Suatu siang di ruang LPM, Kepala Pusat Kurikulum berseloroh, “Tahu tidak, Bu? Hidup ini seperti jalangkote.” Saya menoleh, tersenyum, dan menunggu lanjutannya. Ia melirik, lalu berkata, “Dari luar terlihat menarik, renyah, menggiurkan. Tapi yang menentukan tetap isi di dalamnya. Kalau isinya hambar, ya percuma.”
Ia diam sebentar, lalu menyambung, “Begitu juga kurikulum. Ia tak bisa cuma rapi di atas kertas. Harus dirancang dengan tujuan, berbasis kebutuhan, dan penuh makna. Kurikulum itu, pada akhirnya, seperti cinta, bukan soal tampilan, tapi soal ketulusan memberi.”
Di tengah hiruk-pikuk kampus yang semakin digital dan terukur, kita dikejar angka: borang, akreditasi, IKU, dan grafik capaian publikasi. Namun, diam-diam kita kehilangan sesuatu yang paling mendasar: cinta. Bukan cinta dalam makna personal, tapi cinta sebagai orientasi batin dalam merancang pendidikan.
Kurikulum cinta bukan soal status lajang atau menikah. Ia soal paradigma, bagaimana kurikulum mampu menghadirkan kehangatan, empati, dan makna. Bukan sekadar deretan CPL dan RPS yang rapi, tapi proses pembelajaran yang menghidupkan rasa, menyapa hati, dan membuka ruang dialog.
Dalam teori pedagogy of love yang digagas Paulo Freire dan diperkuat oleh Nel Noddings, pendidikan adalah tindakan cinta. Guru bukan hanya penyampai ilmu, tapi juga pembangun relasi manusiawi yang mengedepankan care dan keterlibatan emosional. Menurut Noddings, pendidikan yang baik menempatkan “caring” sebagai fondasi dari proses belajar. Maka kurikulum yang tidak menyentuh hati, tak ubahnya seperti ruang kelas kosong, ada isi, tapi tak punya jiwa.
Di sini, bahasa sebagai jembatan penting dari cinta itu. Dalam perspektif sosiolinguistik, bahasa bukan hanya alat menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk relasi sosial dan identitas emosional. Dell Hymes, dalam teori communicative competence-nya, menekankan bahwa kemampuan berbahasa bukan hanya soal tata bahasa yang benar, tetapi juga tentang kapan, di mana, dan bagaimana kita menggunakan bahasa secara tepat dan menyentuh. Maka dalam konteks kurikulum cinta, bahasa pengajaran pun seharusnya menjadi bahasa yang membangun kedekatan, bukan sekadar formalitas akademik.
Lebih jauh, pendekatan critical discourse analysis ala Norman Fairclough juga mengingatkan kita bahwa bahasa di kelas atau di dokumen kurikulum memuat kekuasaan. Kurikulum yang hanya berisi jargon teknokratis tanpa sentuhan manusiawi adalah cermin dari relasi yang beku. Sebaliknya, bahasa yang memberi ruang dialog, mendengarkan, dan membuka empati, itulah bahasa yang mencintai.
Wacana “kurikulum cinta” bukan romantisme belaka. Ia pertanyaan yang menggugah: apakah kurikulum kita cukup membentuk manusia yang utuh? Apakah pengabdian kita menyentuh denyut masyarakat, atau sekadar memenuhi tenggat laporan?
Saya jadi teringat satu artikel Kepala Pusat Pengabdian. Judulnya kira-kira begini: “Kurikulum Cinta, tapi Saya masih Jomblo. Salah Siapa?” Saya sempat bertanya-tanya: apakah ini kelakar, keresahan, atau kritik terselubung? Saya nyaris menjawab, “Salah niat!” Tapi kemudian sadar, bukankah setiap orang punya alasannya masing-masing? Ya, kalau sudah bertanya begitu, siapa yang seharusnya menjawab?
Di kesempatan lain, seorang pimpinan lembaga, tak perlu saya sebut namanya, nanti istrinya tahu—pernah bilang begini, “Jomblo itu asyik. Kalau sudah menikah, game is over.” Saya sempat mengernyit. Maksudnya apa? Apakah pernikahan dianggap akhir dari segalanya? Ataukah sekadar sindiran terhadap sistem yang terlalu formal, kaku, dan miskin rasa?
Maka ketika Kapus Kurikulum masih mencari cinta, dan Kapus Pengabdian masih jomblo, barangkali ini bukan tentang status pribadi. Ini tentang sistem pendidikan tinggi yang masih kekurangan kasih. Kurikulum yang berjalan tanpa kehangatan. Pengabdian yang berlangsung tanpa rasa.
Barangkali kurikulum cinta bukan barang baru di kampus kita. Ia sudah mulai hadir, dalam cara dosen menyapa mahasiswa, dalam pengabdian yang tak sekadar seremonial, dan dalam upaya merancang pembelajaran yang lebih bermakna. Namun, seperti cinta itu sendiri, ia tak cukup hanya dirumuskan. Ia perlu dijalani, dirawat, dan dihidupkan terus-menerus.
Kabar baiknya, instruksi Rektor agar para dosen dan tenaga kependidikan menulis artikel opini bukan hanya seruan kosong. Sampai hari ini, telah terbit 129 artikel opini yang dipublikasikan di laman resmi LP2M. Angka ini kemungkinan masih akan bertambah. Ini bukan sekadar data, ini bukti bahwa cinta pada ilmu dan kemanusiaan perlahan sedang dijahit ulang lewat narasi. Kita patut memberi apresiasi kepada para dosen dan tendik yang dengan tulus menulis, meski di tengah padatnya beban kerja, mereka memilih berbagi gagasan, refleksi, dan harapan.
Tentu saja, ada juga slentingan. “Ah, itu tulisan AI,” kata sebagian orang yang bahkan belum pernah menulis satu artikel pun. Namun, sejujurnya, adakah cinta yang lahir tanpa bantuan apa pun? AI bukan pengganti akal sehat atau kejujuran, ia hanyalah alat bantu, seperti buku referensi atau mesin ketik. Justru yang patut dihargai adalah keberanian untuk menulis, menyuarakan, dan berbagi. Karena banyak yang mengkritik, tapi tak menulis; banyak yang mencibir, tapi tak berkarya. Mhhh
Tentu kita tak perlu menunggu Kapus Kurikulum menemukan cintanya, atau Kapus Pengabdian melepas status jomblonya, untuk sadar bahwa yang paling dibutuhkan hari ini bukan sekadar angka, tapi rasa. Bahwa di balik borang dan indikator, ada ruang-ruang kemanusiaan yang harus terus dijaga. Cinta dalam pendidikan bukan soal status, tapi soal sikap. Sikap itu, tak boleh hilang dari silabus kita.