Di antara gemerlap sambutan kedatangan Prof. Dr. AG. H. Nasaruddin Umar di Parepare, ada satu seruan yang terdengar seperti percikan kecil. Seruan itu disampaikan santai, tanpa mikrofon khusus, hanya lewat ucapan ringan di sela obrolan WhatsApp Group.
Silakan bapak-ibu dosen malam ini dikonsep tulisannya. Bisa besok pagi dimuat di web kampus, web prodi masing-masing, atau di media daring lainnya,” begitu kata Pak Rektor, Prof. Dr. Hannani, M.Ag.
Tidak ada yang menyangka, kalimat sederhana itu akan mengguncang suasana akademik dengan cara yang berbeda. Biasanya, seruan menulis hanya berakhir sebagai imbauan, jarang benar-benar diikuti. Namun malam itu, seruan ini seperti meneteskan air di tanah kering—meresap, menghidupkan, dan menumbuhkan sesuatu yang segar. Dan yang tumbuh itu bukan sekadar tulisan, melainkan cinta pada literasi.
Sejak malam itu, tulisan demi tulisan muncul, mengalir deras bak air sungai usai diguyur hujan. Tulisan Opini Dosen yang terkumpul dan terbit mencapai 92 tulisan hanya dalam waktu 3 hari. Tulisan-tulisan itu tidak hanya lahir dari kewajiban, tetapi dari gairah yang tulus. Ada yang menulis tafsir, mencoba memaknai ulang ayat-ayat cinta dalam Al-Quran, ada pula yang membacanya lewat sudut pandang antropologi, menjahit nilai-nilai budaya dengan semangat kurikulum cinta. Beberapa tulisan bahkan melompat ke ranah yang tak terduga, seperti menafsirkan domino sebagai metafora relasi sosial dan keberlanjutan nilai. Semua itu terjadi begitu saja, tanpa komando resmi, seolah literasi telah menemukan rumahnya. Seruan sederhana itu ternyata telah menjadi pemantik gerakan menulis penuh cinta.
Dan disitulah Kurikulum Cinta benar-benar terasa wujudnya. Ia tidak lagi sekadar teori yang dibicarakan dalam ruang seminar, melainkan hadir lewat kata-kata yang ditulis dengan hati. Cinta pada ilmu menjelma dalam setiap paragraf, dalam setiap kalimat yang disusun dengan teliti. Para dosen menulis bukan untuk mengejar angka kredit, tetapi karena ingin berbagi cahaya pengetahuan. Mereka menulis bukan karena perintah struktural, tetapi karena dorongan batin yang tumbuh secara alami. Tulisan-tulisan itu menjadi bukti bahwa cinta tidak selalu harus diumumkan; cukup ditulis dan disebarkan, maka ia akan menyentuh banyak hati. Begitulah cara Kurikulum Cinta bekerja: diam-diam, tetapi menggerakkan.
Suasana akademik pun berubah, seolah mendapatkan napas baru. Literasi menjadi lebih hidup, lebih hangat, dan lebih manusiawi. Tidak ada lagi jarak yang kaku antara disiplin ilmu—filsafat, tafsir, pendidikan, bahkan antropologi kini berdialog melalui tulisan. Masing-masing penulis menghadirkan perspektifnya sendiri, seperti bunga liar yang tumbuh di padang rumput: berbeda warna, tetapi saling memperindah. Dan bukankah cinta memang selalu begitu? Cinta tumbuh dalam keberagaman, tidak seragam tetapi justru memberi kehidupan. Di titik inilah, kita melihat bahwa literasi adalah salah satu bentuk paling sederhana dari cinta.
Redaksi mencatat momen ini sebagai sejarah kecil, tetapi penting. Sejarah ketika satu seruan sederhana berhasil menggugah kesadaran banyak orang untuk menulis. Sejarah ketika kampus tidak hanya menjadi tempat belajar teori, tetapi juga tempat menyemai cinta melalui kata. Mungkin inilah awalnya: sebuah kampus yang mulai sadar bahwa menulis bukan sekadar tugas, melainkan cara mencintai ilmu dan manusia. Karena tulisan yang lahir dari cinta akan selalu menemukan jalannya, bahkan ketika ia hanya dimuat di web sederhana. Kurikulum Cinta, ternyata, bukan hanya tentang mengajar, tetapi juga tentang menghidupkan hati yang menulis. Dan dari Kota Cinta Parepare, barangkali gerakan kecil ini akan menyebar, menjadi denyut literasi baru di banyak tempat.