Skip ke Konten

Layanan Akademik Humanis dan Etis: Cermin Cinta dari Cinta Ilahi

Sunandar (Kepala Bagian Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam)
27 Juli 2025 oleh
Layanan Akademik Humanis dan Etis: Cermin Cinta dari Cinta Ilahi
Suhartina

Di tengah kompleksitas dunia akademik masa kini, pertanyaan mendasar tetap relevan: apakah tujuan pendidikan tinggi hanya sebatas mencetak lulusan dengan gelar dan IPK tinggi? Ataukah pendidikan harus lebih dari itu—sebuah proses yang membentuk manusia yang utuh, yang cerdas secara intelektual, matang secara emosional, dan kuat secara moral?

Jawaban yang kedua jelas lebih mencerminkan hakikat sejati dari pendidikan. Dunia saat ini tidak hanya membutuhkan orang pintar, tetapi juga orang yang baik. Maka dari itu, pengelolaan layanan akademik di kampus tidak cukup hanya bersandar pada efisiensi prosedural, melainkan juga harus berakar pada nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah pentingnya menghadirkan cinta dalam layanan akademik, yang bersanding dengan penegakan etika sebagai wujud pendidikan yang mendalam.

Prof. Dr. Nasruddin Umar, Menteri Agama Republik Indonesia, dalam suatu refleksi pernah menyampaikan bahwa surga dan neraka adalah bukti cinta Allah. Surga adalah bentuk kasih sayang dan balasan kebaikan, sementara neraka bukan sekadar hukuman, melainkan ruang pemurnian jiwa sebelum kembali kepada-Nya. Gagasan ini membuka perspektif bahwa cinta sejati bukan berarti membebaskan dari aturan, tetapi justru menuntun, membersihkan, dan mendewasakan.

Dalam konteks pendidikan tinggi, layanan akademik yang ramah dan penegakan etika sebetulnya bukan dua entitas yang bertentangan. Keduanya justru merupakan dua sisi dari cinta yang utuh. Layanan yang humanis menciptakan ruang aman dan nyaman bagi mahasiswa untuk belajar dan bertumbuh, sedangkan penegakan etika memberikan kerangka arah agar pertumbuhan itu tidak menyimpang dari nilai-nilai integritas.

Sayangnya, masih ada mahasiswa yang merasa bahwa layanan akademik bersifat kaku, birokratis, bahkan dingin. Ini menjadi tantangan yang harus dijawab. Kampus sebagai taman ilmu seharusnya menjadi tempat yang ramah, tempat mahasiswa merasa dihargai, didengarkan, dan didampingi. Karena itu, layanan akademik perlu dibangun dengan pendekatan empatik, dalam tutur kata, dalam sistem yang transparan, dan dalam sikap yang bersahabat. Namun, perlu ditegaskan pula bahwa layanan yang dilandasi cinta bukan berarti permisif atau abai terhadap pelanggaran. Justru karena cinta, sistem pendidikan tinggi harus tetap menegakkan etika akademik secara tegas tetapi manusiawi. Ketika seorang mahasiswa melanggar integritas, misalnya dengan melakukan plagiarisme—maka cinta hadir dalam bentuk tindakan korektif yang mendidik. Sanksi bukan dijatuhkan untuk menghukum semata, melainkan untuk menyadarkan dan membimbing. Sanksi yang dijalankan dengan kejelasan dan empati akan jauh lebih membekas daripada hukuman yang dingin dan kosong makna.

Dalam praktiknya, cinta dapat dihadirkan dalam banyak hal sederhana tetapi bermakna: pada senyum tulus petugas akademik saat melayani mahasiswa; pada dosen yang sabar membimbing skripsi; pada kejelasan prosedur yang memudahkan; atau pada ruang pengaduan yang benar-benar mendengarkan. Ketika cinta dan etika hadir bersamaan, mahasiswa tidak hanya belajar untuk cerdas, tetapi juga belajar untuk menjadi manusia yang bermartabat.

Mahasiswa yang mengalami cinta dalam layanan akademik akan tumbuh menjadi pribadi yang sadar aturan, bukan karena takut dihukum, melainkan karena memahami nilai dari kebaikan itu sendiri. Mereka tidak hanya akan menjadi sarjana, tetapi juga akan membawa nilai-nilai tersebut ke dunia kerja, keluarga, dan masyarakat luas. Inilah bentuk nyata dari pendidikan yang membebaskan dan mencerahkan.

Lebih jauh, kampus yang menjadikan cinta dan etika sebagai dasar layanan dan budaya institusi akan mencetak lulusan yang bukan hanya kompeten, tetapi juga berkarakter. Mereka akan menjadi pemimpin yang bijak, guru yang sabar, pegawai yang jujur, atau pengusaha yang adil. Mereka tidak hanya membawa ijazah, tetapi juga membawa nilai—nilai tentang bagaimana memperlakukan orang lain, menghargai proses, dan bertanggung jawab atas pilihan.

Pendidikan sejati adalah pendidikan yang mendewasakan jiwa dan kedewasaan tidak mungkin diraih tanpa cinta. Cinta yang dimaksud bukan sekadar rasa emosional, melainkan cinta sebagai nilai: nilai untuk memanusiakan sesama, nilai untuk menjaga marwah ilmu, dan nilai untuk terus menyuburkan akhlak. Maka, mari kita rawat cinta itu dalam setiap aspek kampus dalam sistem layanan, dalam etika akademik, dalam interaksi keseharian. Hanya dengan cinta yang mendidik, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang benar-benar membentuk manusia seutuhnya: intelek dalam berpikir, lembut dalam merasa, dan kokoh dalam bertindak.

Layanan Akademik Humanis dan Etis: Cermin Cinta dari Cinta Ilahi
Suhartina 27 Juli 2025
Share post ini
Arsip