Skip ke Konten

Meretas Jalan Moderasi dalam Fikih Mawaris di Era Kurikulum Cinta

Dra. Rukiah, M.H. (Dosen Program Studi Manajemen Zakat dan Wakaf, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, IAIN Parepare)
28 Juli 2025 oleh
Meretas Jalan Moderasi dalam Fikih Mawaris di Era Kurikulum Cinta
Admin

Dalam sejarah panjang Islam, pembagian warisan (mawaris) tidak sekadar urusan matematis, tetapi juga cermin nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap relasi keluarga. Namun dalam praktiknya, fikih mawaris sering kali direduksi menjadi angka-angka kaku tanpa ruang dialog dan empati. Di sinilah pentingnya momentum peluncuran Kurikulum Cinta oleh Menteri Agama, yang mengedepankan semangat moderasi beragama dan penghargaan terhadap keberagaman sosial. Kurikulum ini membuka ruang baru bagi pengembangan ilmu keislaman, termasuk fikih mawaris, dalam lanskap yang lebih manusiawi dan transformatif.

Pendekatan cinta, yang menjadi ruh kurikulum ini, sangat relevan dalam menjawab persoalan-persoalan klasik dan kontemporer dalam pembagian warisan. Cinta dalam hal ini bukanlah sentimentalitas semata, melainkan landasan etis yang memperkuat maqashid syariah: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Klasik fikih telah memberikan struktur normatif yang sangat rinci dalam urusan warisan. Tapi sering kali, ketegangan muncul ketika norma tersebut berbenturan dengan dinamika sosial kontemporer. Misalnya, peran perempuan dalam keluarga, status anak angkat, distribusi aset keluarga modern, hingga masalah pluralitas mazhab dalam satu komunitas. Di sinilah pendekatan cinta menuntut kita tidak berhenti pada legalitas (‘amaliyah), tetapi menggali nilai-nilai keadilan (‘adalah) dan kasih sayang (rahmah) yang menjadi ruh dari setiap hukum.

Dalam realitas masyarakat majemuk di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang memiliki kearifan lokal atau praktik adat tersendiri dalam pembagian harta warisan, pendekatan fiqih yang rigid berpotensi menimbulkan ketegangan sosial. Maka fikih mawaris perlu dikembangkan dalam kerangka wasathiyah (moderat dan kontekstual) yang tidak menegasikan nash, tetapi juga tidak menafikan realitas hidup.

Dengan semangat cinta, kita diajak untuk mengembangkan fikih mawaris yang tidak hanya berpijak pada “siapa mendapatkan berapa”, tetapi juga mempertimbangkan “bagaimana warisan itu memulihkan, merawat, dan menguatkan relasi keluarga pasca-kematian.” Sebab, betapa banyak kasus warisan yang justru merusak silaturahmi, mengoyak kepercayaan antarsaudara, dan bahkan berujung pada konflik hukum yang berkepanjangan.

Sudah saatnya fikih mawaris tidak hanya diajarkan sebagai ilmu hitung, tetapi juga sebagai ilmu kehidupan, yang mengajarkan keadilan, empati, dan penghargaan atas hak-hak sesama. Maka, Kurikulum Cinta membuka ruang bagi pengajaran fikih mawaris dengan pendekatan berbasis kasus (case-based), simulasi musyawarah keluarga, dan dialog antarmazhab, yang semua itu mengakar pada nilai kasih dan sayang sebagai ruh ajaran Islam.

Fikih mawaris dapat menjelma menjadi instrumen rekonsiliasi, bukan sekadar distribusi aset. Ia dapat menjadi ekspresi cinta terakhir dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. Dan lebih dari itu, menjadi cara Islam menunjukkan rahmatnya sebagai agama yang mencintai dan memuliakan kehidupan, bahkan setelah kematian.

Meretas Jalan Moderasi dalam Fikih Mawaris di Era Kurikulum Cinta
Admin 28 Juli 2025
Share post ini
Arsip