Skip ke Konten

From Coding to Caring: Mengapa Kampus Butuh Kurikulum Cinta dalam Era Polarisasi Digital

Herlan Sanjaya, S.T., M.Kom (Dosen IAIN Parepare)
24 Juli 2025 oleh
From Coding to Caring: Mengapa Kampus Butuh Kurikulum Cinta dalam Era Polarisasi Digital
Hamzah Aziz

Coding adalah simbol dari logika, keteraturan, dan ketepatan, yaitu hal-hal yang menjadi dasar dunia pemrograman dan teknologi. Sementara itu, caring berbicara tentang empati, kasih sayang, dan nilai-nilai kemanusiaan yang sering terabaikan dalam dunia yang semakin dikuasai oleh algoritma. kemudian, polarisasi digital muncul ketika aspek kemanusiaan ini hilang. Algoritma yang mestinya netral justru menciptakan ruang gema, memperkuat kebencian, dan mempersempit pandangan. Kampus sebagai tempat mencetak cendekiawan tak bisa lagi mengabaikan krisis empati ini di tengah derasnya perkembangan teknologi. Di sinilah pentingnya gagasan ‘dari coding ke caring’, yang secara substantif diusung oleh Menteri Agama Prof Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A., yang mencoba “mengajak” dunia pendidikan tidak hanya membentuk tenaga profesional, tapi juga manusia yang peduli dan penuh kasih.

Kurikulum pendidikan di Indonesia telah melalui pelbagai transformasi. Dari pendekatan yang sangat kognitif dan berorientasi angka, kini mulai bergeser menuju model yang lebih manusiawi dan holistik. Kebijakan Merdeka Belajar dan penekanan pada pendidikan karakter menandai kesadaran baru bahwa pendidikan adalah proses pembentukan manusia seutuhnya. Namun, meskipun banyak nilai luhur dicantumkan, konsep cinta sebagai unsur kurikulum belum mendapat tempat yang eksplisit. Peresmian Kurikulum Cinta oleh Kementerian Agama menandai momen historis sekaligus eksperimental yang memasukkan kasih sayang, empati, dan toleransi sebagai bagian yang sistematis dalam dunia pendidikan, terutama di institusi keagamaan dan perguruan tinggi Islam.

Pada sisi lain, ruang digital menjadi cermin dari kegagalan kita dalam mendidik rasa. Polarisasi digital merajalela. Algoritma media sosial mempersempit cakrawala pemikiran, memperkuat prasangka, dan menciptakan realitas semu yang tertutup dari keberagaman. Generasi muda yang aktif di ruang maya rentan terseret dalam arus polarisasi karena tidak dibekali ketahanan emosional dan nalar kasih. Polarisasi bukan sekadar fenomena sosial, tetapi merupakan manifestasi dari absennya pendidikan empatik yang membumi. Kampus tidak bisa hanya sibuk dengan teori dan praktik teknis jika ingin mencetak generasi yang tahan terhadap gelombang kebencian yang kian subtil namun mematikan.

Penelitian global dan nasional menunjukkan urgensi tersebut. Laporan UNESCO menegaskan bahwa pendidikan yang berbasis empati dan kasih sayang berkontribusi pada penurunan konflik sosial dan penguatan toleransi (UNESCO, 2025). Di Indonesia, riset dari LIPI menunjukkan korelasi antara rendahnya literasi emosional dengan meningkatnya intoleransi di ruang digital (Pamungkas, 2018). Sementara itu, penelitian lain juga menyoroti bahwa literasi digital dan moral menyebabkan penyebaran ujaran kebencian lebih mudah terjadi, meskipun informasi tersebut benar adanya; ini menegaskan pentingnya nilai moral dalam literasi digital (Muannas & Mansyur, 2020). Temuan ini memperkuat argumen bahwa Kurikulum Cinta bukan sekadar idealisme pendidikan religius, tetapi respons ilmiah terhadap kondisi sosial yang membutuhkan kebaruan intervensi melalui pendidikan.

Implementasi kurikulum cinta tentu tidak tanpa tantangan. Budaya pendidikan yang masih menekankan capaian angka dan nilai ujian membuat dimensi afeksi seringkali terpinggirkan. Di lingkungan ilmu komputer misalnya, sulit dibayangkan bagaimana kasih sayang diajarkan di kelas algoritma atau pemrograman. Kurangnya pelatihan bagi dosen dalam menyampaikan materi berbasis nilai juga menjadi hambatan tersendiri. Bahkan, resistensi bisa muncul dari kalangan akademik yang menganggap cinta sebagai ranah privat, bukan objek pedagogik. Namun justru di situlah titik refleksi, bahwa dunia pendidikan harus keluar dari zona nyaman jika ingin menjadi agent of change.

Di balik tantangan tersebut, terdapat peluang luar biasa. Kurikulum cinta dapat menjadi pembeda strategis bagi kampus, khususnya perguruan tinggi Islam, dalam menghadapi krisis nilai di era disrupsi. Pengajaran etika digital, pengembangan aplikasi inklusif, dan desain sistem yang menghargai keberagaman adalah contoh konkret integrasi nilai cinta dalam ilmu komputer. Dunia pendidikan memiliki potensi besar untuk menerjemahkan cinta ke dalam bentuk proyek sosial berbasis teknologi, komunitas digital yang merawat toleransi, dan narasi-narasi inspiratif lintas disiplin. Mahasiswa, ketika diajak bicara soal makna dan kasih, seringkali menunjukkan kerentanan dan antusiasme yang luar biasa.

Peserta didik masa kini tumbuh dalam dunia yang paradoksal yang terhubung secara teknologi tetapi terisolasi secara emosional. Ketika pendidikan hanya menekankan aspek kognitif, anak-anak muda menjadi hebat dalam kalkulasi namun lemah dalam kolaborasi, cakap dalam diksi, lemah dalam aksi. Kurikulum cinta menjadi jembatan untuk memulihkan ketimpangan itu. Mahasiswa yang memahami arti kasih dalam relasi digital akan lebih bijak dalam berkomunikasi, lebih empatik dalam membuat keputusan, dan lebih manusiawi dalam memaknai perbedaan. Mereka tidak hanya akan menjadi pengguna teknologi, tetapi pencipta masa depan yang lebih adil dan ramah bagi semua.

Pendidikan berbasis cinta adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa. Kampus yang menumbuhkan empati akan melahirkan pemimpin yang tidak sekadar cerdas secara akademik, tetapi juga dewasa secara emosional. Nilai-nilai kasih dan toleransi yang ditanamkan sejak bangku kuliah akan menjadi fondasi kuat dalam menghadapi keragaman Indonesia. Di tengah ketegangan identitas dan konflik sosial, kurikulum cinta bisa menjadi penyejuk. Ia mengajarkan bahwa menjadi manusia yang utuh bukanlah perkara penguasaan teknologi, melainkan kemampuan mencintai sesama meski berbeda dalam banyak hal.

Seperti kode yang dirangkai untuk membentuk aplikasi, cinta pun bisa dirangkai untuk membentuk peradaban. Di ruang kelas, di balik layar komputer, bahkan di antara baris-baris logika, cinta bisa hadir sebagai denyut kehidupan yang menjaga manusia tetap manusia. Kampus yang bergerak dari coding ke caring bukan sedang melemah, melainkan sedang menyadari bahwa pendidikan tanpa kasih hanyalah mesin pengganda pengetahuan tanpa arah. Kurikulum cinta adalah algoritma masa depan yang menjanjikan: membentuk generasi yang cerdas sekaligus lembut hatinya. Di sanalah pendidikan menemukan ruhnya kembali.

From Coding to Caring: Mengapa Kampus Butuh Kurikulum Cinta dalam Era Polarisasi Digital
Hamzah Aziz 24 Juli 2025
Share post ini
Arsip