Kota Majene kota yang dirindukan. Jumat 28 Oktober 2025, barusan lagi jum'atan dan khutbah di Kota Majene. Khutbah Jumat hari ini di Masjid Nurul Ihsan Tulu, saya mencoba mengangkat tema tentang Hari Guru dan tantangannya di era digital serba klik. Sebuah tema yang lahir dari keprihatinan kita bersama: betapa cepatnya anak-anak kita belajar meremehkan, betapa ringannya mereka menilai, dan betapa mudahnya mereka melewati batas adab hanya karena perangkat di genggaman. Era digital telah membawa banyak kemanfaatan, tetapi ia juga melahirkan generasi yang kadang merasa bahwa satu sentuhan layar dapat menggantikan kerja keras, bahwa komentar singkat dapat menghapus wibawa, dan bahwa kesalahan kecil guru layak dipublikasikan tanpa ampun.
Melalui khutbah ini, saya ingin mengingatkan bahwa Hari Guru bukan hanya seremonial, tetapi momentum untuk bercermin: bahwa adab yang pudar harus kita hidupkan kembali, bahwa marwah guru harus kita tegakkan lagi, dan bahwa tantangan zaman ini tidak boleh membuat kita kehilangan hormat kepada orang yang mengajarkan kita satu huruf sekalipun. Di tengah derasnya arus digital, mari kita jaga guru karena merekalah yang menjaga masa depan anak-anak kita.
Di tengah gegap-gempita era digital, profesi guru hari ini memasuki babak baru yang penuh paradoks: dihormati secara ideal, namun sering direndahkan dalam praktik; dianggap pilar pendidikan, namun kerap dipinggirkan dalam dinamika sosial dan politik; dibutuhkan untuk mendidik generasi, namun sering menjadi sasaran kemarahan publik yang tersulut oleh potongan video di media sosial.
Kita hidup di zaman ketika perhatian lebih cepat dari pemikiran, dan opini bergerak lebih deras daripada kebenaran. Dalam pusaran itu, guru menjadi pihak yang paling rentan. Ia ditempatkan dalam posisi serba salah: disorot tajam ketika salah, tetapi nyaris tak terlihat ketika berjasa.
Padahal dalam pandangan Islam, posisi guru sangatlah agung. Para ulama mewarisi kedudukan para nabi, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” Bukan karena gelar atau posisi sosialnya, tetapi karena misi yang dibawanya: mencerdaskan, menata adab, dan menjaga peradaban. Imam Malik dalam nasihatnya, “Pelajarilah adab sebelum ilmu,” karena ia tahu: keruntuhan adab akan meruntuhkan nilai ilmu itu sendiri.
Masalahnya, inilah tantangan terbesar guru zaman kini, adab yang tergerus. Kita melihat fenomena anak didik yang makin berani menantang guru, meremehkan dengan nada sinis, atau bahkan mempermalukan pendidiknya melalui gawai. Ada murid yang merekam gurunya diam-diam, mengeditnya, lalu menjadikannya bahan ejekan viral. Padahal Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Siapa yang mengajarkanku satu huruf, ia telah menjadikanku seperti hambanya.” Betapa jauh jarak antara pandangan generasi saleh terdahulu dengan realitas sekarang.
Fenomena lain yang tak kalah berat adalah politisasi guru. Banyak guru dipaksa masuk ke pusaran kepentingan yang bukan miliknya. Mereka didorong mengikuti arus kebijakan yang tidak sejalan dengan prinsip pendidikan, diminta mengampanyekan hal-hal yang bukan tanggung jawabnya, atau ditekan untuk mengambil posisi tertentu. Guru yang seharusnya menjadi penjaga nalar bangsa justru dipaksa meninggalkan kemerdekaan intelektualnya. Padahal ilmu menuntut ketenangan, independensi, dan kejernihan akal.
Di sisi lain, anak-anak kita hidup dalam dunia yang “lebih cepat daripada jiwa mereka.” Media sosial membentuk cara belajar mereka, membentuk cara mereka mencari validasi, bahkan membentuk cara mereka mempersepsi otoritas. Bagi sebagian anak, Google dianggap lebih benar daripada guru; TikTok lebih menarik daripada kelas; dan komentar warganet lebih berpengaruh daripada nasihat pendidik.
Inilah realitas yang harus kita hadapi: guru tidak hanya mendidik akal, tetapi juga harus memulihkan karakter di tengah dunia yang mengikis karakter itu sendiri.
Namun, tekanan yang menimpa guru bukan alasan untuk berhenti berharap. Justru ini menjadi titik refleksi bagi kita sebagai masyarakat. Bukankah Allah telah memperingatkan, “Wahai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”? (QS. At-Tahrim: 6). Ayat ini mengandung isyarat bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Orang tua, masyarakat, pemerintah, dan media harus berdiri bersama guru, bukan membiarkannya berjuang sendirian.
Jika kita ingin masa depan bangsa tetap bercahaya, maka marwah guru harus dikembalikan. Kita perlu menghidupkan kembali adab, menguatkan penghormatan kepada orang berilmu, dan membiasakan anak-anak memahami bahwa guru bukan pelayan, bukan objek kemarahan, bukan sasaran politisasi melainkan pilar penyangga peradaban.
Kita pun harus berani bertanya pada diri sendiri: Apakah kita sudah membela guru? Atau tanpa sadar ikut meruntuhkan wibawanya? Apakah kita mengajarkan adab kepada anak? Atau membiarkan gawai mengambil alih tugas kita?
Refleksi ini penting, karena masa depan bangsa tidak hanya ditentukan oleh kurikulum, gedung sekolah, atau teknologi pembelajaran, tetapi ditentukan oleh bagaimana kita memperlakukan guru hari ini. Jika guru dihormati, maka ilmu akan berberkah. Jika guru ditinggikan, maka karakter bangsa akan ikut terangkat. Sebaliknya, bila guru diremehkan, direndahkan, dan disakiti, maka generasi yang lahir adalah generasi tanpa adab.
Pada akhirnya, tantangan terbesar bukan hanya pada guru, tetapi pada masyarakat yang harus belajar kembali bagaimana memuliakan mereka. Karena di balik setiap orang hebat, selalu ada seorang guru. Dan di balik runtuhnya sebuah peradaban, seringkali ada guru yang tidak lagi dihormati.
Di tengah derasnya arus kehidupan modern, kita sering kali lupa bahwa sebagian besar dari diri kita hari ini dibentuk oleh tangan-tangan yang tak pernah meminta balasan, yaitu para guru. Mereka mengajar, membimbing, menempa kesabaran, bahkan memikul beban emosional yang tidak selalu bisa kita lihat. Namun sayangnya, di era yang serba cepat ini, tradisi berterima kasih perlahan memudar. Kita lebih mudah mengingat kekurangan seorang guru dibandingkan pengorbanannya; lebih cepat mengkritik daripada menghargai; lebih sibuk menuntut daripada berterima kasih.
Padahal dalam tradisi keilmuan Islam, syukur kepada guru adalah bagian dari syukur kepada Allah. Sebagaimana ungkapan para ulama,
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْأُسْتَاذَ لَا يُعَدُّ شَاكِرًا لِلهِ
“Siapa yang tidak berterima kasih kepada gurunya, tidak dianggap bersyukur kepada Allah.”
Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa penghormatan kepada guru bukan sekadar etika sosial, tetapi juga akhlak spiritual. Karena ilmu yang sampai kepada kita adalah amanah mulia, dan guru adalah perantara amanah itu. Maka jika kita meremehkan guru, sesungguhnya kita sedang meremehkan anugerah yang Allah titipkan lewat mereka.
Prolog kecil ini ingin mengetuk kembali kesadaran kita: bahwa penghormatan, ucapan terima kasih, dan penjagaan marwah guru adalah bagian dari menjaga keberkahan ilmu dan masa depan generasi.
Dari Bumi Assamalewuang mengucapakan Selamat Hari Guru Nasional Guru-guruku.