Setiap tahun, jutaan umat Islam di berbagai penjuru dunia merayakan maulid Nabi Muhammad saw. Sebagian menjadikannya momentum spiritual untuk meneguhkan cinta kepada Rasul, sebagian lain menempatkannya dalam pusaran perdebatan fiqh: bid’ah atau sunnah? Di ruang-ruang akademik, khususnya di level pascasarjana, perdebatan semacam ini mestinya tidak lagi berhenti pada tataran hitam-putih.
Mahasiswa di pascasarjana dituntut untuk berpikir kritis, analitis, bahkan kreatif. Tradisi maulid adalah contoh konkret bagaimana sebuah fenomena keagamaan dapat dikaji lintas disiplin: dari fiqh, sejarah, antropologi, hingga politik. Pertanyaan yang lebih relevan bukan sekadar “apakah maulid boleh atau tidak?”, melainkan “bagaimana tradisi maulid membentuk identitas keagamaan?”, “siapa yang berperan menjaga atau menolaknya?”, dan “apa implikasi sosial-budaya dari praktik ini?”
Dengan kata lain, maulid bisa menjadi laboratorium intelektual. Mahasiswa diajak untuk melihat bagaimana teks-teks keagamaan ditafsirkan secara dinamis oleh masyarakat, bagaimana otoritas keagamaan berperan dalam melegitimasi praktik tertentu, dan bagaimana sebuah ritual menjadi media membangun kohesi sosial.
Lebih jauh, maulid juga dapat dijadikan ajang untuk mengintegrasikan tiga pendekatan keilmuan: bayani (tekstual-normatif), burhani (rasional-kritis), dan irfani (spiritual-transendental). Inilah ciri khas pembelajaran di level lanjut: tidak sekadar knowing, tetapi juga analyzing, evaluating, bahkan creating.
Sebagai contoh, seorang mahasiswa bisa menulis tesis bukan tentang “hukum maulid”, melainkan tentang “maulid sebagai instrumen pendidikan karakter di masyarakat pesisir”, atau “peran maulid dalam memperkuat harmoni antar ormas Islam di Indonesia”. Dari sini, maulid bukan lagi sekadar perayaan seremonial, melainkan menjadi objek kajian yang kaya makna dan relevansi akademik.
Di prodi Hukum Keluarga Islam (HKI), misalnya, maulid dapat dikaji sebagai tradisi yang memperkuat nilai uswah hasanah Nabi dalam kehidupan rumah tangga: kasih sayang, kesetiaan, dan tanggung jawab. Mahasiswa dapat menelaah bagaimana maulid menjadi sarana transmisi nilai moral yang menopang ketahanan keluarga muslim, sekaligus mengkritisi apabila perayaan itu justru dipengaruhi oleh budaya konsumtif yang menjauh dari esensi.
Sementara dalam prodi Ekonomi Syariah, maulid dapat dipelajari dari sisi praksis ekonomi umat. Bagaimana maulid mendorong aktivitas ekonomi masyarakat melalui bazar, perdagangan, atau filantropi Islam? Bagaimana nilai kesederhanaan Nabi dapat dijadikan inspirasi etika bisnis syariah di era modern? Dengan begitu, maulid tidak hanya bernuansa ritual, tetapi juga memberi pelajaran konkret tentang distribusi kesejahteraan dan solidaritas sosial.
Selain itu, maulid di Nusantara juga memperlihatkan akulturasi antara budaya lokal dan Islam. Dari barzanji, hadrah, hingga jamuan makanan khas daerah, semua menjadi medium perayaan cinta Nabi yang bersenyawa dengan identitas budaya setempat. Inilah bukti bahwa Islam mampu berdialog dengan tradisi, bukan untuk mengaburkan ajaran, melainkan untuk meneguhkan nilai universal: persaudaraan, kebersamaan, dan cinta kasih. Mahasiswa pascasarjana dapat mengkaji dinamika ini sebagai fenomena akulturasi yang memperkaya studi Islam di Indonesia.
Tentu saja, penelitian tentang maulid idealnya tidak berhenti pada kajian pustaka. Ia harus berorientasi pada kemanfaatan bagi masyarakat. Apakah melalui pemberdayaan ekonomi, penguatan pendidikan keluarga, atau peningkatan harmoni sosial. Penelitian yang lahir dari kampus diharapkan menjadi energi yang kembali ke masyarakat, sehingga ilmu tidak hanya menumpuk di rak perpustakaan, tetapi hidup dan memberi cahaya.
Dari sini kita belajar bahwa, maulid bukan hanya peringatan kelahiran Rasul, tetapi juga kelahiran gagasan. Ia bisa menjadi ruang di mana cinta bertemu dengan ilmu, tradisi berjumpa dengan nalar, dan spiritualitas berpadu dengan refleksi kritis.