Dinamika reformasi kurikulum yang terus bergulir. Dimensi afektif dalam pendidikan sering kali kurang memperoleh perhatian serius. Salah satu pendekatan yang menawarkan pembaruan konseptual dan praksis adalah kurikulum berbasis cinta. Pendekatan ini tidak sekadar merupakan seruan moral, melainkan sebuah fondasi pedagogis yang mampu merekonstruksi paradigma pendidikan dari yang semula kompetitif menuju kolaboratif, dari eksklusif menjadi inklusif. Dalam perspektif Islam, gagasan ini sejalan dengan prinsip rahmatan lil ‘alamin, yakni pendidikan sebagai rahmat bagi seluruh semesta, termasuk kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan dalam sistem pendidikan, seperti perempuan, kelompok non-biner, penyandang disabilitas, serta individu dari latar sosial marjinal.
Dalam kerangka psikologi sosial, cinta dapat dimaknai sebagai bentuk keterikatan sosial (social bonding) dan mekanisme empati yang menopang terbentuknya relasi interpersonal yang sehat. Teori Attachment yang dikembangkan oleh John Bowlby menegaskan bahwa keterikatan yang aman dan penuh kasih pada masa kanak-kanak berkontribusi signifikan terhadap kemampuan individu dalam membangun hubungan sosial dan moral. Oleh karena itu, pendekatan pendidikan berbasis cinta memberikan dasar bagi terbentuknya iklim belajar yang hangat, aman, dan suportif, yang pada gilirannya mendukung perkembangan identitas diri yang positif, termasuk dalam hal identitas gender.
Lebih lanjut, teori Self-Categorization dan Social Identity Theory yang dikemukakan oleh Henri Tajfel dan John Turner menjelaskan bahwa identitas sosial terbentuk melalui proses kategorisasi sosial yang kerap melahirkan bias dan diskriminasi. Sistem pendidikan yang konvensional sering kali mereproduksi struktur sosial hierarkis ini melalui simbol, bahasa, serta norma-norma tersembunyi dalam kurikulum. Oleh karena itu, kurikulum berbasis cinta perlu menginterupsi proses kategorisasi yang eksklusif tersebut, dengan menciptakan ruang belajar yang mendorong kesadaran kolektif serta penghargaan terhadap keberagaman identitas sosial, termasuk gender dan ekspresi seksual.
Dalam konteks ini, kritik terhadap sistem kurikulum saat ini menjadi relevan. Meskipun berbagai kebijakan pendidikan telah mengusung wacana “penguatan karakter” dan “profil pelajar Pancasila”, cinta dan afeksi masih ditempatkan sebagai aspek personal, bukan sebagai struktur sistemik. Banyak materi ajar yang masih merefleksikan bias maskulin berorientasi pada kontrol, performa kognitif, dan objektivitas yang oleh psikologi feminis dikategorikan sebagai bagian dari epistemologi androcentrik. Dalam bukunya Teaching to Transgress, Bell Hooks menegaskan bahwa cinta dalam pendidikan adalah tindakan politik dan sekaligus tindakan pembebasan. Pendidikan tidak semata transmisi pengetahuan, tetapi juga ruang transformasi diri dan sosial melalui afeksi yang sadar dan kritis.
Teori Empathy-Altruism Hypothesis yang dikemukakan oleh Daniel Batson (1991) turut memperkuat argumen tersebut. Ia menyatakan bahwa empati yang otentik terhadap kelompok rentan dapat mendorong perilaku prososial yang tulus, bukan sekadar toleransi yang pasif. Dengan demikian, pendidikan berbasis cinta perlu mengembangkan kurikulum yang menumbuhkan empati lintas identitas sosial, serta mempersiapkan peserta didik menjadi pribadi yang responsif terhadap ketidakadilan struktural yang dihadapi kelompok rentan, termasuk ketimpangan gender.
Pada disiplin psikologi gender, kurikulum berbasis cinta berpotensi menjadi sarana penting untuk mendukung perkembangan identitas gender yang sehat dan otonom. Teori Gender Schema yang dikemukakan oleh Sandra Bem menyatakan bahwa anak-anak membentuk konsep gender melalui internalisasi skema sosial yang diperoleh dari lingkungan, termasuk institusi pendidikan. Ketika kurikulum hanya merepresentasikan peran-peran gender tradisional yang kaku, maka identitas peserta didik dibentuk secara sempit dan menimbulkan tekanan untuk berkonformitas. Kurikulum yang berbasis cinta justru harus menghadirkan representasi yang plural dan narasi yang membebaskan, agar peserta didik dapat menegosiasikan identitas dirinya secara jujur dan aman.
Dengan demikian, kurikulum berbasis cinta bukan sekadar idealisme normatif, melainkan visi pedagogis yang menyatu dengan prinsip-prinsip inklusivitas, keadilan gender, dan pendekatan psikologi humanistik. Pendidikan yang mengusung nilai rahmatan lil ‘alamin tidak akan terwujud jika kurikulum masih digunakan sebagai instrumen penyeragaman. Sebaliknya, kurikulum harus menjadi ruang subur bagi tumbuhnya empati, penghargaan terhadap keberagaman, dan solidaritas sosial.