Skip ke Konten

Kurikulum Cinta dalam Perspektif Hukum Perdata Islam: Sebuah Refleksi Kritis

Dr. Hj. Saidah, M.H. (Dosen HPI)
28 Juli 2025 oleh
Kurikulum Cinta dalam Perspektif Hukum Perdata Islam: Sebuah Refleksi Kritis
Suhartina

Kementerian Agama Republik Indonesia meluncurkan inisiatif yang cukup menarik perhatian publik, yakni Kurikulum Cinta. Gagasan ini muncul sebagai respon terhadap meningkatnya angka perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, serta melemahnya ketahanan keluarga di tengah perubahan sosial yang dinamis. Inisiatif ini berupaya menanamkan nilai-nilai kasih sayang, penghargaan terhadap pasangan, dan kemampuan komunikasi emosional sejak dini melalui pendidikan formal, terutama di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Melalui tulisan ini, saya akan menelaah Kurikulum Cinta dari kacamata Hukum Perdata Islam, khususnya dalam kaitannya dengan pembentukan keluarga sakinah dan tata hubungan antar pasangan yang berlandaskan syariat.

Dalam Hukum Perdata Islam, pernikahan bukan hanya kontrak sosial, melainkan akad suci (mitsaqan ghalidhan) yang mengandung dimensi spiritual, sosial, dan hukum. Akad ini tidak hanya menyatukan dua individu dalam ikatan lahiriah, tetapi juga mewajibkan tanggung jawab moral dan keagamaan di antara keduanya. Oleh karena itu, pendekatan pendidikan berbasis cinta yang diupayakan oleh negara sejalan dengan semangat Islam yang menekankan pentingnya mawaddah wa rahmah sebagai fondasi dalam membina rumah tangga (QS. Ar-Rum: 21).

Kurikulum yang menanamkan nilai cinta dan penghargaan terhadap pasangan sangat relevan untuk mengatasi persoalan mendasar dalam keluarga Muslim kontemporer. Sebagian besar konflik rumah tangga dalam masyarakat Muslim modern disebabkan oleh ketidaksiapan emosional, kurangnya komunikasi, dan hilangnya nilai sakral dalam relasi pernikahan. Hal ini diperparah oleh lemahnya pengetahuan agama yang seharusnya menjadi pedoman dalam menyelesaikan konflik rumah tangga secara adil dan bermartabat.

Pendidikan cinta yang bersumber dari ajaran Islam akan mampu memberikan pemahaman yang utuh bahwa cinta bukan sekadar perasaan sesaat, melainkan komitmen jangka panjang yang dibangun atas dasar keimanan dan keadilan. Dalam konteks hukum perdata Islam, cinta harus terwujud dalam perlakuan yang adil antara suami dan istri, saling memenuhi hak dan kewajiban, serta menjauhkan diri dari kekerasan, baik fisik maupun psikis. Konsep ini telah lama diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyebutkan bahwa suami istri wajib saling mencintai, menghormati, dan menjaga kehormatan masing-masing (lihat KHI Pasal 80 dan 83).

Namun demikian, penerapan Kurikulum Cinta perlu dipastikan tidak mengaburkan batasan syar’i antara cinta yang mendidik dan cinta yang menjurus pada permisivisme moral. Dalam Islam, cinta yang sehat adalah cinta yang menjaga batas, bukan yang memanjakan hawa nafsu. Oleh karena itu, kurikulum ini harus dirancang secara hati-hati dengan melibatkan para ahli agama, pendidik, psikolog, dan pakar hukum Islam agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat.

Dari sisi implementasi, kurikulum ini perlu diintegrasikan dengan pendidikan pra-nikah secara sistematis. Pendidikan pra-nikah yang selama ini bersifat formalitas perlu dikembangkan menjadi program yang aplikatif dan transformatif. Kurikulum cinta bisa menjadi bagian dari upaya pendidikan emosional bagi calon pasangan suami istri, agar mereka memahami bahwa cinta yang tulus selalu disertai tanggung jawab, bukan sekadar pemenuhan kebutuhan biologis atau romantisme semata.

Lebih jauh, pendekatan pendidikan berbasis cinta yang dicanangkan pemerintah harus mampu mengoreksi paradigma relasi yang timpang dalam rumah tangga. Dalam tradisi patriarkis yang masih kuat dalam masyarakat, cinta sering dimaknai secara sepihak oleh laki-laki sebagai dominasi, sementara perempuan dituntut untuk tunduk secara total. Hal ini bertentangan dengan semangat Islam yang menegaskan pentingnya musyawarah dan mencegah segala bentuk kekerasan dalam  rumah tangga. Oleh karena itu, Kurikulum Cinta harus mendidik generasi muda agar memahami konsep partnership dalam rumah tangga, bukan sekadar leadership sepihak.

Dalam konteks hukum perdata Islam, inisiatif ini juga dapat memperkuat fungsi pengadilan agama sebagai pelindung institusi keluarga. Ketika nilai-nilai cinta dan kasih sayang telah menjadi kesadaran kolektif, maka mediasi dalam perkara perceraian dapat dilakukan secara lebih efektif. Banyak kasus perceraian yang terjadi karena kesalahpahaman yang berakar dari ketidakmampuan mengelola emosi. Dengan demikian, Kurikulum Cinta dapat menjadi instrumen preventif yang mengurangi beban litigasi di pengadilan agama.

Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa Kurikulum Cinta merupakan langkah progresif yang memiliki landasan kuat dalam ajaran Islam, khususnya dalam perspektif hukum perdata Islam. Namun agar kurikulum ini tidak sekadar menjadi simbol, perlu ada pengawalan serius dari berbagai elemen masyarakat dan akademisi. Jangan sampai cinta yang diajarkan menjadi cinta yang abstrak, terlepas dari nilai-nilai ketauhidan dan keadilan yang menjadi inti ajaran Islam. Kurikulum ini harus menjadi medium untuk membentuk pribadi Muslim yang matang secara spiritual, emosional, dan sosial — sehingga siap menjadi pasangan hidup yang bertanggung jawab dalam ikatan suci pernikahan.

 

Kurikulum Cinta dalam Perspektif Hukum Perdata Islam: Sebuah Refleksi Kritis
Suhartina 28 Juli 2025
Share post ini
Arsip