Tujuh belas Agustus selalu ramai bendera, tapi di dalam kepala saya justru ramai kata.
Merahnya seperti semangat para pahlawan, putihnya seperti halaman kosong yang siap ditulis.
Orang-orang berteriak merdeka, sementara saya berbisik pada diri sendiri bahwa kemerdekaan juga ada di cara kita memilih diksi.
Bahasa Indonesia ini, ah, dia seperti kekasih yang setia meski kadang saya selingkuh pakai istilah asing.
Di tengah gempuran “update”, “meeting”, dan “deadline”, saya masih percaya kata “pertemuan” lebih hangat daripada semua itu.
Kata “rindu” lebih menggigit daripada “miss you” yang terlalu ringan di lidah.
Mungkin karena rindu itu saya temukan pertama kali di matamu yang sedang mengajarkan ejaan.
Bahasa Indonesia bagi saya bukan sekadar bahasa nasional; dia seperti rumah panggung di kampung yang lantainya berderit kalau ada rahasia lewat.
Saya mencintainya karena ia menyimpan aroma tanah, bau hujan, dan desir angin sore.
Kalau bahasa asing itu hotel bintang lima, bahasa Indonesia adalah beranda rumah nenek yang tak pernah tutup.
Saya suka duduk di sana, menunggu kata-kata pulang dari perjalanan panjangnya.
Kadang mereka pulang lelah, membawa arti baru yang tak semua orang mau terima.
Seperti cinta, bahasa juga berubah, tapi tetap punya wajah yang saya kenal sejak kecil.
Wajah itu kadang saya lihat di papan tulis, saat kamu menulis kata “kasih” dengan kapur putih.
Kemerdekaan, bagi saya, adalah keberanian menulis “aku” ketika semua orang menulis “saya” demi sopan santun.
Kemerdekaan adalah berani memilih kata yang jujur walau terasa telanjang.
Bahasa Indonesia memberi saya iruang untuk jadi manusia tanpa topeng sintaksis yang kaku.
Kalau dunia memaksa saya berkata “I love you”, bahasa Indonesia mengizinkan saya berkata “cintaku”, yang bunyinya lebih dalam, lebih basah, dan tak gampang habis.
Saya tahu, mencintai bahasa seperti ini mungkin dianggap aneh.
Tapi aneh itu indah kalau diam-diam ada orang yang paham maksudnya.
Seperti kamu, yang membaca tulisan saya lalu tersenyum tanpa membalas pesan.
Kadang saya pikir, bahasa itu seperti bendera.
Kita kibarkan setinggi-tingginya, tapi di bawahnya ada tanah tempat akar kita menancap.
Tanah itu bahasa ibu, tanah kelahiran makna.
Kalau kita lepas akar itu, bendera hanya jadi kain yang terbang tanpa arah.
Banyak orang sekarang hafal “content creator” tapi gagap ketika diminta membuat “pengisah cerita”.
Saya tidak ingin jadi seperti itu, meski setiap hari bahasa asing mengetuk pintu pikiran.
Apalagi ada satu pintu yang hanya saya buka untukmu, dengan kata-kata yang tak pernah saya ajarkan pada orang lain.
Bahasa Indonesia itu lucu. Ia bisa jadi tegas seperti proklamasi, atau lembut seperti surat cinta yang diselipkan di antara buku.
Dia bisa berbaris rapi seperti pasukan upacara, atau berlari bebas seperti anak kecil di lapangan desa.
Saya memakainya untuk menulis tugas, tapi juga untuk menulis rasa yang tak pernah masuk silabus.
Dan anehnya, rasa itu justru semakin pandai memilih kata sejak bertemu kamu.
Mungkin karena kamu sendiri adalah kamus berjalan, tapi entah kenapa definisimu tentang saya selalu kosong.
Seperti halaman terakhir novel yang sengaja dibiarkan putih, agar pembaca menebak sendiri akhir ceritanya.
Saya menebak, tapi tak pernah berani memastikan.
Di luar sana, orang memperingati kemerdekaan dengan lomba panjat pinang dan makan kerupuk.
Di dalam sini, saya memperingatinya dengan memanjat kenangan dan memakan suku kata satu per satu.
Setiap kata punya rasa “merdeka” rasanya seperti angin pagi, “cinta” seperti kopi pahit yang bikin ketagihan.
Bahasa Indonesia mengajarkan saya bahwa rasa tidak selalu perlu diterjemahkan.
Kadang cukup dibiarkan menggantung di udara, seperti kalimat tak selesai.
Seperti tatapanmu waktu saya bertanya arti kata “setia” di kelas.
Kamu hanya tersenyum, dan saya tahu itu jawabannya.
Maka di hari ini, saya merayakan dua kemerdekaan sekaligus.
Kemerdekaan bangsa yang diwariskan para pahlawan, dan kemerdekaan hati yang diajarkan bahasa.
Saya mencintai negeri ini karena bahasanya, dan mencintai bahasanya karena ya, kamu.
Kamu yang membuat setiap tanda baca punya detak jantung.
Kamu yang membuat saya mengerti bahwa kata “aku” bisa memerdekakan.
Dan kamu yang diam-diam menjadi paragraf rahasia di naskah hidup saya.
Sebuah paragraf yang tidak akan pernah saya terjemahkan.