Kita sering lupa, pelajaran paling penting dalam hidup tak selalu datang dari papan tulis atau tumpukan PR. Ia hadir dalam bentuk sederhana: mahasiswa yang diam-diam membantu temannya memahami materi, pesan singkat yang bertanya, “Pak, sehat-sehat-jaki?” atau tatapan tulus yang menyimak tanpa menghakimi. Seperti senyum hangat Pak Rektor saat menyapa dosen yang tampak murung karena masih sendiri he..he, atau seperti sentuhan lembut Ustaz Budi yang mengelus kepala santri sambil berkata, “Kamu tidak sendiri.” Di sanalah kurikulum cinta bekerja diam-diam. Tanpa silabus. Tanpa penilaian akhir. Namun, jejaknya lebih abadi daripada nilai di transkrip.
Nabi Muhammad saw. pernah merumuskan kurikulum ini dalam satu kalimat yang mengguncang, tapi nyaris kita anggap biasa:
“Tidaklah salah seorang dari kalian benar-benar beriman hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim)
Satu hadis yang memuat seluruh bab tentang empati, keadilan, dan cinta yang tak egois. Menurut para ulama, hadis ini bukan hanya ajakan moral, tapi penanda kualitas iman seseorang. Mencintai diri sendiri adalah naluri. Namun, dalam logika Nabi, iman sejati ditunjukkan dengan kemampuan mencintai orang lain, seperti mencintai diri sendiri.
Artinya, iman bukan semata soal keyakinan atau rutinitas ibadah. Ia menyentuh ranah perilaku dan perasaan: memperluas cinta, melapangkan hati agar tak hanya cukup untuk diri, tapi juga hangat bagi sesama.
Bayangkan jika sistem pendidikan kita bertumpu pada semangat hadis ini. Sekolah dan kampus tak lagi sekadar pabrik nilai akademik, tapi ladang tumbuhnya jiwa-jiwa yang peduli. Mahasiswa tak hanya dituntut menghafal, tapi diajak bertanya:
"Bagaimana aku bisa menjadi teman belajar yang menguatkan, bukan meninggalkan?"
Dari sana tumbuh kepekaan. Bukan karena aturan, tapi karena rasa.
Kurikulum cinta bukan teori, melainkan latihan jiwa. Ia menjadikan ruang kelas sebagai tempat tumbuhnya kesetaraan, di mana yang pandai tak merasa paling unggul, dan yang tertinggal tak merasa ditinggalkan. Di sana, mahasiswa belajar mencintai sebagaimana mereka ingin dicintai: tanpa syarat, tanpa pamrih. Para dosen bukan sekadar menyampaikan materi, tapi juga diam-diam mendoakan yang mulai jarang hadir, meluangkan waktu mendengar keluh kesah, atau menyisipkan harapan lewat catatan kecil di tugas yang belum sempurna.
Bukankah ini juga menjawab pertanyaan lama: mengapa banyak yang belajar agama, tapi tak tumbuh cinta di hatinya? Mungkin karena kita terlalu sibuk membangun hafalan, tapi lupa membangun hati. Terlalu sering memisahkan nilai agama dari nilai kemanusiaan, padahal keduanya berpadu dalam sabda Nabi: cinta adalah tanda dari iman.
Karena itu, jika hari ini kita ingin mengubah wajah pendidikan, mulailah dari akarnya: cinta.
Bukan sekadar rasa suka, tapi cinta yang aktif.
Cinta yang mau berbagi.
Cinta yang mendahulukan orang lain, sebagaimana kita ingin dimuliakan.