbaki ilayya, wa lawlā anna qawmī akhrajūnī minki mā sakantu ghayrak" “Betapa baiknya engkau, betapa aku mencintaimu. Seandainya kaummu tidak mengusirku darimu, aku tak akan tinggal di tempat lain.”
Cinta tanah air adalah fitrah yang bersemayam di hati setiap insan. Syekh Ismail Haqqi al-Hanafi dalam Ruh al-Bayan menyebutnya bagian dari iman. Nabi ﷺ pun berdoa: "Allāhumma ḥabbib ilaynā al-Madīnah kamā ḥabbabta ilaynā Makkah aw asyadda" “Ya Allah, tanamkanlah cinta kami kepada Madinah sebagaimana Engkau tanamkan cinta kami kepada Makkah, bahkan lebih dari itu.” Pulang dari safar, beliau mempercepat tunggangannya ketika menatap tembok Madinah; rindu itu memanggil, seperti anak yang tak sabar memeluk rumahnya.
Oleh karena itu, jika kita mengaku mencintai negeri ini, kita harus menjaga alamnya. Tidak mungkin cinta di bibir berjalan seiring dengan tangan yang merusak. Sungai yang kotor, hutan yang gundul, dan udara yang tercemar adalah tangisan tanah air yang terabaikan. Sayangnya, keserakahan manusia sering membuat cinta negeri berubah menjadi nafsu menguasai. Gunung dikeruk, tambang dibuka tanpa kendali, hutan dibabat habis demi keuntungan sesaat. Padahal, setiap lubang tambang yang menganga adalah luka di tubuh ibu pertiwi, setiap pohon yang tumbang tanpa diganti adalah nafas yang hilang dari paru-paru bumi. Allah sudah mengingatkan: “Janganlah membuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS Al-A’raf: 56).
Cinta tanah air yang sejati membuat kita ingin melihat negeri ini tetap hijau, segar, dan makmur. Menanam pohon adalah puisi sunyi yang ditulis di tanah, membersihkan sungai adalah doa yang mengalir bersama air, dan melindungi hutan adalah sujud panjang demi generasi yang belum lahir. Sebab tanah air yang kita cintai hari ini adalah warisan yang akan kita serahkan esok hari.
Bumi yang kita pijak adalah saksi bisu atas setiap perbuatan kita. Ia mencatat jejak kebaikan mereka yang menanam dan memelihara, tetapi juga merekam luka dari mereka yang menebang tanpa menanam, menggali tanpa menutup, mengambil tanpa mengembalikan.
Tanah air adalah ibu yang sabar, memelihara meski sering disakiti. Namun, bila kerusakan terus dibiarkan, ia akan menjerit dalam bahasa bencana banjir, longsor, kekeringan, dan udara panas yang mencekik semua itu sejatinya adalah seruan agar kita kembali merawatnya.
Mencintai tanah air berarti menjaga keseimbangannya. Sebagaimana tubuh yang sehat memerlukan keseimbangan antara makan dan bergerak, tanah air yang sehat memerlukan keseimbangan antara mengambil dan memberi, memanfaatkan dan memelihara.
Pada akhirnya, cinta tanah air bukan hanya soal lagu kebangsaan atau bendera yang berkibar. Ia adalah pilihan sehari-hari: membuang sampah pada tempatnya, menghemat air, menanam pohon, tidak merusak laut, serta menolak keserakahan yang menggadaikan masa depan negeri demi keuntungan sesaat. Cinta itu tidak selalu berteriak di mimbar, tapi sering berbisik di hati mengajak kita merawat rumah besar bernama Indonesia.