Kemarin, di rapat akademik, ada dua kata yang meluncur begitu saja: “Dosen Kuttu”.
Disusul guyonan Pak Rektor tentang dosen muda yang malas. Ruangan tertawa. Ada yang ikut menggoda, ada yang hanya tersenyum tipis. Saya justru diam, bukan karena tersinggung, tapi karena teringat wajah-wajah yang bekerja tanpa suara.
Dosen kuttu—dalam bahasa Indonesia berarti dosen malas. Istilah ini keluar dari seorang dosen yang merasa dirinya bukan kuttu karena rajin fingerprint dan hadir mengajar. Mungkin ia benar, setidaknya dalam ukuran administratif. Namun, ia jelas tidak melihat Raodha, A. Nurul, Mifda, Sarah, atau dosen lain yang tidak tertib administrasi tapi "hadir" untuk kampus.
Nurul adalah dosen muda. Tanpa jabatan struktural, jarang disebut di rapat pimpinan, dan nyaris tak pernah tampil di foto seremonial. Namun ia ada di balik banyak hal: membantu akreditasi prodi, menyusun laporan borang, mengejar data hingga larut malam (lalu lupa melakukan perekaman daftar hadir, juga kadang lupa anaknya). Apakah ia dibayar? Tidak. Uang lembur? Apalagi. Disebut saat nilai akreditasi keluar? Tidak juga.
Tetap saja, Nurul datang dengan semangat yang sulit dijelaskan. Jika merujuk Self-Determination Theory (Deci & Ryan, 1985), dorongan seperti ini lahir dari kebutuhan akan makna kerja: merasa berdaya, merasa mampu, dan merasa terhubung. Namun, tanpa pengakuan, api itu lama-lama bisa padam.
Masalahnya bukan sekadar insentif. Ini soal keadilan organisasi. Menurut Jerald Greenberg (1987), ada tiga bentuknya: distributive (adil dalam hasil), procedural (adil dalam proses), dan interactional (adil dalam perlakuan). Nurul dan banyak yang seperti dia, kerap tak mendapat ketiganya. Kerja keras tak diimbangi penghargaan, tak dilibatkan dalam keputusan, dan tak diperlakukan setara.
Padahal, mereka juga ikut menjaga napas institusi: menyusun kurikulum, menyambut mahasiswa, memeriksa tugas larut malam, menjadi panitia tanpa pamrih. Mereka tidak haus pujian, tapi pantas mendapat penghormatan.
Menjelang 17 Agustus, kita bicara tentang kemerdekaan bangsa. Namun, jarang bertanya: apakah kampus juga sudah merdeka untuk dosennya? Merdeka dari birokrasi yang menekan, dari struktur yang timpang, dari budaya yang lebih ramah pada kedekatan ketimbang kerja nyata. Kampus yang bermartabat seharusnya menjunjung meritokrasi, seperti ditegaskan Michael Young (1958): penghargaan berdasar kontribusi, bukan senioritas atau lingkaran kedekatan.
Saat bendera kembali berkibar, semoga kita juga mengibarkan kesadaran: kemerdekaan kampus bukan sekadar seremonial, melainkan perjuangan menciptakan ekosistem yang adil. Tidak ada lagi cibir terhadap rekan “kuttu” sebelum memahami peran masing-masing. Banyak dosen seperti Nurul (pejuang kemerdekaan institusional) bekerja tanpa pamrih, membangun tanpa sorotan, dan tetap menyala dalam diam.