Rasa saling benci muncul ketika tidak ada rasa cinta, rasa kasih sayang di antara satu sama lain. Benarkah seperti itu? Dunia terasa menyesakkan dada, pandangan iri menyelimuti hati untuk setiap pasang mata yang ditatap. Saat saya mengetik tulisan ini, rasa khawatir menyelimuti masyarakat Indonesia, khususnya di kota Parepare. Melihat postingan status dosen di berbagai sosial media yang menuliskan caption di antaranya seperti ini, “Bagi yang turun aksi: fokus pada tujuan perjuangan, jangan mudah terprovokasi, jangan lakukan penjarahan, jangan lakukan anarkisme, saling jaga, saling bantu. Jaga Parepare ta’. Ada pula yang menulis caption seperti ini, “Selamat pagi adik-adik yang mau demo hari ini. Perbaiki niat sebelum berangkat. Pahami apa tuntutan dan substansi mengapa kalian harus turun ke jalan. Kenali demonstran yang ikut, jangan sampai ada oknum provokator yang masuk. Intinya kalau adami gesekan, mengarah kekerasan termasuk penjarahan, pulangmi dek. Dan please minta izin serta doa dari orangtua ta’. Yakinkan mereka bahwa yang kalian lakukan ini anu baik ji, stay safe semuanya”. Beberapa yang lain juga kompak memasang status flyer yang bertuliskan Stop Demo Anarkis.
Teringat literatur yang pernah terbaca, pada bulan Mei 1998 saat itu penulis masih berumur 3 tahun, terjadi kerusuhan yang sangat besar di Indonesia. Berbagai dari kalangan ikut turut berdemonstrasi dengan menuntut untuk diturunkannya Presiden Soeharto dari jabatan presiden yang telah dikuasai selama 32 tahun atau selama 7 periode. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh kekesalan dan kemurkaan para mahasiswa kepada pemerintahan Soeharto yang membatasi ruang gerak untuk berpendapat di muka umum. Kejadian ini kembali terulang dengan tuntutan yang berbeda tapi dengan cara yang sama?
Mengapa pertengkaran sosial yang tidak bisa dikomunikasikan secara santun dan damai tidak dapat diwujudkan? Apakah karena sudah minim telinga yang bersedia mendengar? Atau hanya didengarkan saja tanpa adanya rencana tindak lanjut? Atau harus mengobarkan api dulu agar cepat ditanggapi. Apakah semua ini merupakan akumulasi dari kekecewaan dan ketidakpercayaan publik terhadap pejabat?
Lalu, siapa saja yang turun ke lapangan? Apakah murni mahasiswa? Atau pekerja/karyawan yang pernah jadi mahasiswa? Atau mahasiswa yang sampai sekarang tidak selesai sampai wisuda atau orang-orang yang bukan mahasiswa dan tidak pernah menjadi mahasiswa? Memang sangat disayangkan ketika aspirasi murni untuk menuntut keadilan tapi ditunggangi jiwa-jiwa yang justru hadir untuk ikut merusak dan menjarah untuk kepentingan pribadi. Lalu apa bedanya dengan pemimpin yang egois dengan oknum demonstran yang juga tak kalah egois? Setiap orang memang masing-masing memiliki kepentingan tapi lebih dominan mana, kepentingan bersama atau kepentingan pribadi tapi merugikan banyak orang?
Teringat tentang teori konflik Lewis Coser yang diadaptasi dari pemikiran George Simmel. George Simmel mempunyai pikiran sejalan dengan Lewis Coser yang menyatakan bahwa konflik itu disebabkan oleh benturan kepentingan. Menurut Coser, konflik juga merupakan proses instrumental dalam pembentukan pernyataan dan pemeliharaan struktur sosial konflik dengan kelompok lain yang dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindungi.
Jika aksi demo sebagai ajang penunjukan identitas kelompok dan melindungi kepentingan banyak maka tentu ini sangat baik. Namun, jika cara-cara yang dilakukan justru semakin merusak, menghancurkan hingga menyebabkan hilangnya nyawa maka hal ini patut dihindari.
Saya kembali fokus ke mahasiswa sebagai salah satu unsur yang ikut mengambil peran dalam aksi demo. Cara berpikir mahasiswa dengan masyarakat umum tentu berbeda. Bisa dipengaruhi dari bagaimana pembelajaran yang mereka dapatkan di bangku pendidikan, ataupun dari buku-buku yang dibaca ataupun lingkungan sosial yang mempengaruhi cara mereka mengambil keputusan dan bertindak.
Saya hanya membayangkan, bagaimana jika upaya Menteri Agama yang meluncurkan Kurikulum berbasis Cinta (KBC) benar-benar diimplementasikan di semua jenjang pendidikan tentunya ini akan mengasah rasa sesuai empat pilar utamanya Hablum minallah (cinta kepada Tuhan), hablum minannas (cinta kepada sesama, lintas agama), hablum bi’ah (cinta kepada lingkungan) dan hubbul wathan (cinta kepada bangsa dan budaya Indonesia). Hal ini tentu akan mengikis rasa keegoisan antara satu sama lain, mencegah munculnya rasa kebencian, apalagi saat mahasiswa tersebut kelak menjadi pemimpin bisa mengutamakan kepentingan public tanpa rasa ketidakpedulian. Sesuatu yang terlihat indah memang butuh proses, lalu prosesnya harus mulai dari mana? Dari pemimpin, pendidik, atau yang dididik? Atau dimulai dari siapapun yang membaca tulisan ini hingga akhir.