Skip ke Konten

Maulid: Dari Panggung Sosial ke Ruang Keluarga dalam Perspektif Kaidah Fikih

Dr. Budiman, M.H.I. (Dosen IAIN Parepare)
6 September 2025 oleh
Maulid: Dari Panggung Sosial ke Ruang Keluarga dalam Perspektif Kaidah Fikih
Suhartina

Maulid Nabi bukan sekadar pesta meriah. Di balik barzanji, selawat, dan pawai hias, tersimpan pertanyaan penting: apakah kita hanya sibuk dengan perayaan, atau benar-benar menangkap pesan yang dibawa Rasulullah saw.?

Setiap tahun, umat Islam di berbagai penjuru dunia merayakan Maulid dengan wajah khasnya. Di Indonesia, Maulid tampil dengan barzanji, zikir, ceramah, hingga pembagian aneka makanan. Di kampung-kampung, masyarakat menyiapkan tudang sipulung (duduk bersama), saling berbagi rezeki, bahkan ada yang menggelar pawai hias. Kemeriahan itu sering kali tampak sebagai “bungkus” Maulid.

Tentu saja, kita tidak boleh lupa bahwa ada sesuatu yang jauh lebih penting: substansi Maulid. Substansi itu berupa rasa syukur atas kelahiran Nabi, kecintaan yang diwujudkan dengan mengingat sirah dan akhlaknya, serta komitmen untuk meneladani beliau dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan sosial. Pertanyaannya, bagaimana kita menimbang antara bungkus dan substansi ini dalam kacamata fikih?

Bungkus yang Bernilai, Tapi Bukan Tujuan

Kita sering menyaksikan Maulid diramaikan dengan dekorasi megah, jamuan besar, atau lomba barzanji. Semua itu menyenangkan, tetapi apakah itu tujuan utamanya?

Kaidah fiqhiyah mengajarkan, “Al-‘ādah muhakkamah” (adat kebiasaan bisa dijadikan pertimbangan hukum). Tradisi perayaan Maulid dengan segala kemasan sosialnya—selama tidak bertentangan dengan syariat—masuk dalam kategori ‘urf yang bisa diterima. Kemeriahan, jamuan makan, atau prosesi budaya dalam Maulid bukanlah tujuan utama, tetapi dapat berfungsi sebagai sarana mempererat silaturahmi dan memperkuat ukhuwah.

Namun, fikih juga mengingatkan agar sarana tidak melampaui tujuan. “Al-wasā’il lahā aḥkām al-maqāṣid” (hukum sarana mengikuti tujuan). Jika bungkus Maulid menguatkan cinta kepada Nabi, maka ia bernilai ibadah. Namun, jika bungkus hanya menimbulkan pemborosan, pamer, atau bahkan konflik sosial, maka nilainya bisa berubah.

Substansi: Ruh yang Tak Boleh Hilang

Substansi Maulid adalah menghadirkan Rasulullah saw. dalam hati dan rumah tangga kita. Allah menegaskan: “Sungguh, pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi kalian” (QS. Al-Ahzab: 21). Maka, momen Maulid sejatinya adalah momentum memperbarui tekad untuk meneladani akhlak beliau.

Kaidah fiqhiyah menyebutkan: “Mā lā yatimmu al-wājib illā bihi fahuwa wājib” (sesuatu yang menjadi sarana tercapainya kewajiban, maka hukumnya ikut wajib). Meneladani Rasulullah adalah kewajiban, dan mengenang perjuangan beliau melalui Maulid bisa menjadi salah satu sarana penting untuk mencapainya.

Dalam konteks keluarga, substansi Maulid menjadi sangat relevan. Rasulullah saw. adalah teladan sebagai suami penuh kasih, ayah penuh kelembutan, sekaligus guru yang sabar. Bila setiap Maulid kita mengingat kembali pola asuh beliau, cara beliau memperlakukan istri, serta kepeduliannya terhadap anak-anak, maka perayaan Maulid bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan pengingat abadi untuk membangun rumah tangga islami.

Bungkus dan Substansi: Keseimbangan yang Diperlukan

Masalah yang sering muncul dalam masyarakat adalah ketika bungkus mengalahkan substansi. Biaya besar dikeluarkan untuk dekorasi, makanan, bahkan lomba, tetapi sedikit waktu dipakai untuk membahas sirah Nabi atau menanamkan nilai-nilai akhlaknya. Kaidah fiqhiyah mengingatkan kita: “Dar’ul mafsadah muqaddamun ‘ala jalbil mashlahah” (menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil kemaslahatan).

Jika kemasan Maulid justru menimbulkan beban ekonomi, riya, atau kecemburuan sosial, maka lebih baik dikurangi demi menjaga substansi tetap bersih. Sebaliknya, jika kemasan Maulid digunakan untuk memperkuat pendidikan agama, membangun solidaritas sosial, atau menanamkan kecintaan anak-anak kepada Nabi, maka bungkus itu menjadi maslahat.

Inilah keseimbangan yang harus dijaga: bungkus boleh, tetapi harus mengantar pada isi; kemasan boleh meriah, tetapi substansi jangan ditinggalkan.

Dari Panggung Sosial ke Ruang Keluarga

Maulid tidak hanya milik panggung sosial, tapi juga rumah tangga. Rasulullah saw. pernah bersabda: “Khairukum khairukum li ahlihii, wa ana khairukum li ahlii” (sebaik-baik kalian adalah yang terbaik kepada keluarganya, dan aku adalah yang terbaik di antara kalian kepada keluargaku).

Kaidah fiqhiyah lain menegaskan: “Al-ḍarar yuzāl” (segala bentuk mudarat harus dihilangkan). Maka, jangan sampai perayaan Maulid yang semestinya membawa berkah justru mendatangkan mudarat bagi keluarga, misalnya dengan membebani biaya berlebihan atau meninggalkan kewajiban pokok.

Sebaliknya, menjadikan Maulid sebagai ruang pendidikan keluarga justru memperkuat maqāṣid syariah dalam menjaga agama (hifẓ al-dīn) dan menjaga keturunan (hifẓ al-nasl). Membiasakan anak-anak mendengar kisah Nabi, menghapal selawat, dan menyaksikan orang tuanya bersemangat merayakan kelahiran Rasulullah adalah cara menanamkan cinta yang mendalam sejak dini.

Penutup

Maulid adalah ruang bagi kita untuk menegaskan kembali: apakah kita sibuk dengan bungkus atau fokus pada substansi? Bungkus perlu, sebab ia menghidupkan suasana dan menyatukan umat. Namun, substansi jauh lebih penting: syukur, cinta, dan teladan.

Dengan memegang kaidah fiqhiyah, kita belajar menimbang dengan adil: adat boleh berjalan selama tidak merusak syariat; kemasan boleh ada selama mendukung tujuan. Tujuan tertinggi dari Maulid adalah meneguhkan kembali hubungan kita dengan Rasulullah saw., menjadikan beliau teladan hidup, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

Jika itu yang kita capai, maka Maulid tidak sekadar pesta tahunan, melainkan investasi spiritual yang terus menerangi jalan kita, dari generasi ke generasi. Sebuah warisan batin yang tidak berhenti di panggung perayaan, tetapi berlanjut dalam keseharian: di meja makan keluarga, di ruang belajar anak-anak, hingga dalam sikap kita di tengah masyarakat.

Dengan begitu, setiap Maulid sejatinya adalah ajakan: bukan hanya merayakan kelahiran Nabi, melainkan melahirkan kembali akhlaknya dalam diri kita. Jika itu yang terjadi, maka Maulid benar-benar hidup, bukan hanya setahun sekali, tetapi sepanjang usia kita.

di dalam Opini
Maulid: Dari Panggung Sosial ke Ruang Keluarga dalam Perspektif Kaidah Fikih
Suhartina 6 September 2025
Share post ini
Label
Arsip