Momentum peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. selalu menghadirkan ruang refleksi bagi umat Islam, bukan hanya pada aspek spiritual, tetapi juga pada dimensi sosial dan kebangsaan. Menariknya, di banyak ruang publik keagamaan kita, Maulid kerap dirangkaikan dengan agenda kebangsaan. Hal ini terlihat dalam kegiatan istigosah kebangsaan yang sekaligus menampilkan hikmah Maulid dari seorang tokoh Muhammadiyah.
Relevansi antara Maulid dan semangat kebangsaan sesungguhnya sangat erat. Rasulullah hadir sebagai sosok yang mempersatukan umat, menanamkan nilai kasih sayang, keadilan, dan persaudaraan. Rektor IAIN Parepare, Prof. Dr. Hannani, M.Ag., menekankan pentingnya dua sifat utama dalam kehidupan berbangsa dan berorganisasi: “Milikilah ketulusan dan keikhlasan. Sekiranya dua sifat ini dapat diwarisi, maka keduanya akan memberi dampak positif bahkan mampu membawa transformasi dalam kepemimpinan.” Pesan ini sejalan dengan nilai yang diwariskan Nabi Muhammad SAW., di mana ketulusan dan keikhlasan menjadi fondasi dakwah dan kepemimpinannya.
Ditegaskan dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiyā’: 107). Ayat ini mengisyaratkan bahwa kehadiran Nabi membawa misi kemanusiaan universal, rahmat yang mencakup dimensi kebangsaan, karena bangsa berdiri di atas prinsip persaudaraan dan keadilan. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Hadis ini relevan dengan semangat kebangsaan: mencintai tanah air berarti memberi manfaat bagi kehidupan bersama, menjaga persatuan, dan mengutamakan maslahat umum.
Imam al-Būshirī dalam Al-Burdah menegaskan bahwa kecintaan kepada Nabi adalah jalan menuju keselamatan umat. Kecintaan ini bukan hanya dalam bentuk pujian, tetapi juga meneladani akhlaknya dalam konteks kebangsaan. Sejalan dengan itu, KH. Hasyim Asy’ari menegaskan semboyan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) sebagai etika dasar bagi umat Islam Indonesia untuk merawat persatuan bangsa.
Kehadiran tokoh Muhammadiyah dalam peringatan Maulid memberi pesan inklusivitas. Muhammadiyah yang dikenal dengan semangat tajdid (pembaruan), menempatkan Nabi sebagai teladan utama. Seperti disampaikan Haedar Nashir, “agama harus melahirkan peradaban utama” (civilized religion). Maka, ketika nilai Maulid dihidupkan dalam bingkai kebangsaan, ia menjadi energi peradaban yang menyatukan umat di atas dasar cinta tanah air.
Dalam perspektif pendidikan, Paulo Freire menegaskan dalam Pedagogy of the Oppressed bahwa pendidikan sejati adalah proses dialogis yang membebaskan. Maulid yang dirangkaikan dengan istigosah kebangsaan menjadi sarana pendidikan nilai. Mahasiswa, pelajar, dan masyarakat belajar bahwa mencintai Nabi berarti mencintai bangsa. Pandangan ini selaras dengan cita-cita Ki Hajar Dewantara: pendidikan adalah proses memerdekakan manusia seutuhnya, baik secara spiritual, intelektual, maupun kebangsaan.
Pada akhirnya, Maulid dan istigosah kebangsaan mengajarkan kita satu hal: pendidikan tidak hanya transfer ilmu, tetapi juga internalisasi nilai. Cinta Nabi melahirkan cinta tanah air; dan cinta tanah air menjadi wujud nyata dari iman. Inilah pendidikan sejati yang perlu terus dihidupkan di ruang-ruang akademik, sosial, maupun kultural agar melahirkan generasi religius sekaligus nasionalis.