Sebuah kesempatan berharga menghadiri Konferensi Internasional yang diadakan di Georgetown University, Washington D.C. Pada hari Selasa, 20 Mei 2025. Acara ini diselenggarakan oleh School of Foreign Service – Institute for the Study of Diplomacy, bekerja sama dengan Alwaleed Center for Muslim-Christian Understanding. Forum yang dimoderatori oleh Dr. Nader Hashemi ini juga turut menghadirkan Dr. Kevin W. Fogg, seorang cendekiawan Islam di Asia Tenggara dan Wakil Direktur Carolina Asia Center di University of North Carolina di Chapel Hill.
Dalam forum lintas iman dan lintas budaya ini, Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA hadir sebagai pembicara utama yang menyampaikan pemikiran bernas mengenai peran agama di era global. Tiga hal pokok yang beliau tekankan sungguh menyentuh inti problematika dan sekaligus harapan dunia masa kini: moderasi beragama, ekoteologi, dan kurikulum cinta. Ketiganya bukan hanya wacana, melainkan agenda konkret untuk membumikan nilai-nilai spiritual dalam dinamika sosial yang kian kompleks. Di antara ketiganya, kurikulum cinta mendapat perhatian khusus dari saya, karena menyentuh jantung persoalan: pendidikan.
Moderasi Beragama: Jalan Tengah yang Menyejukkan
Dalam paparannya, Prof. Nasaruddin mengingatkan dunia bahwa Indonesia telah lama menghidupkan konsep moderasi beragama. Konsep ini bukan kompromi lemah, tetapi kekuatan luhur yang menempatkan agama sebagai pemersatu, bukan pemecah. Moderasi menjadi jembatan antara keyakinan dan kemanusiaan, antara identitas dan keberagaman.
Di tengah merebaknya ekstremisme dan radikalisme global, Indonesia punya cerita lain: bahwa kerukunan bisa dirawat, bahwa perbedaan tidak harus berujung konflik. Inilah kontribusi Indonesia bagi dunia—soft power keagamaan yang menyegarkan percaturan global.
Ekoteologi: Menyatukan Spiritualitas dan Kepedulian Lingkungan
Gagasan kedua yang beliau angkat adalah ekoteologi, yaitu pendekatan keagamaan yang memuliakan alam sebagai bagian dari wahyu Tuhan. Manusia bukan penguasa mutlak atas bumi, melainkan khalifah yang mengemban amanah untuk menjaganya. Ketika krisis iklim kian nyata, ekoteologi menjadi jalan etis dan spiritual untuk meresponsnya.
Dalam Islam, banyak ayat yang menegaskan kesucian lingkungan dan kecaman terhadap kerusakan. Sayangnya, kesadaran ekologis ini sering terabaikan dalam wacana keagamaan harian. Ekoteologi mengajak kita untuk melihat bumi bukan hanya dari kacamata ekonomi, tetapi sebagai bagian dari ibadah.
Kurikulum Cinta: Revolusi Senyap dalam Dunia Pendidikan
Namun dari seluruh paparan itu, satu istilah yang terus terngiang dalam benak saya adalah kurikulum cinta. Istilah ini sederhana, tetapi sarat makna. Dalam dunia yang dilanda krisis empati, meningkatnya kekerasan di sekolah, serta berkembangnya ujaran kebencian di media sosial, kurikulum cinta menjadi kebutuhan mendesak.
Prof. Nasaruddin menjelaskan bahwa pendidikan tidak boleh hanya fokus pada kecerdasan intelektual, tetapi juga harus menyentuh kecerdasan emosional dan spiritual. Cinta yang dimaksud bukan sekadar romantisme, tetapi nilai luhur yang mengajarkan kasih kepada Tuhan, sesama manusia, makhluk hidup, bahkan kepada ilmu pengetahuan itu sendiri.
Kurikulum cinta adalah upaya untuk membangun generasi yang peduli, santun, dan berjiwa inklusif. Bukan generasi yang hanya unggul dalam teknologi, tetapi juga unggul dalam akhlak dan budi pekerti. Ini sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad saw., yang diutus tidak lain sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Gagasan ini mendapat sambutan hangat dari peserta lintas agama di forum Georgetown. Mereka melihat cinta sebagai bahasa universal yang melintasi sekat teologis. Di sinilah peran agama begitu penting: menghadirkan wajah welas asih di tengah dunia yang terpecah.
Tentu, implementasi kurikulum cinta membutuhkan strategi menyeluruh: pelatihan guru, revisi pendekatan pengajaran, penyusunan materi ajar, hingga penanaman nilai dalam budaya sekolah. Pendidikan tidak boleh hanya menjadi transfer ilmu, tetapi juga penanaman karakter dengan keteladanan. Guru harus menjadi role model cinta itu sendiri.
Menanam Harapan
Sebagai peserta konferensi dan juga pendidik, saya merasa kurikulum cinta adalah warisan kebijakan yang harus kita dukung bersama. Ia bukan sekadar program Kementerian Agama, tetapi gerakan nilai yang melibatkan seluruh komponen bangsa—pendidik, orang tua, tokoh agama, dan masyarakat luas.
Masa depan bangsa ini ditentukan oleh karakter generasi mudanya. Jika mereka dibesarkan dalam lingkungan yang menanamkan cinta, maka kita akan menuai masa depan yang damai, toleran, dan berperikemanusiaan. Georgetown telah menjadi saksi bahwa gagasan dari Indonesia punya daya ubah global. Kini saatnya kita mewujudkannya, mulai dari ruang kelas yang penuh cinta.