Di tengah siklus kehidupan era modern yang penuh kepura-puraan, narsisisme, dan persaingan tidak sehat, umat Islam sangat membutuhkan teladan Rasulullah SAW. Dua sifat agung beliau yang kerap terabaikan justru menjadi kunci perbaikan umat: syadīdul ḥayā’ (sangat pemalu) dan tawadhu’ (sangat rendah hati).
Rasulullah Saw. dan Malu yang Menjaga Kehormatan
Malu dalam Islam adalah benteng moral. Rasulullah SAW. bersabda, “Setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak khas Islam adalah al-ḥayā’ (malu).” (HR. Ibn Mājah)
Malunya Nabi SAW. bukan kelemahan, melainkan kesadaran spiritual yang membuat beliau menjaga kehormatan dirinya dan orang lain. Para sahabat menggambarkan beliau sangat pemalu, menjaga ucapan dan tatapan agar tidak menyakiti orang lain. Wajah beliau berubah bila ada sesuatu yang tidak berkenan.
Tawadhu': Kerendahan Hati yang Menyatukan
Meski pemimpin agung, Rasulullah SAW. tidak pernah menempatkan dirinya di atas umat. Beliau duduk bersama sahabat seperti orang biasa, menjahit sendiri pakaiannya, memperbaiki sandalnya, bahkan membantu pekerjaan rumah tangga.
Tawadhu’-nya bukan basa-basi, tetapi realitas hidup. Itulah yang membuat beliau dicintai anak-anak, dihormati orang miskin, dan disegani para pemuka masyarakat.
Problem Sosial Kekinian: Dari Media Sosial hingga Politik Umat
Sayangnya, umat hari ini justru menghadapi tantangan besar. Budaya pamer di media sosial membuat banyak orang kehilangan rasa malu; aurat dipertontonkan, harta dipamerkan, dan privasi dijual demi suka-suka dan pujian primordial hingga pengakuan semu.
Dalam ranah politik, pencitraan dan kepura-puraan sering lebih diutamakan daripada kerja nyata. Para pemimpin tampil dengan senyum di depan kamera, namun di balik layar, kepentingan pribadi dan kelompok lebih diprioritaskan.
Dalam kehidupan sosial, banyak orang menampilkan wajah ramah di depan umum, tetapi menyimpan iri, dengki, bahkan kebencian di belakang. Inilah kemunafikan modern yang merusak kepercayaan dan solidaritas umat.
Pesan Ulama Kontemporer
Ulama besar kontemporer, Syekh Yusuf al-Qaradawi, mengingatkan bahwa kebangkitan Islam tidak mungkin lahir dari slogan semata, melainkan dari akhlak yang hidup dalam keseharian. “Islam itu bukan sekadar kata-kata, tetapi amal nyata yang memancar dari akhlak mulia.”
Demikian pula Prof. Quraish Shihab menekankan: “Rendah hati tidak merendahkan derajat kita, justru meninggikan. Sebaliknya, kesombongan hanya memperlihatkan kehampaan diri.” Pesan ini terasa begitu kuat bila dikaitkan dengan budaya pamer dan arogansi di era digital.
Relevansi untuk Solidaritas dan Harmoni Umat
Malu akan mencegah umat dari perilaku yang menipu dan mempermalukan diri. Tawadhu’ akan menumbuhkan kepemimpinan yang melayani dan persaudaraan yang menguatkan.
Jika umat Islam kembali meneladani sifat malu dan tawadhu’ Rasulullah SAW., maka solidaritas sejati akan tumbuh. Media sosial menjadi sarana kebaikan, politik menjadi ruang pelayanan, dan masyarakat menjadi rumah bersama yang penuh keharmonisan.
Epilog
Rasulullah SAW. adalah teladan sempurna. Dua mahkota akhlak beliau —syadīdul ḥayā’ wa tawadhu’— harus dihidupkan kembali di tengah krisis akhlak umat. Ulama kontemporer pun telah mengingatkan: tanpa malu dan tawadhu’, kita hanya akan terjebak dalam kepalsuan dan kemunafikan zaman.
“Malu menjaga martabat, tawadhu’ menyatukan umat. Dua sifat Rasulullah SAW. ini adalah obat bagi penyakit pamer, pencitraan, dan kemunafikan modern.”
Wallaahu a’lamu bi al-shawaab. Wassalam.