Skip ke Konten

Menulis Tanpa Nama, Belajar Tanpa Cinta

Suhartina
26 Juli 2025 oleh
Menulis Tanpa Nama, Belajar Tanpa Cinta
Suhartina

Kita sedang hidup di zaman ketika nama tak lagi wajib hadir dalam sebuah tulisan. Penulis anonim menjamur di mana-mana; di media sosial, kolom komentar, bahkan dalam tulisan-tulisan panjang yang menyentuh isu-isu serius. Kadang memakai nama samaran yang puitis, kadang tak bernama sama sekali, tapi tetap ingin didengar, dipahami, dan anehnya dipercaya. Fenomena ini menarik, sekaligus menggelisahkan.


Di saat bersamaan, kita sedang menyambut Kurikulum Cinta. Sebuah gagasan besar yang ditawarkan Kementerian Agama, bukan sekadar strategi pembelajaran, tetapi cara baru memanusiakan manusia. Kurikulum ini mengedepankan empati, kasih sayang, dan keberanian untuk hadir sepenuhnya dalam belajar, mengajar, dan berelasi. Sebuah narasi tandingan dari budaya kekerasan simbolik dan akademik yang terlalu lama kita warisi.


Lalu, bagaimana kita menempatkan para penulis anonim dalam kerangka Kurikulum Cinta? Apakah mereka bagian dari ikhtiar menyuarakan nurani, atau justru gejala dari masyarakat yang semakin takut mencintai dan dicintai secara terbuka?


Anonimitas tentu punya tempatnya. Kita paham ada kondisi-kondisi yang membuat seseorang harus bersembunyi di balik nama. Demi keamanan, kenyamanan, atau ketenangan psikologis. Namun, yang patut direnungkan: apakah alasan yang sama juga berlaku bagi mereka yang menulis kritik sosial, pemikiran keagamaan, atau esai pendidikan tanpa keberanian menuliskan namanya?


Cinta, sebagaimana dimaksud dalam Kurikulum Cinta, menuntut kehadiran. Ia tak bisa dijalankan separuh hati. Ia perlu wajah, nama, dan jejak. Karena cinta bukan hanya tentang isi pesan, tapi juga tentang siapa yang menyampaikannya dan bagaimana ia mempertanggungjawabkannya.


Sayangnya, ruang digital hari ini tak selalu bersahabat bagi kehadiran yang jujur. Nama bisa menjadi beban. Keberanian bisa dibalas serangan. Maka wajar bila banyak yang memilih jalan aman: bicara dengan lantang, tapi dari balik tirai. Berteriak, tapi tak ingin dikenal. Cinta semacam itu, jika bisa disebut cinta, terasa hambar dan kosong. Tak ada risiko, tak ada keberanian. Yang ada hanya kata-kata yang dilepas, berharap mengubah sesuatu, tapi tak mau menanggung akibatnya.


Pendidikan hari ini mestinya mengajarkan hal yang sebaliknya. Bahwa menjadi manusia berarti berani menyatakan siapa kita, apa yang kita pikirkan, dan apa yang kita perjuangkan. Menulis dengan cinta berarti menulis dengan hati dan nama. Sebab nama adalah bentuk paling sederhana dari tanggung jawab.


Barangkali ini saatnya kita bertanya: apakah budaya anonim yang kita rayakan diam-diam ini adalah kegagalan pendidikan kita dalam menumbuhkan keberanian dan integritas? Apakah ini pertanda bahwa kita belum sungguh-sungguh membumikan Kurikulum Cinta, bahkan di ruang literasi yang kita puja?


Menulis tanpa nama bukan dosa. Namun, jika semua orang melakukannya, siapa yang akan memikul cinta?


Catatan: Tulisan ini untuk Anonim.

Percayalah, kami membaca. Namun, kami juga menunggu kehadiranmu sepenuhnya, dengan nama, dengan luka, dengan keberanianmu yang utuh. Karena cinta yang sejati tak lahir dari bayang-bayang. Ia muncul dari peluh yang dikenali.

Jadi, wahai penulis tanpa nama, jika suatu hari engkau siap membuka jendela dan menuliskan namamu di akhir kalimat, kami akan menyambutmu seperti sahabat lama yang akhirnya pulang. Namun, jika belum, tak apa. Hanya jangan ajarkan kami untuk menjadikan ketidakhadiran sebagai budaya, sebab dari sanalah cinta pelan-pelan kehilangan rumahnya.




Menulis Tanpa Nama, Belajar Tanpa Cinta
Suhartina 26 Juli 2025
Share post ini
Arsip