Kemerdekaan bangsa tidak hanya diukur dari bebasnya dari penjajahan, tetapi dari keberaniannya menata masa depan dengan visi jelas dan langkah berani. Demikian pula perguruan tinggi. Visi yang kita rumuskan bersama" betapapun mulia" akan tetap menjadi hiasan dinding jika tidak diterjemahkan menjadi aksi nyata di kelas, laboratorium, desa binaan, dan jejaring global.
Kita telah lama menggaungkan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Namun pertanyaannya: apakah kita sungguh merdeka secara akademik, atau masih nyaman terkurung dalam pola lama yang membelenggu kreativitas? Merdeka belajar bukan sekadar kebebasan memilih mata kuliah atau studi lintas kampus. Ia adalah keberanian mendobrak kurikulum usang, menjembatani jurang teori–praktik, dan memberi ruang bagi mahasiswa menemukan jati dirinya sebagai pembelajar seumur hidup.
Profil lulusan yang kita canangkan—kritis, kreatif, adaptif, berkarakter—sering berhenti di atas kertas. Energi kita banyak tersita pada administrasi akreditasi, sementara pembelajaran transformatif belum sepenuhnya menjadi budaya. Kurikulum kita masih seperti peta indah yang jarang digunakan. CPL dan CPMK tersusun rapi, tetapi belum menjadi kompas yang membimbing perjalanan akademik. Padahal, jika dijalankan dengan kesungguhan, keduanya adalah jembatan emas antara mimpi lulusan masa depan dan keterampilan abad ke-21.
Kebijakan MBKM dan RPL sejatinya membuka gerbang kemerdekaan belajar. Mahasiswa dapat menyeberang lintas prodi, kampus, bahkan negara; pengalaman kerja dan pembelajaran nonformal diakui setara akademik. Sayangnya, pintu lebar ini sering kita sempitkan sendiri melalui birokrasi berliku, pemahaman setengah matang, atau mentalitas enggan berubah, menjadikannya slogan, bukan ekosistem.
Begitu pula KKN dan PPL. Keduanya adalah “ritual kemerdekaan” mahasiswa: di desa mereka belajar mendengar, di sekolah mereka belajar membimbing, di lapangan mereka belajar menghadapi keterbatasan. Pertanyaannya, apakah ini sungguh kita manfaatkan untuk membentuk karakter sosial mendalam, atau sekadar formalitas pengisi SKS?
Masa depan kampus tidak ditentukan oleh tebalnya borang akreditasi, tetapi oleh hidupnya budaya mutu. Akreditasi hanyalah cermin; kualitas sejati lahir dari keberanian memperbarui diri, membuka diri pada kritik, dan menantang status quo. Kampus yang merdeka bukanlah yang penuh aturan, tetapi yang kaya ruang untuk tumbuh.
Kita memerlukan jalan baru, jalan di mana visi tidak berhenti di dokumen renstra, tetapi menjadi napas di setiap kebijakan, perkuliahan, penelitian, dan pengabdian. Jalan di mana dosen adalah mentor yang membebaskan; mahasiswa, pencipta gagasan; kampus, ekosistem pembelajaran adaptif dan berdaya saing global.
Kemerdekaan sejati adalah saat setiap lulusan melangkah keluar gerbang kampus dengan keyakinan: aku siap berkarya, memimpin, dan memberi makna. Itulah kemerdekaan yang kita perjuangkan, bukan sekadar simbol, melainkan kontribusi nyata bagi masyarakat, bangsa, dan dunia.
Di bulan kemerdekaan ini, kita diingatkan: kemerdekaan bukan hadiah, melainkan amanah. Amanah untuk melahirkan generasi yang cerdas dan berani, terampil dan peduli, siap bekerja sekaligus memimpin perubahan. Pada akhirnya, kemerdekaan akademik sejati adalah ketika kampus menjadi tempat di mana ide-ide besar lahir, tumbuh, dan mengubah dunia.