Di tengah derasnya arus globalisasi dan dinamika pendidikan tinggi, Menteri Agama menghadirkan terobosan penting yaitu Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Gagasan ini bukan hanya relevan untuk madrasah, tetapi juga menjadi kritik sekaligus peluang perbaikan mendasar bagi perguruan tinggi. Di sinilah kampus harus memikirkan ulang makna mutu, arah akreditasi, dan orientasi pendidikan itu sendiri.
Gagasan Menteri Agama tentang Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) adalah respons visioner terhadap dunia pendidikan yang makin terfragmentasi secara sosial, emosional, dan spiritual. Di tengah krisis empati, intoleransi, dan kompetisi akademik yang kering makna, KBC menawarkan pendekatan pembelajaran transformatif yang menumbuhkan kesadaran akan keterhubungan universal. Ia bukan sekadar kurikulum formal, tetapi fondasi untuk membangun atmosfer belajar yang menyentuh sisi kemanusiaan terdalam. Dalam kerangka ini, perguruan tinggi seyogianya mengambil peran strategis untuk membumikan cinta dalam tridarma kampus dan menjadikannya roh dari seluruh sistem mutu.
Selama ini, mutu perguruan tinggi yang diukur berdasarkan sistem akreditasi cenderung terjebak pada pendekatan teknokratis-kuantitatif yaitu rasio dosen, sitasi Scopus, indeks kinerja, dan standar formal lainnya. Walaupun hal itu penting, pendekatan ini belum maksimal menangkap dimensi afektif dan etis dari ekosistem pendidikan. Akreditasi menjadi ritual administratif, bukan refleksi nilai. Padahal, jika mengikuti semangat Kurikulum Cinta, mutu pendidikan tinggi harus menyentuh tiga ranah utama yaitu intelektual, emosional, dan spiritual. Oleh karena itu, penguatan mutu prodi dan PT ke depan perlu menilai pula sejauh mana kampus menjadi rumah yang memanusiakan manusia.
Mengintegrasikan nilai cinta ke dalam sistem penjaminan mutu internal bukanlah mimpi kosong. Kampus bisa mulai dari hal sederhana yaitu membangun relasi dosen-mahasiswa yang lebih egaliter, menghadirkan ruang diskusi yang inklusif, serta memperkuat etika akademik berbasis penghormatan dan kasih sayang. Sistem evaluasi pembelajaran tidak hanya fokus pada capaian kognitif, tapi juga menimbang aspek afektif, spiritual dan sosial. Standar mutu berbasis cinta akan mendorong kampus untuk tidak sekadar mengejar keunggulan, tetapi juga kebermaknaan—sebuah prinsip yang sejalan dengan jiwa Pancasila dan ajaran agama.
Kementerian Agama telah memimpin transformasi ini dengan menyusun kerangka peningkatan mutu berbasis nilai. Sebagai langkah awalnya adalah menambah dimensi evaluasi yaitu sejauh mana kampus menciptakan suasana toleran, membangun kohesi sosial, dan menumbuhkan kesadaran ekologis di kalangan sivitas akademika. Ke depan, prodi yang bermutu selain memenuhi standar nasional pendidikan tinggi juga melihat Indeks Iklim Etika Kampus, Keberagaman dan Inklusi, atau Kesejahteraan Psiko-spiritual Mahasiswa. Insya Allah, ini bukan melemahkan mutu, tapi memperkaya makna mutu itu sendiri.
Sebagaimana ditegaskan dalam panduan KBC, cinta tidak sekadar perasaan, tetapi struktur kesadaran dan paradigma belajar. Dalam konteks ini, proses pendidikan tinggi harus mampu memadukan antara logika akademik dengan narasi kasih sayang. Belajar di kampus bukan sekadar mengejar IPK, tetapi juga menjadi proses menemukan diri, membangun komitmen kemanusiaan, dan merawat kehidupan. Jika semangat ini masuk dalam standar dan kebijakan MUTU, maka perguruan tinggi tidak lagi hanya mencetak knowledge workers tetapi juga moral leaders dan ethical changemakers.
Bahkan dari sisi daya saing global, peningkatan mutu berbasis cinta tidak kontradiktif dengan standar internasional. Lembaga akreditasi seperti QS Stars, THE Impact Ranking, atau UI GreenMetric kini memasukkan indikator tanggung jawab sosial, keberlanjutan, dan inklusi ke dalam penilaian mutu perguruan tinggi. Artinya, jika kampus kita mampu mengintegrasikan dimensi cinta dalam kurikulum dan manajemen mutu, maka ia tidak hanya unggul secara nasional, tetapi juga relevan secara global. Inilah peluang strategis yang bisa dioptimalkan oleh Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).
Sudah waktunya kita mentransformasikan paradigma Mutu dari compliance-based menuju values-based, dari pendekatan prosedural ke pendekatan spiritual. Kampus bukanlah pabrik ijazah, melainkan taman belajar untuk menumbuhkan akal, hati, dan nurani. Hal ini sesuai yang disampaikan oleh Menteri Agama, pendidikan harus kembali menjadi ruang sakral untuk menumbuhkan cinta kepada Tuhan, sesama manusia, bangsa, dan lingkungan. Inilah misi peningkatan mutu perguruan tinggi yang sejati termasuk IAIN Parepare bukan sekadar label tetapi jalan menuju pendidikan tinggi yang unggul, berdaya saing, dan inovatif yang penuh kasih sayang.