Skip ke Konten

Epistemologis Cinta: Kritik dan Tawaran dalam Diskursus Pemikiran Islam

Prof. Dr. Sitti Jamilah Amin, M.Ag. - Guru Besar Ilmu Pemikiran Islam IAIN Parepare
26 Juli 2025 oleh
Epistemologis Cinta: Kritik dan Tawaran dalam Diskursus Pemikiran Islam
Admin

Di tengah gemuruh dunia pendidikan yang kini lebih banyak menekankan pencapaian akademis dan keterampilan teknis, kita sering kali lupa pada sisi paling mendasar dari tujuan pendidikan itu sendiri: membentuk pribadi yang utuh. Bukan sekadar pintar secara intelektual, tapi juga punya kepekaan rasa, budi pekerti yang mulia, dan hati yang penuh kasih. Dari sinilah lahir gagasan "Kurikulum Cinta"—sebuah pendekatan yang menjadikan cinta sebagai dasar utama dalam proses belajar dan mengajar.

Akar Teologis dalam Islam, cinta bukan sekadar urusan rasa atau hal romantis belaka. Cinta—atau mahabbah—adalah bagian yang tak terpisahkan dari keimanan itu sendiri. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sejak awal, pendidikan dalam Islam dibangun di atas pondasi cinta: cinta kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada sesama manusia, dan juga kepada alam semesta. Semangat cinta inilah yang menjadi sumber kekuatan spiritual—menyuburkan ilmu, menumbuhkan adab, dan menggerakkan amal. Puncak spiritualitas dalam Islam tercapai saat seseorang benar-benar mencintai Allah, dan lebih indah lagi—ketika cintanya dibalas, dan ia pun dicintai oleh Allah. Inilah hubungan paling luhur yang bisa dimiliki seorang hamba, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Ma’idah: 54).

Kurikulum Cinta yang berakar pada nilai-nilai Islam tidak sekadar mengajarkan apa yang benar atau salah. Ia melangkah lebih jauh—mengajak peserta didik memahami mengapa kebaikan itu begitu berharga untuk dicintai dan diperjuangkan. Bukan hanya mengenalkan “hukum”, tapi juga menggali “hikmah” di balik setiap ajaran. Kurikulum ini menumbuhkan empati, rahmah (belas kasih), dan cinta kasih sebagai fondasi dalam membangun hubungan antarmanusia—membentuk generasi yang bukan hanya cerdas, tapi juga penuh welas kasih

Dalam pemikiran Islam klasik, tokoh besar seperti Imam Al-Ghazali menekankan bahwa adab harus diajarkan lebih dulu sebelum ilmu. Bagi Al-Ghazali, cinta adalah puncak tertinggi dalam hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Dalam konteks pendidikan, cinta berperan sebagai jembatan spiritual yang menghubungkan guru dan Peserta didik. Dengan begitu, proses belajar tidak hanya menjadi perpindahan pengetahuan yang kering, tetapi menjadi perjalanan yang penuh makna—diwarnai keteladanan, kehangatan, dan kasih sayang.

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Ibn Qayyim Al-Jauziyyah dalam karya monumentalnya, Madarij As-Salikin. Ia menjelaskan bahwa pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang mampu menumbuhkan mahabbah—rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan segala sesuatu yang dicintai-Nya. Dalam kerangka ini, Kurikulum Cinta bukan sekadar konsep yang relevan, tapi menjadi sesuatu yang sangat penting—bahkan esensial—untuk membangkitkan kembali peradaban Islam yang berakar pada nilai-nilai spiritual, kasih sayang, dan kemuliaan akhlak.

Sayangnya, realitas pendidikan kita saat ini lebih banyak berjalan secara mekanistik dan berorientasi pada hasil semata. Banyak peserta didik belajar bukan karena mereka mencintai ilmu, tapi karena tekanan nilai dan tuntutan akademis. Di sisi lain, tak sedikit guru yang mengajar karena tuntutan administratif, bukan karena panggilan hati atau cinta pada profesinya. Di sinilah Kurikulum Cinta muncul—sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan yang kering makna itu, sekaligus sebagai tawaran solusi yang berpijak pada nilai-nilai Islam: menghidupkan kembali semangat belajar yang dilandasi cinta, bukan sekadar kewajiban.

Seorang filsuf dan ilmuwan Muslim ternama Ibnu Sina, memandang cinta sebagai kekuatan pendorong dalam diri manusia untuk mengejar kebenaran. Dalam karya-karyanya seperti Kitab Al-Najat dan Al-Isharat wa Al-Tanbihat, ia menekankan bahwa ilmu akan lebih mudah diserap jika didasari oleh dorongan batin yang kuat—salah satunya adalah rasa cinta terhadap ilmu itu sendiri.

Menurutnya, cinta bukan sekadar urusan hati atau spiritualitas, tapi juga memiliki sisi rasional. Ketika seorang peserta didik benar-benar mencintai proses belajar, kemampuan intelektualnya akan tumbuh lebih pesat. Karena itulah, pendekatan pembelajaran yang berlandaskan cinta bisa menumbuhkan motivasi dari dalam diri (motivasi intrinsik), bukan sekadar dorongan dari luar seperti ujian atau nilai.

Dalam Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun menyoroti betapa pentingnya pendidikan sebagai pilar utama dalam membangun peradaban. Ia cukup vokal mengkritik cara mengajar yang kaku dan penuh tekanan, karena menurutnya, pendekatan seperti itu justru bisa mematikan kreativitas dan antusiasme anak dalam belajar. Bagi Ibn Khaldun, proses belajar seharusnya menumbuhkan rasa senang dan cinta terhadap ilmu, bukan malah menimbulkan ketakutan atau rasa terpaksa.

Pemikiran ini sejalan dengan konsep "kurikulum cinta"—pendidikan yang membebaskan, bukan yang mengekang. Ia percaya, cinta terhadap ilmu dan kedekatan emosional dengan guru adalah kunci untuk melahirkan generasi yang mampu membangun peradaban, bukan sekadar lulusan yang mengejar pekerjaan.

Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, memandang cinta (mahabbah) sebagai jantung dari proses tarbiyah atau pendidikan ruhani. Menurutnya, perubahan sosial yang sejati hanya bisa terwujud jika dimulai dari hati—dari hubungan antarmanusia yang tulus dan penuh kasih. Dalam berbagai tulisannya, ia sering menekankan bahwa seorang guru atau murabbi tak hanya berperan sebagai pengajar, tapi juga sebagai pembimbing ruhani yang mencintai murid-muridnya dan juga dicintai oleh mereka.

Ia pernah mengatakan, “Tarbiyah bukan sekadar menyampaikan, tetapi menghidupkan.” Dan energi penghidup itu, menurutnya, adalah cinta. Bagi Hasan Al-Banna, pendekatan pendidikan yang dilandasi cinta akan melahirkan pribadi yang utuh—yang pikirannya tajam, hatinya lembut, dan tindakannya nyata.

Berikut beberapa prinsip Kurikulum Cinta yang berakar pada pemikiran Islam:

1. Tauhid sebagai Basis Epistemologis Cinta

Dalam perspektif Islam, proses pendidikan merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tauhid menjadi landasan utama yang memberikan arah dan makna terhadap seluruh aktivitas belajar. Cinta kepada Allah bukan sekadar emosi spiritual, melainkan kerangka teologis yang mengilhami tujuan dan arah pendidikan.

2. Cinta sebagai Pendekatan Pedagogis

Metodologi pengajaran dalam Islam menempatkan cinta sebagai prinsip sentral. Pendidikan yang dilandasi oleh kasih sayang, kesabaran, dan keteladanan mencerminkan pendekatan profetik Nabi Muhammad SAW dalam membina para sahabat. Dengan demikian, pembelajaran menjadi proses yang transformatif secara emosional dan intelektual.

3. Relasi Edukatif yang Humanistik antara Guru dan Peserta didik

Guru dalam Islam tidak hanya berperan sebagai pengajar (‘alim), tetapi juga sebagai murabbi—pembimbing ruhani dan moral. Relasi antara guru dan murid dibangun atas dasar kemanusiaan, kepercayaan, dan empati, bukan semata-mata hubungan administratif atau hierarkis.

4. Integrasi antara Ilmu dan Adab dalam Bingkai Cinta

Ilmu, tanpa adab, kehilangan nilai substansialnya. Dalam kerangka Kurikulum Cinta, cinta berfungsi sebagai medium yang menyatukan dimensi intelektual dan etis dalam proses pendidikan. Hal ini melahirkan penghormatan terhadap ilmu pengetahuan, pendidik, serta makhluk Allah lainnya sebagai bagian dari akhlak keilmuan.

5. Pendidikan sebagai Instrumen Transformasi Spiritual dan Sosial

Tujuan akhir pendidikan bukan semata capaian akademik atau kognitif, melainkan transformasi kepribadian yang utuh—baik secara spiritual maupun sosial. Kurikulum Cinta menekankan pentingnya mencetak individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter, berdaya guna, dan mampu memberikan kontribusi positif dalam masyarakat.

Kurikulum cinta dalam pandangan Islam bukan sekadar mimpi idealis. Ini adalah panggilan untuk kembali pada nilai-nilai utama dalam Islam—nilai yang menempatkan cinta sebagai pondasi utama dalam membangun peradaban. Ini bukan hanya konsep, tapi ajakan nyata: mari kita ubah menjadi ruang yang penuh kasih, tempat anak-anak tumbuh dengan cinta, bukan sekadar mesin pencetak nilai.

Sudah waktunya kita beralih dari sistem pendidikan yang kaku dan dingin menuju pendekatan yang lebih hangat dan manusiawi. Dari kurikulum yang membuat sesak, ke kurikulum yang menumbuhkan harapan. Seperti yang pernah disampaikan oleh Jalaluddin Rumi, "Didiklah anak-anakmu bukan seperti zamanku, tapi untuk zamannya. Namun ajarilah mereka dengan cinta, karena cinta adalah guru yang tak pernah mengecewakan."

di dalam Opini
Epistemologis Cinta: Kritik dan Tawaran dalam Diskursus Pemikiran Islam
Admin 26 Juli 2025
Share post ini
Label
Arsip