Setiap bangsa yang ingin berdiri tegak dan maju memerlukan pondasi ekonomi yang kuat, mandiri, dan berkelanjutan. Pondasi ini bukan sekadar terkait angka pertumbuhan ekonomi dalam statistik, tetapi juga mencerminkan kemandirian bangsa dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya tanpa terlalu bergantung pada pihak luar. Kemandirian ekonomi menjadi benteng pertahanan yang penting di era globalisasi, kekuatan sebuah negara seringkali diukur dari seberapa tangguh dalam mengelola sumber dayanya dan menjaga stabilitas ekonomi di tengah guncangan internasional.
Tema Hari Kemerdekaan RI ke-80 tahun 2025, “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”, menjadi pengingat bahwa kemerdekaan yang sejati tidak hanya tercermin dalam kedaulatan politik dan simbol-simbol kenegaraan, tetapi juga dalam kemandirian ekonomi. Bersatu dan berdaulat dalam konteks ekonomi mengandung makna bahwa rakyat Indonesia harus memiliki kesadaran kolektif untuk saling mendukung, terutama dalam sikap dan perilaku ekonomi sehari-hari. Artinya, kemajuan bangsa tidak cukup hanya ditopang oleh pembangunan fisik seperti infrastruktur, kekuatan pertahanan atau teknologi modern, tetapi harus disertai kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam mengatur konsumsi dan memperkuat produksi dalam negeri.
Kesadaran kolektif menunjukkan bahwa masyarakat mulai memahami dan berkesadaran bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan memiliki dampak langsung terhadap arah pembangunan ekonomi. Konsumsi yang berpihak pada produk lokal akan menghidupkan industri dalam negeri, memperkuat UMKM, membuka lapangan kerja, dan memutar roda perekonomian nasional. Sikap kesadaran kolektif tidak hanya membantu menjaga perputaran uang di dalam negeri, tetapi juga menjadi bentuk dukungan langsung terhadap keberlangsungan usaha kecil dan menengah, yang menurut data Kementerian Koperasi dan UKM 2024 menyerap lebih dari 97% tenaga kerja di Indonesia.
Pola konsumsi yang selama ini bersifat konsumtif tanpa disadari memberi ruang produk impor semakin membanjiri konsumsi dalam negeri. Pada umumnya pola konsumsi yang konsumtif seringkali ditandai oleh pembelian barang secara berlebihan tanpa mempertimbangkan kebutuhan nyata, hanya demi mengikuti mode atau gengsi sosial. Produk-produk impor, khususnya di sektor fesyen, elektronik, dan makanan olahan, kerap menjadi pilihan utama bukan karena kualitasnya jauh lebih baik, tetapi karena citra merek asing dianggap lebih prestisius. Tren ini diperkuat oleh arus globalisasi dan media sosial, di mana budaya pamer konsumsi barang-barang mewah atau bermerek menjadi bagian dari gaya hidup. Sayangnya, kebiasaan ini berdampak pada meningkatnya ketergantungan terhadap pasar luar negeri, defisit neraca perdagangan, serta melemahnya industri lokal yang tidak mampu bersaing di pasar domestik sendiri.
Melihat kondisi tersebut, transformasi pola konsumsi menjadi hal krusial yang menggambarkan perubahan mendasar dalam cara masyarakat memilih, menggunakan, dan menghargai barang maupun jasa yang mereka konsumsi. Di Indonesia, transformasi ini berarti pergeseran dari pola konsumsi yang bersifat konsumtif, berorientasi pada produk impor, dan cenderung mengikuti tren sesaat menuju pola konsumsi kritis, berkelanjutan, dan berpihak pada produk lokal. Transformasi yang diharapkan adalah munculnya pola konsumsi kritis, di mana masyarakat memiliki kemampuan menilai secara objektif kualitas, manfaat, harga, dan dampak sosial-lingkungan dari setiap barang atau jasa yang dibeli. Berpihak pada produk lokal bukan berarti menutup diri dari perdagangan internasional, tetapi memprioritaskan produk dalam negeri ketika tersedia alternatif yang setara atau bahkan lebih baik. Sebagai contoh, memilih kopi dari petani Gayo, Toraja, atau Mandailing yang terbukti berkualitas tinggi dibandingkan kopi impor; menggunakan kain tenun dari Sengkang, tenun ikat dari Toraja dan NTT atau songket Palembang untuk kebutuhan fesyen; hingga membeli hasil pertanian lokal dari pasar rakyat.
Pola konsumsi yang cerdas dan produktif akan memperkuat perekonomian nasional. Ketika masyarakat lebih memilih buatan dalam negeri, bukan hanya mendapatkan barang yang dibutuhkan, tetapi juga ikut menjaga lapangan kerja petani, nelayan, pengrajin, dan pekerja lokal. Data BPS 2024 menunjukkan konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 53% PDB Indonesia. Sedangkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025, konsumsi rumah tangga menyumbang 54,25% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II-2025. Hal tersebut menggambarkan kesadaran konsumsi kolektif sangat penting karena perilaku belanja masyarakat langsung menentukan arah perekonomian.
Selain itu, transformasi konsumsi kolektif juga perlu menekankan pola konsumsi pada aspek keberlanjutan. Mengurangi pemborosan makanan, memilih produk ramah lingkungan, dan mengutamakan produk dengan rantai pasok yang etis akan membantu menciptakan ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga sehat dan bertanggung jawab. Pola konsumsi berkelanjutan menjadi bagian penting dari transformasi ini, dengan mengedepankan prinsip “membeli seperlunya, menggunakan secukupnya, dan mengelola limbahnya dengan bijak.” Di dalam kerangka keberlanjutan, pilihan produk tidak hanya didasarkan pada faktor ekonomis, tetapi juga pada bagaimana produk tersebut dihasilkan, apakah ramah lingkungan, memperhatikan hak-hak pekerja, dan mendukung kelestarian budaya lokal Dengan demikian, transformasi konsumsi bukan sekadar perubahan selera, tetapi sebuah perubahan budaya ekonomi yang memerlukan kesadaran kolektif, pendidikan literasi ekonomi, serta dukungan kebijakan yang berpihak pada kedaulatan ekonomi bangsa secara berkelanjutan.
Perubahan pola konsumsi dalam transformasi kesadaran konsumsi kolektif juga perlu dibarengi dengan transformasi di sektor produksi. Transformasi pola produksi dimaknai membangun kapasitas produksi dalam negeri yang tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara kuantitas, tetapi juga mampu bersaing dalam hal kualitas dan inovasi.
Langkah ini mencakup penguatan sektor pertanian dan industri berbasis sumber daya lokal, modernisasi proses produksi, serta pemanfaatan teknologi digital. Misalnya, petani yang mengadopsi sistem smart farming dapat meningkatkan hasil panen sekaligus mengurangi biaya produksi. UMKM yang memanfaatkan pemasaran digital dapat menjangkau pasar yang lebih luas tanpa harus mengeluarkan biaya distribusi besar. Pemerintah memiliki peran penting dalam memfasilitasi transformasi ini melalui insentif pajak, subsidi untuk teknologi tepat guna, serta perlindungan terhadap produk lokal dari gempuran impor murah. Di sisi lain, produsen lokal harus membangun kepercayaan konsumen melalui peningkatan kualitas produk, desain yang menarik, serta pelayanan yang kompetitif.
Hal yang tidak kalah penting adalah, distribusi hasil produksi harus berjalan merata dan efisien. Sistem logistik nasional perlu diperkuat agar barang dari daerah produsen bisa sampai ke konsumen dengan harga yang wajar. Peran koperasi, BUMDes, dan kemitraan antara produsen–distributor–ritel menjadi kunci untuk memperpendek rantai pasok dan mengurangi dominasi pihak yang dapat merugikan dan berupaya mengambil keuntungan sepihak.
Pembiasaan cinta akan produk buatan bangsa sendiri dalam konsumsi menjadi langkah awal yang baik, dan akan mendorong produktivitas pelaku usaha untuk terus melakukan perbaikan kualitas dan kuantitas produksi. Produksi dalam negeri yang berkualitas dan berdaya saing akan membangun kepercayaan konsumen terhadap produk lokal, sehingga tercipta ekosistem ekonomi yang sehat, mandiri, dan saling menopang antara produsen dan konsumen Hal tersebut menggambarkan bahwa perubahan pola pikir untuk membeli produk lokal adalah bagian dari bela negara di era modern. Dengan demikian, kemerdekaan ekonomi bukanlah hasil yang datang begitu saja, melainkan buah dari kesadaran kolektif dan sinergitas antara masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah
Transformasi pola konsumsi dan produksi menjadi strategi penting untuk memastikan Indonesia tidak hanya tumbuh, tetapi juga tumbuh dengan kemandirian, keadilan, dan keberlanjutan, sehingga cita-cita Indonesia Maju dapat terwujud secara nyata.