Skip ke Konten

Dosen dan Guru di Tengah Retorika Negara

Muajiz Muallim (Dosen Pendidikan Bahasa Inggris IAIN Parepare)
11 Agustus 2025 oleh
Dosen dan Guru di Tengah Retorika Negara
Suhartina

“Menjadi dosen atau guru tidak dihargai karena gajinya nggak besar.”

Kalimat ini bukan datang dari keluhan seorang pendidik di warung kopi, melainkan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Diucapkan di forum publik, pernyataan itu terdengar seperti pengakuan jujur. Tetapi di sisi lain, ada ironi yang sulit diabaikan: jika pemerintah tahu gaji guru dan dosen rendah, mengapa persoalan ini terus dibiarkan?  Mengapa negara justru sibuk melanggengkan retorika keberpihakan pendidikan, sementara pilar utamanya dipaksa memikul beban yang kian berat?

Manis di Pidato, Pahit di Kenyataan

Hampir setiap tahun, pemerintah mengulang narasi yang sama: pendidikan adalah prioritas nasional, guru dan dosen adalah ujung tombak kemajuan bangsa. Pada Hari Guru, Hari Pendidikan Nasional, atau di panggung-panggung resmi, jargon seperti “pendidikan adalah investasi masa depan” selalu bergema.

Namun, begitu kita menengok ke kebijakan nyata, keberpihakan itu terasa kabur. Reformasi kurikulum, sistem akreditasi, hingga digitalisasi pelaporan memang gencar dijalankan. Tetapi kesejahteraan pendidik-syarat paling dasar untuk menjaga mutu pendidikan-justru sering menjadi nomor sekian.

Kesejahteraan yang Tak Pernah Benar-Benar Prioritas

Kenyataannya, guru dan dosen di Indonesia hidup dalam ketimpangan yang mencolok. Miris, tapi nyata. 1) Guru honorer masih banyak yang digaji di bawah UMR, bahkan ada yang hanya menerima ratusan ribu rupiah sebulan, tanpa kepastian status. 2) Dosen non-ASN di berbagai kampus dibayar jauh dari layak, meskipun beban mengajarnya berat dan administrasinya menumpuk. 3) Dosen ASN memang memiliki gaji pokok dan tunjangan, tetapi tuntutan publikasi internasional, pengabdian, dan laporan kinerja (BKD, SISTER, akreditasi, hibah) terus membengkak, tanpa diiringi peningkatan insentif yang memadai.

Pernyataan Sri Mulyani bahwa rendahnya gaji adalah “tantangan bagi keuangan negara” terdengar seperti penjelasan, tetapi sekaligus pembenaran. Jika ini dianggap tantangan, sampai kapan harus dibiarkan tanpa terobosan?

Beban Kerja yang Menguras Energi

Persoalan pendidik bukan hanya soal gaji. Beban kerja mereka sering kali tidak masuk akal. Dosen diminta mengajar, meneliti, mempublikasikan di jurnal bereputasi, melaksanakan pengabdian masyarakat, dan mengurus setumpuk laporan administratif. Guru di sekolah harus mengajar sesuai kurikulum baru, mempersiapkan perangkat ajar, mengikuti pelatihan, serta melaporkan data berulang kali ke berbagai sistem digital. Akibatnya, waktu dan energi yang seharusnya untuk membimbing siswa dan mahasiswa terkuras habis untuk memenuhi target administrasi.

Ironi Anggaran: Saat Elit Dimanjakan

Ironi paling tajam muncul ketika kita menengok distribusi anggaran negara. Tahun 2025, anggaran pendidikan ditetapkan sebesar Rp724,3 triliun, atau 20% dari APBN. Angka ini terlihat besar, tetapi tidak otomatis berarti gaji guru dan dosen naik. Menurut analisis Paramadina Policy Institute, sebagian besar dana tersebut mengalir untuk transfer daerah dan pendidikan kedinasan, sedangkan porsi yang benar-benar dikelola Kemendikbudristek dan Kementrian Agama sebagai pengelola pendidikan relatif kecil.

Di saat yang sama, kita melihat berita kenaikan tunjangan untuk: 1) Pejabat kementerian dan lembaga negara; 2) Komisaris BUMN dengan honor ratusan juta per bulan, meski sebagian perannya hanya seremonial. 3) Anggota parlemen dengan fasilitas komunikasi, perumahan, transportasi, dan perjalanan dinas yang terus mengalir.

Kontras ini terlalu jelas untuk diabaikan: pendidik yang membentuk masa depan bangsa dibiarkan berhemat, sementara elite birokrasi dan politik dimanjakan.

20% APBN: Angka yang Menipu Mata

Konstitusi memang mengamanatkan alokasi minimal 20% APBN untuk pendidikan. Tetapi jika kita melihat ke lapangan, banyak guru dan dosen yang tak merasakan perubahan berarti. Anggaran itu memang membiayai gedung sekolah, program pelatihan, dan administrasi, namun porsi untuk meningkatkan gaji pendidik nyaris tak bergerak.

Keberpihakan tidak bisa diukur hanya dari angka besar di dokumen APBN. Keberpihakan harus terasa di meja makan guru dan dosen, di kemampuan mereka membayar biaya hidup, dan di ruang waktu yang cukup untuk mereka mengajar dan membimbing dengan sepenuh hati.

Pengakuan atau Retorika Belaka?

Pengakuan Sri Mulyani seolah berkata: “Kami tahu masalahnya.” Tapi tanpa kebijakan yang konkret, pengakuan itu hanya menjadi retorika. Keberpihakan sejati menuntut langkah nyata: 1) Menetapkan standar gaji yang layak bagi semua guru dan dosen, tanpa diskriminasi status; 2) Memangkas beban administratif yang tidak relevan dengan inti profesi; 3) Menata ulang distribusi anggaran agar porsi kesejahteraan pendidik menjadi prioritas, bukan sisa.

Dari Podium ke Kebijakan

Pendidikan Indonesia bertahan bukan karena kebijakan yang sempurna, melainkan karena daya juang guru dan dosen yang bekerja di tengah keterbatasan. Jika negara benar-benar ingin membangun “generasi emas”, keberpihakan kepada pendidik harus diwujudkan di meja anggaran, bukan hanya di podium pidato.

Guru dan dosen tidak butuh simpati yang dibungkus retorika. Mereka butuh bukti- gaji yang layak, beban yang manusiawi, dan penghargaan yang sepadan.

Bagi kita, para akademisi dan masyarakat, diam berarti membiarkan retorika menggantikan realita. Saatnya suara kita menuntut perubahan karena tanpa pendidik yang sejahtera, semua cita-cita pendidikan hanyalah ilusi.

Dosen dan Guru di Tengah Retorika Negara
Suhartina 11 Agustus 2025
Share post ini
Arsip