Skip ke Konten

Resistensi dalam Sejarah Pengenalan Kampus bagi Mahasiswa Baru

Muhammad Jufri (Wakil Dekan II Fakultas Tarbiyah)
26 Agustus 2025 oleh
Resistensi dalam Sejarah Pengenalan Kampus bagi Mahasiswa Baru
Admin

Refleksi Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK)

Resistensi terhadap sejarah pengenalan kampus bagi mahasiswa baru selalu menjadi bagian penting dalam dinamika pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya di PTKIN. Fenomena ini menunjukkan tarik-menarik antara tradisi dan pembaruan dalam pendidikan tinggi, khususnya di PTKIN. Ditilik dari sejarahnya, bentuk dan orientasi kegiatan ini mengalami perubahan sesuai konteks sosial, budaya, dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Namun, perubahan tersebut tidak pernah sepi dari resistensi, baik dari kalangan mahasiswa sendiri, masyarakat, maupun pemerintah.

Pada era awal, dinamika pengenalan kampus dikenal sebagai masa orientasi yang lebih sederhana bahkan masyarakat luas lebih mengenal istilah perpeloncoan, semisal OSPEK, MAKRAB dan lain-lain. Bertujuan memperkenalkan lingkungan akademik dan menumbuhkan rasa kebersamaan, bertanggungjawab dan kesetiakawanan. Namun, dalam perjalanannya, kegiatan ini kerap bergeser menjadi ajang hierarki, diwarnai praktik perpeloncoan, bahkan kekerasan simbolik maupun fisik. Di sinilah muncul resistensi dari publik terhadap praktik yang dianggap tidak mendidik dan merugikan mahasiswa baru.

Memasuki era reformasi, resistensi semakin kuat seiring meningkatnya kesadaran akan hak-hak mahasiswa dan pentingnya membangun dinamika budaya akademik yang sehat dan sedikit lebih bermartabat. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama melalui PTKN dan PTKIN beberapa kali mengeluarkan aturan resmi untuk menertibkan kegiatan pengenalan kampus, menggeser pola lama ke arah yang lebih edukatif, humanis, dan berbasis nilai-nilai akademis. Namun, pada praktiknya, sebagian kelompok mahasiswa masih mempertahankan “tradisi lama” dengan alasan melestarikan solidaritas dan identitas komunitas kampus. Resistensi pun muncul dalam dua arah: mahasiswa yang menolak pembatasan tradisi, dan publik yang menolak segala bentuk kekerasan.

Dalam konteks kekinian, pengenalan kampus atau yang kini lebih dikenal dengan istilah PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru) bagi PTKN dan di lingkungan PTKIN lebih masyhur disebut PBAK (Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan). Diarahkan untuk menekankan aspek moderasi, literasi digital, wawasan kebangsaan, hingga penguatan karakter. Meski begitu, masih ada resistensi kultural dari sebagian mahasiswa senior yang merasa bahwa pola baru terlalu formal, kaku, dan kehilangan “ruh kebersamaan”. Sebaliknya, orang tua dan masyarakat luas menuntut jaminan keamanan, kenyamanan, serta orientasi yang benar-benar mendidik bagi putra-putri mereka. Menurut penulis sangat perlu melakukan daur ulang PBAK terhadap budaya-budaya lama menjadi sesuatu yang lebih bermartabat dan berdaya guna dengan suatu prinsip “Almuhafadat ‘Ala al-Qadimi al-Shalih wa al-Akhzu bi al-Jadid al-Ashlah”. Menjaga atau memelihara pola-pola lama yang sudah baik dan tentunya mengambil dan melakukan inovasi progresif baru yang diterapkan berdasarkan kondisi internal kampus masing-masing. Disadari bahwa masih banyak pola-pola lama yang lebih baik untuk diterapkan sebagai penguatan komitmen idealisme mahasiswa untuk diintegrasikan menjadi sebuah model yang baru karena mengandung maslahat dan nilai berdaya guna dalam perjalanan mahasiswa selama dalam kehidupan kuliahnya. Misalnya tradisi atau budaya lokal “Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata, Mappatabe, Tettong Di Lempu’e, Ininnawa Sabbara’e, Getteng, Warani” dan lain sebagainya.

Resistensi terhadap rentang sejarah pengenalan kampus ini pada dasarnya menunjukkan adanya tarik-menarik antara tradisi dan pembaruan. Ia memperlihatkan bahwa setiap perubahan dalam dunia pendidikan selalu berhadapan dengan dinamika sosial dan budaya yang kompleks. Pengenalan kampus idealnya tidak berhenti pada upacara simbolis semata, tetapi benar-benar menjadi wahana untuk membangun kultur akademik, solidaritas, serta kesadaran kritis mahasiswa baru sebagai agen perubahan.

Dengan demikian, resistensi ini bisa dipandang bukan sekadar hambatan, melainkan peluang untuk terus mengoreksi praktik lama dan memperkaya inovasi pengenalan kampus agar sejalan dengan semangat zaman. Sejarah pengenalan kampus akan terus bergerak, namun kualitasnya ditentukan oleh sejauh mana ia mampu menyeimbangkan tradisi solidaritas mahasiswa dengan nilai-nilai pendidikan yang humanis dan beradab.

Resistensi Pengenalan Kampus dalam Konteks Keragaman Budaya Akademik

Budaya kampus pada dasarnya terbentuk dari visi dan misi yang diusung setiap perguruan tinggi. Ada kampus yang menekankan nilai religius, ada yang menonjolkan kebangsaan, ada pula yang menitikberatkan pada inovasi, kewirausahaan, atau bahkan tradisi pergerakan mahasiswa. Keragaman visi-misi inilah yang membuat praktik pengenalan kampus dari tahun ke tahun juga berbeda corak dan orientasinya.

Di satu sisi, resistensi muncul karena mahasiswa baru seringkali dihadapkan pada “budaya kampus” yang belum sepenuhnya mereka pahami. Misalnya, mahasiswa baru di kampus dengan visi keislaman akan diperkenalkan dengan tradisi dakwah dan penguatan spritualitas, sementara di kampus lain dengan visi teknologi mereka lebih didorong pada kegiatan berbasis riset dan inovasi. Perbedaan visi ini bisa menimbulkan kebingungan bahkan penolakan jika cara penyampaiannya terlalu normatif, dogmatis, atau terkesan memaksakan.

Sementara sisi lain, mahasiswa senior sering kali merasa menjadi penjaga otentisitas budaya kampus. Mereka menolak pola baru yang seragam secara nasional yang ditetapkan Kemendikbud dan Kementerian Agama, karena dianggap mengikis identitas khas kampus masing-masing. Dari sinilah resistensi tumbuh antara menjaga identitas lokal kampus dengan mengikuti kebijakan yang lebih modern, humanis, dan inklusif.

Keragaman visi-misi kampus sesungguhnya bisa menjadi kekuatan jika diintegrasikan ke dalam pengenalan mahasiswa baru secara konstruktif. Pengenalan kampus tidak hanya soal membentuk solidaritas, tetapi juga soal memperkenalkan nilai-nilai unik yang membedakan satu kampus dari kampus lainnya. Resistensi akan lebih mudah diminimalisir jika pengenalan kampus mengakomodasi nilai khas kampus (identitas lokal) tanpa mengabaikan prinsip umum pendidikan yang menolak kekerasan, diskriminasi, dan perpeloncoan.

Dengan demikian, hubungan antara resistensi dan budaya kampus yang beragam ini mencerminkan “ketegangan antara homogenisasi kebijakan dengan pluralitas identitas kampus”. Kuncinya adalah keseimbangan: bagaimana setiap kampus mampu menyampaikan visi-misi khasnya dengan cara yang mendidik, terbuka, dan inklusif, sehingga mahasiswa baru merasa diterima sebagai bagian dari komunitas akademik, bukan dipaksa tunduk pada tradisi yang tidak selalu sesuai dengan nilai kemanusiaan.

Resistensi Pengenalan Kampus dalam Bingkai Wawasan Keislaman, Kebangsaan, dan Kurikulum Berbasis Cinta

Sejak awal, pengenalan kampus tidak hanya berfungsi sebagai sarana teknis mengenalkan mahasiswa baru pada dunia akademik, tetapi juga sebagai pintu masuk pembentukan karakter. Resistensi yang muncul dari masa ke masa menunjukkan bahwa ada tarik-menarik antara tradisi, kebijakan, dan nilai-nilai yang ingin diinternalisasikan. Di sinilah relevan untuk mengaitkan pengenalan kampus dengan wawasan keislaman, kebangsaan, serta kurikulum berbasis cinta.

1. Wawasan Keislaman

Dalam perspektif Islam, pendidikan berfungsi sebagai jalan menuju rahmatan lil ‘alamin. Pengenalan kampus seharusnya tidak boleh menjadi ruang dominasi, apalagi kekerasan, melainkan menjadi ruang pembinaan ukhuwah (persaudaraan), ta’aruf (saling mengenal), dan tarbiyah (pendidikan nilai). Resistensi mahasiswa baru terhadap praktik lama yang keras dapat dipahami sebagai perlawanan terhadap budaya yang tidak sesuai dengan prinsip Islam: kasih sayang, persaudaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia.

2. Wawasan Kebangsaan

Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, pengenalan kampus juga berperan memperkuat rasa cinta tanah air dan komitmen kebangsaan. Dalam konteks ini, resistensi dapat dimaknai sebagai bentuk kegelisahan mahasiswa atas praktik yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia. Pengenalan kampus mestinya menjadi sarana untuk memperkuat kesadaran kebangsaan, membangun toleransi terhadap keberagaman suku, agama, dan budaya, serta melatih mahasiswa untuk menjadi warga negara yang kritis, etis, dan berkontribusi bagi bangsa.

3. Kurikulum Berbasis Cinta

Kurikulum berbasis cinta menawarkan paradigma baru dalam pendidikan, yakni menempatkan kasih sayang, kepedulian, dan empati sebagai dasar proses pembelajaran. Jika pengenalan kampus dijalankan dengan pendekatan ini, maka mahasiswa baru akan merasa dihargai, diterima, dan diperlakukan sebagai subjek pembelajaran, bukan objek “ujian ketahanan”. Resistensi mahasiswa dapat diatasi dengan menumbuhkan hubungan yang lebih dialogis, mendukung, dan penuh kehangatan antara senior, dosen, dan mahasiswa baru.

4. Integrasi Nilai

Apabila wawasan keislaman (kasih sayang, ukhuwah), wawasan kebangsaan (toleransi, nasionalisme), dan kurikulum berbasis cinta (empati, penghargaan) diintegrasikan dalam pengenalan kampus, maka resistensi yang muncul justru bisa diarahkan menjadi energi perubahan. Mahasiswa baru tidak hanya sekadar diperkenalkan pada budaya kampus, tetapi juga dipersiapkan menjadi pribadi yang religius, nasionalis, sekaligus humanis.


Dengan demikian, resistensi dalam sejarah pengenalan kampus tidak harus dipandang sebagai ancaman, melainkan peluang untuk merevitalisasi nilai-nilai keislaman dan kebangsaan melalui kurikulum berbasis cinta. Jika kampus mampu meramu ketiga elemen ini, maka pengenalan kampus akan menjadi pengalaman yang transformatif: membentuk generasi muda yang berkarakter Islami, cinta tanah air, dan siap berkontribusi dengan semangat kasih sayang serta solidaritas. Artinya, semata-mata diarahkan untuk menciptakan pengenalan kampus yang edukatif, humanis, bebas kekerasan, dan sesuai nilai budaya akademik secara berdaya guna dan memiliki manfaat paripurna.

Resistensi dalam Sejarah Pengenalan Kampus bagi Mahasiswa Baru
Admin 26 Agustus 2025
Share post ini
Arsip