Di tengah gemerlapnya reformasi kurikulum dan desakan globalisasi yang menuntut kecakapan abad 21, pendidikan sering kali menitikberatkan pada hasil, capaian angka, dan efisiensi belajar tanpa peduli dengan proses yang terjadi didalamnya. Tak jarang, terutama dalam pembelajaran matematika, kita menyaksikan peserta didik terjebak dalam rutinitas hitung-hitungan tanpa makna, tanpa rasa, dan tanpa cinta terhadap apa yang mereka pelajari. Inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa banyak peserta didik kita kurang berminat pada matematika
Sebagai pendidik, saya merasa sudah saatnya kita kembali menghidupkan esensi mendalam dari pendidikan: cinta. Hal ini sejalan dengan kurikulum yang digaungkan oleh Menteri agama Republik Indonesia Bapak Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, MA: Kurikulum Berbasis Cinta. Ia bukanlah kurikulum yang lemah lembut tanpa arah, melainkan kurikulum yang menempatkan kemanusiaan sebagai sumbu utama pembelajaran, menghargai rasa ingin tahu, memberi ruang atas kegagalan, dan menghidupkan semangat kolaboratif bukan kompetitif semata.
Dalam konteks matematika, cinta tidak berarti membiarkan peserta didik abai terhadap logika, tetapi justru membangun logika yang tumbuh dari rasa ingin tahu yang hangat. Misalnya, saat mengajarkan konsep integral atau limit, saya mengaitkan pembahasan dengan pengalaman nyata peserta didik: tentang bagaimana perubahan terjadi secara perlahan, bagaimana akumulasi kecil membentuk dampak besar, sama halnya dengan proses belajar manusia yang bertumbuh sedikit demi sedikit. Contoh lainnya ketika mengajar mata kuliah statistika pendidikan, saya tidak langsung mulai dengan rumus dan tabel distribusi. Sebaliknya, saya mengajak peserta didik berdiskusi tentang fenomena yang dekat dengan kehidupan mereka, seperti persebaran tingkat stres selama ujian atau hubungan antara intensitas belajar dan kualitas tidur. Dari percakapan sederhana itu, mereka mulai menyadari bahwa data dan angka bukan sekadar angka mati, melainkan representasi dari kehidupan manusia yang kompleks. Inilah titik di mana pembelajaran matematika menjadi bermakna: ketika ia hadir untuk menjelaskan realitas, bukan sekadar untuk menjawab soal.
Kurikulum berbasis cinta mendorong kita untuk merancang pembelajaran yang bersifat partisipatif. Dalam konteks ini, peserta didik diberi ruang untuk membangun pengetahuan mereka sendiri, berdialog dengan temannya, dan menguji pemahamannya dalam suasana yang saling menghargai. Pendidik hadir bukan sebagai pusat kebenaran, melainkan sebagai fasilitator yang membuka jalan bagi peserta didik untuk berpikir, merasa, dan menemukan sendiri makna dari setiap konsep yang dipelajari. Kurikulum berbasis cinta juga mendorong kita sebagai pendidik untuk tidak sekadar mentransfer rumus, melainkan juga menyentuh nurani peserta didik. Ini mencakup cara kita memberi umpan balik yang membangun, menciptakan ruang aman untuk bertanya, dan mengakui proses belajar sebagai perjalanan yang tidak selalu linier.
Kurikulum cinta mendorong pendekatan interdisipliner. Matematika tidak berdiri sendiri, ia berdampingan dengan bidang lain seperti sosiologi, biologi, bahkan seni. Misalnya, mengaitkan pola geometris dalam matematika dengan keindahan simetri dalam alam, atau menjelaskan pertumbuhan eksponensial dalam konteks penyebaran informasi di media sosial. Pendekatan ini tidak hanya memperluas wawasan peserta didik, tetapi juga mengajarkan bahwa matematika adalah alat untuk memahami dan memaknai kehidupan secara utuh.
Pelajaran matematika selama ini kerap dianggap sebagai pelajaran yang membosankan dan menakutkan. Namun, dengan pendekatan yang memanusiakan, kita bisa menjadikannya sebagai ruang penyubur nalar dan nurani. Cinta dalam pembelajaran matematika bukan hanya slogan, melainkan sikap pedagogis yang hadir dalam setiap pilihan kurikulum, strategi mengajar, hingga evaluasi yang lebih empatik.
Sudah saatnya kita menata ulang orientasi pendidikan kita dari kurikulum yang mencetak nilai menuju kurikulum yang membentuk nilai. Dan itu hanya mungkin jika kita memulainya dari hal paling mendasar yaitu dengan Cinta.