With life as short as a half taken breath, don’t plant anything but love.” — Jalaluddin Rumi
Kutipan ini menjadi pengingat mendalam bahwa dalam hidup yang fana dan serba cepat ini, satu-satunya hal yang layak ditanam adalah cinta. Di tengah dunia pendidikan dan ekonomi yang kian teknokratis, mekanistik, dan mengedepankan aspek kompetitif, cinta bukan sekadar tambahan moral, tetapi fondasi yang kian dirindukan.
Sistem pendidikan di Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan serius. Indeks PISA menunjukkan peserta didik Indonesia masih tertinggal dari segi literasi dan kemampuan numerik, serta masih muncul kasus bullying dan intoleransi antar pelajar (Programme for International Student Assessment 2022). Pemerintah terus mendorong pendidikan karakter sebagai bagian dari penguatan moderasi beragama dan keberagaman sosial. Inisiatif Kurikulum Merdeka dan Moderasi Beragama di sekolah menjadi primadona kebijakan, namun kritik menyebut bahwa nilai-nilai afektif seperti empati dan toleransi belum tertanam kuat secara sistematis dalam kurikulum nasional (Madyansyah 2025). Gagasan Kurikulum Cinta ini bertujuan mengisi kekosongan pendidikan afektif. Namun, apakah pendekatan ini benar-benar menjawab problematika intoleransi, konflik identitas, dan kekerasan simbolik dalam pendidikan? Potensinya jelas: jika nilai kebersamaan, harmoni, dan kasih sayang disisipkan di setiap pelajaran, generasi muda akan tumbuh dengan kesadaran keberagaman dan kepekaan emosional yang lebih tinggi. Namun realisasinya sangat tergantung pada desain kurikulum itu sendiri, pelatihan para pendidik, dan kesinambungan dukungan kebijakan.
Saat ini praktik ekonomi, khususnya dalam konteks pemasaran sering menyimpang dari ketentuan agama (Arif et al. 2020; Rahman and Susanti 2025). Iklan-iklan yang tidak jujur, skema investasi bodong, over promotion, praktik-praktik manipulative sering kita jumpai pada ruang-ruang digital. Hal ini tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai Maslahah (tanggung jawab), Shidq (kejujuran), tabligh (transparansi) dan qana’ah (kecukupan) yang menjadi spiritual bagi ekonomi rabbani. Banyak contoh yang bisa kita saksikan dalam dunia bisnis hari ini. Misalnya review online pada marketplace online yang memberi ulasan palsu atau merekayasa rating produk agar terlihat berkualitas (Ansari and Gupta 2021), atau misalnya investasi syariah bodong yang tidak menjelaskan risiko, legalitas, dan sistem distribusi hasil secara terbuka kepada calon investor (Chanifah 2021). Praktik bisnis seperti ini tidak hanya menyimpang dari nilai islami, tapi juga berkontribusi pada krisis sosial yang lebih luas seperti kesenjangan ekonomi, konsumerisme ekstrem, dan erosi kepercayaan publik. Pada sisi inilah kurikulum cinta dan etika bisnis Islami menjadi penting untuk direkonstruksi sejak bangku pendidikan.
Relevansi Kurikulum Cinta tampak signifikan ketika ditempatkan dalam konteks pembentukan cara pandang generasi terhadap praktik pemasaran. Kurikulum ini menawarkan landasan nilai yang mendorong peserta didik untuk memahami bahwa pemasaran bukan sekadar strategi menjual, melainkan ruang etis yang harus menjunjung prinsip syariah, kejujuran, dan keberlanjutan. Jika sejak dini mereka dibiasakan untuk saling menghormati, menghargai martabat manusia, dan melihat konsumen bukan sebagai target melainkan sebagai mitra nilai, maka orientasi mereka terhadap dunia bisnis akan jauh berbeda. Melalui pendekatan ini, lahirlah generasi pelaku ekonomi yang bukan hanya cakap menjual, tetapi juga menjunjung nurani, berkomitmen pada nilai, dan memiliki kepedulian sosial serta ekologis.
Penerapan Kurikulum Cinta tentu saja akan penuh dengan tantangan, terutama dalam konteks mengedepankan pemasaran berbasis syariah. Resistensi budaya institusional yang sudah mengakar akan membuat institusi pendidkan dan pendidik yang sudah terjebak dalam pembelajaran kognitif cenderung sulit mengadopsi pendekatan afektif. Selain itu, standarisasi pengukuran hasil tentang bagaimana menilai nilai-nilai seperti empati atau toleransi secara operasional dalam sistem evaluasi? Atau kemungkinan pelemahan aspek teknis pemasaran, karena sebagian pendidik atau pelaku usaha mungkin melihat nilai-nilai tersebut sebagai “beban moral” daripada bagian dari strategi yang efektif dan compatible untuk diaplikasikan dalam bisnis.
Kurikulum ini lalu membuka wacana: apakah kita siap menerima interupsi nilai atas logika pasar yang selama ini dominan? Bagaimana jika generasi masa depan lebih peduli pada kejujuran dan keberlanjutan daripada diskon dan manipulasi? Mungkin sebagian pihak akan mempertanyakan efektivitas pendekatan afektif dalam dunia bisnis modern yang berbasis data dan algoritma. Namun perdebatan ini penting tentang apakah pemasaran yang mengedepankan semangat spiritual dianggap sebagai hambatan pertumbuhan ekonomi atau sebagai investasi jangka panjang?
Pada akhirnya, penerapan Kurikulum Cinta bisa menjadi titik balik wacana antara value-driven economy terhadap profitdriven economy. Bila sukses, ini bukan hanya soal pengajaran di sekolah atau perguruan tinggi, tetapi ini akan menjadi transformasi epistemik: bahwa cinta dan harmoni bukan sekadar tambahan moral, melainkan modal utama dalam membangun ekosistem bisnis muslim yang inklusif dan humanis. Kurikulum cinta adalah interupsi terhadap cara pandang pasar dan etika bisnis yang terlalu dangkal dan performative. Perdebatan publik dan akademik terkait elemen evaluasi, pelatihan para pendidik, dan kolaborasi lintas disiplin ilmu perlu terus digulirkan agar gagasan ini tidak berhenti sebagai retorika semata.