Tulisan ini merupakan elaborasi reflektif dari sebuah doa yang penulis panjatkan di hadapan segenap civitas academica IAIN Parepare dan keluarga besar Kementerian Agama, pada suatu momentum bersejarah: peresmian Gedung Laboratorium Terpadu IAIN Parepare, yang dirangkaikan dengan kuliah umum oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A.
Dalam suasana yang penuh kekhidmatan tersebut, doa tak lagi sekadar ritual simbolik, melainkan menjadi ekspresi spiritual yang menyatu dengan atmosfer akademik dan kultural kampus.
Melalui tulisan ini, penulis berikhtiar memformulasikan kembali substansi nilai-nilai yang tersirat dalam doa tersebut ke dalam bingkai narasi akademik, sebagai upaya menyuarakan pentingnya integrasi antara dimensi afektif dan kognitif dalam dunia pendidikan.
Refleksi ini secara khusus terinspirasi oleh gagasan visioner Prof. Nasaruddin Umar tentang kurikulum cinta, sebuah konsep pembaruan pendidikan yang menempatkan cinta sebagai inti dari proses transformasi intelektual dan spiritual.
Doa-doa yang dipanjatkan dengan keinsafan dan kerendahan hati tak hanya mencerminkan hubungan transenden antara hamba dan Tuhannya, melainkan juga menyimpan nilai-nilai pedagogis yang mendalam. Doa menjadi ruang pembelajaran batiniah yang memperkenalkan manusia pada dimensi keindahan, kerentanan, dan harapan. Dalam konteks inilah, gagasan kurikulum cinta menemukan pijakannya: bahwa pendidikan sejati harus melibatkan proses penyucian jiwa, pembentukan karakter, dan penanaman cinta secara menyeluruh, kepada Tuhan, sesama, dan kehidupan itu sendiri.
Kurikulum cinta memandang proses pendidikan bukan semata transfer pengetahuan, melainkan sebagai transformasi spiritual yang menghidupkan rasa. Itulah sebabnya, dalam doa yang penulis bacakan, setelah hamdalah dan selawat, diawali kalimat: “lebur hati memandang keelokan-Mu” dan “bergetar jiwa menyadari keagungan-Mu”. Kalimat-kalimat ini mencerminkan bahwa pendidikan yang menggugah harus mampu menjangkau wilayah afeksi terdalam manusia. Kita tidak hanya diajak berpikir, tetapi juga diajak merasakan (merasakan kasih sayang Tuhan, kelembutan sesama, dan keagungan ciptaan. Inilah dimensi yang kerap hilang dalam sistem pendidikan modern yang terlalu rasional, mekanistik, dan kompetitif) yang sering kali justru merusak daya hidup peserta didik.
Kurikulum cinta menghadirkan kembali cinta sebagai pusat gravitasi pendidikan, bukan sekadar ornamen atau slogan.
Pendekatan sufistik yang melandasi kurikulum cinta menjadikan doa sebagai instrumen pedagogis yang menyentuh. Seruan-seruan kepada Allah melalui nama-nama-Nya yang indah, seperti Yaa Lathiif (Yang Maha Lembut), Yaa Rahmaan (Yang Maha Pengasih), Yaa Rahiim (Yang Maha Penyayang), hingga Yaa Waduud (Yang Maha Mencintai dan Dicintai), mengajarkan bahwa relasi antara murid dan ilmu, guru dan peserta didik, semestinya dibangun di atas dasar cinta dan kelembutan, bukan tekanan atau ketakutan.
Cinta di sini bukan sekadar emosi, melainkan kekuatan spiritual yang membentuk kesadaran etik dan tanggung jawab moral. Ketika peserta didik merasa dicintai dan dimanusiakan, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang penuh empati—tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan emosional.
Doa juga menjadi medium untuk menyadari keterbatasan diri, baik dalam mensyukuri nikmat maupun dalam bersabar menghadapi ujian. Ini merupakan pelajaran penting dalam kurikulum cinta, bahwa pendidikan bukanlah ruang untuk menjadi sempurna, tetapi ruang untuk belajar dari kelemahan dan bertumbuh dalam cinta Tuhan. Saat peserta didik memahami bahwa mereka boleh gagal, boleh lupa, tetapi tetap dicintai oleh Tuhan, saat itulah mereka belajar makna pengampunan, ketulusan, dan kasih sayang sejati. Nilai-nilai ini tidak bisa diajarkan hanya melalui buku teks; ia hanya bisa ditanamkan melalui pengalaman spiritual, dan doa menjadi tanah subur bagi nilai-nilai itu tumbuh.
Di tengah arus pendidikan yang makin mekanistik dan terjebak dalam angka-angka pencapaian, kurikulum cinta hadir sebagai oase yang menyegarkan. Doa bukan sekadar pelengkap aktivitas religius, melainkan fondasi utama pembentukan jiwa yang berakar pada cinta dan spiritualitas yang mendalam. Dalam pusaran doa yang sunyi namun penuh makna, kurikulum cinta mengajarkan bahwa pendidikan adalah proses mencintai dan dicintai—oleh ilmu, oleh Tuhan, oleh sesama, bahkan oleh alam.
Oleh karena itu, institusi pendidikan hari ini tak cukup hanya membangun gedung dan laboratorium. Ia harus berani membangun ekosistem cinta yang hidup dalam keseharian: cinta yang melahirkan kejujuran, kesabaran, kebaikan, dan penghormatan kepada seluruh ciptaan. Kurikulum cinta yang diperkenalkan oleh Prof. Nasar adalah upaya menyentuh sisi terdalam eksistensi manusia: hati yang tercerahkan oleh cahaya Ilahi, akal yang dituntun oleh ilmu yang penuh kasih, dan jiwa yang dibimbing oleh kesadaran akan keagungan anugerah Tuhan.
Pada akhirnya, kurikulum cinta bukan sekadar wacana ideal di tengah kebisingan, tetapi jalan sunyi yang menuntut keberanian, kesabaran, dan ketulusan untuk memanusiakan kembali pendidikan. Ia menyeru kita semua, para pendidik, pengambil kebijakan, dan insan akademik, untuk menjadikan cinta sebagai poros transformasi: cinta yang tumbuh dari doa, bersemi dalam pembelajaran, dan berbuah dalam kehidupan.
Sebab hanya dengan cinta, ilmu menjadi cahaya; dan hanya dengan doa, cahaya itu menemukan jalannya ke dalam hati manusia: cinta dalam pusaran doa.
Wallāhu a‘lam.