Di tengah sistem pendidikan yang masih sering terjebak pada target nilai dan capaian akademik semata, muncul sebuah gagasan segar dari Menteri Agama: menghadirkan kurikulum berbasis cinta. Sebuah ide yang tampak sederhana, tetapi sebenarnya menyimpan kekuatan besar untuk mengubah wajah pendidikan menjadi lebih manusiawi. Terutama di jenjang pendidikan anak usia dini, gagasan ini terasa sangat relevan. Sebab pada usia inilah fondasi karakter dan kemanusiaan ditanamkan.
Kurikulum berbasis cinta bukan sekadar pendekatan emosional, tetapi merupakan upaya membangun sistem pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai kasih, empati, dan penghargaan terhadap kemanusiaan. Secara ontologis, cinta adalah hakikat dasar yang melekat dalam proses pendidikan. Pendidikan yang sejati bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan jiwa dan itu hanya bisa terjadi jika ada cinta dalam relasi guru dan peserta didik.
Dalam sudut pandang filsafat, Erich Fromm menyebut cinta sebagai tindakan aktif yang lahir dari rasa tanggung jawab, perhatian, dan kepedulian terhadap orang lain. Guru yang mendidik dengan cinta tidak sekadar mengajar, tetapi hadir secara utuh sebagai pendamping tumbuh-kembang anak. Sayangnya, dalam praktiknya, masih banyak ruang kelas yang justru memupuk rasa takut, bukan kasih namun tekanan, bukan kenyamanan namun nilai ujian dan bukan nilai kehidupan.
Gagasan kurikulum cinta ini sejalan dengan spirit Islam yang sangat luhur: rahmatan lil ‘alamin. Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad saw sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya: 107). Rahmat dalam konteks ini bermakna cinta yang universal, kasih yang melampaui sekat-sekat agama, suku, usia, dan status. Rasulullah sendiri adalah pendidik sejati yang meneladankan pendidikan penuh kelembutan. Beliau mempercepat shalat karena mendengar tangisan anak, menggendong cucunya saat khutbah, dan tidak pernah membentak anak-anak. Inilah kurikulum cinta yang nyata.
Pendidikan yang meneladani sifat rahmah ini sangat dibutuhkan terutama bagi anak-anak usia dini. Pada masa ini, anak berada dalam tahap perkembangan praoperasional dan operasional konkret, sebagaimana dijelaskan oleh Jean Piaget. Anak-anak belum mampu berpikir abstrak secara matang, melainkan belajar melalui pengalaman konkret dan emosi yang alami. Artinya, nilai cinta tidak bisa hanya diajarkan melalui ceramah, tetapi harus dihadirkan dalam pengalaman langsung, seperti pelukan, senyuman, pujian, dan interaksi yang penuh perhatian dengan menghadirkan pembiasaan dasar mulai dari kata-kata ajaib yaitu : “terima kasih, tolong menolong, dan minta maaf”.
Namun realitas pendidikan hari ini seringkali justru sebaliknya. Anak-anak usia 4-6 tahun dituntut untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung sebelum waktunya. Anak mulai kehilangan waktu bermain, bereksplorasi, dan mengekspresikan diri. Bahkan sebagian lembaga pendidikan masih menggunakan pendekatan otoriter yaitu menuntut anak dengan hafalan yang melahirkan rasa cemas dalam diri anak sehingga sulit mencapai Anak Periode Emas 2045. Hal ini sejalan dengan laporan Komnas Perlindungan Anak (2023) yang menunjukkan meningkatnya kasus bullying bahkan di tingkat PAUD dan SD.
Sudah saatnya kita menggeser orientasi pendidikan, dari sekadar hasil ke proses, dari kontrol ke empati, dari nilai akademik ke nilai kemanusiaan. Kurikulum berbasis cinta dapat diimplementasikan melalui:
- Penguatan pendidikan karakter berbasis kisah-kisah inspiratif yang mengajarkan kasih dan toleransi.
- Penciptaan suasana belajar yang hangat, ramah, dan penuh interaksi positif.
- Pelatihan guru dalam komunikasi kasih dan pendekatan pengasuhan edukatif, bukan menghukum.
Jika sejak dini anak dibiasakan merasakan dan menunjukkan cinta kepada diri sendiri, orang tua, teman, dan lingkungan maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang utuh. Inilah misi utama pendidikan: mencetak manusia yang berdaya pikir, berdaya hati, dan berdaya moral.
Akhirnya, pendidikan yang rahmatan lil ‘alamin bukan utopia, tetapi bisa dimulai dari ruang kelas PAUD, dengan guru-guru yang sabar, lingkungan yang menyenangkan, dan kurikulum berbasis cinta yang dirancang untuk menyentuh hati dengan sebutan “Dari ayat ke Hati” mendidik dengan dasar cinta yang disebutkan pada ayat-ayat Al-Qur’an sebuah makna konkrit dan bukan sekadar metode, melainkan jalan menuju peradaban, yang dapat di ibaratkan bahwa kurikulum itu sebuah “rumah” yang kuat dan kokoh pondasi awalnya agar tidak roboh.