Fenomena TikTok telah mengubah cara generasi muda berpikir, belajar, dan memusatkan perhatian. Dalam hitungan tahun, kelas-kelas kita tidak lagi menjadi ruang tenang penuh konsentrasi, melainkan arena distraksi yang berlangsung dari detik ke detik. Guru tidak hanya bersaing dengan rasa bosan siswa, tetapi juga dengan notifikasi, video berdurasi 10 detik, dan algoritma yang agresif.
Indonesia termasuk negara dengan pengguna TikTok terbesar di dunia. Kominfo mencatat lebih dari 70 persen penggunanya adalah remaja usia sekolah. Riset internal sekolah-sekolah di berbagai daerah bahkan menunjukkan siswa membuka TikTok puluhan kali sehari bahkan saat pelajaran berlangsung. Tidak heran jika kita menyaksikan video viral siswa joget di kelas, merekam guru secara diam-diam, atau sibuk “scrolling” saat guru menjelaskan materi penting.
Namun persoalannya jauh lebih serius daripada sekadar pelanggaran etika. Kita sedang menghadapi generasi yang pola atensinya dibentuk oleh teknologi yang sangat kuat. Mereka hidup dalam siklus “dopamine loop”, di mana otak terus mencari rangsangan cepat. Inilah tantangan terbesar guru hari ini: bagaimana mengajar generasi yang tumbuh dalam pola pikir serba singkat?
Atensi yang Menciut dalam Dunia yang Terlalu Cepat
Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows menjelaskan bahwa internet mendesain ulang otak manusia. Pembiasaan pada konten pendek membuat kemampuan berpikir mendalam melemah. Temuan McKinsey Education memperkuat hal ini: durasi fokus pelajar menurun hingga 40 persen dibandingkan satu dekade lalu.
Di kelas, gejalanya terlihat jelas. Banyak siswa tidak sanggup bertahan mendengarkan penjelasan lima menit. Mereka membutuhkan visual, animasi, dan stimulus cepat. Sebagian bahkan bertanya, “Bu, ada versi TikTok-nya?”
Situasi ini sering disalahartikan sebagai kemalasan. Padahal, ini adalah gejala struktural dari budaya digital. Siswa tidak sekadar tidak disiplin, melainkan benar-benar kesulitan bertahan dalam fokus yang panjang. Guru berhadapan dengan realitas neuro-psikologis baru.
Ketika Otoritas Guru Digeser Konten Viral
Tantangan berikutnya adalah pergeseran otoritas. Di era sebelum TikTok, guru adalah sumber kebenaran. Kini, posisi itu digeser oleh kreator digital yang tampil lebih menarik, lucu, dan instan. Tidak jarang siswa mempertanyakan guru karena informasi dari TikTok berbeda.
Bahkan beberapa guru diprotes orang tua karena menyita ponsel anaknya. Situasi ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya viral dalam membentuk opini.
Di tengah semua itu, justru muncul fenomena positif: guru-guru kreatif yang memanfaatkan TikTok untuk menjelaskan materi justru lebih didengar. Ini membuktikan bahwa TikTok dapat menjadi jembatan, bukan musuh.
Mengajar di Tengah Pertarungan Atensi
Tristan Harris menyebut era ini “attention economy” perang memperebutkan perhatian manusia. Aplikasi digital didesain untuk membuat siswa terus menatap layar. Di sisi lain, guru berupaya membuat mereka menatap buku atau papan tulis.
Guru mengajar dalam medan yang tidak setara. Namun perang ini bukan untuk dimenangkan dengan larangan total. Larangan hanya membuat siswa melawan secara diam-diam. Yang dibutuhkan adalah strategi adaptif.
Lima Strategi Efektif di Era TikTok
Berikut pendekatan paling realistis untuk mengajar generasi yang mudah terdistraksi:
1. Microlearning: Materi Singkat, Intens, dan Terfokus
Materi panjang perlu dipotong menjadi segmen 1-3 menit. Setelah itu, lanjutkan dengan diskusi, tanya jawab, atau tugas kecil. Pola singkat-jeda-pendalaman ini cocok dengan ritme otak generasi digital.
2. Active Learning Setiap 5–7 Menit
Guru dapat menyisipkan aktivitas kecil seperti kuis cepat, think-pair-share, atau gambar konsep. Aktivitas ini menyegarkan kembali fokus siswa dan mencegah kejenuhan.
3. Aturan Digital yang Dibuat Bersama Siswa
Daripada memaksa, guru bisa mengajak siswa membuat kesepakatan penggunaan ponsel. Aturan yang dihasilkan bersama jauh lebih dihormati dan dipatuhi.
4. Gunakan TikTok sebagai Media Belajar
Guru dapat memberikan tugas video 15-30 detik untuk menjelaskan konsep, membuat ringkasan materi, atau memberi contoh fenomena di sekitar. Dengan cara ini, energi kreatif siswa digunakan untuk hal positif.
5. Latihan Fokus Bertahap (Deep Work Mini)
Terinspirasi dari Cal Newport, guru dapat melatih fokus siswa secara bertahap: mulai 10 menit tanpa gadget, naik menjadi 20 menit, lalu 30 menit. Latihan konsentrasi ini penting untuk melawan budaya serba cepat.
Mengembalikan Peran Guru sebagai Penuntun Fokus
Guru di era TikTok bukan hanya penyampai materi, tetapi penjaga fokus, penata pengalaman belajar, dan kompas moral. Teknologi dapat menyediakan informasi, namun hanya guru yang menyediakan kehangatan, bimbingan, dan keteladanan.
Hari Guru 2025 harus menjadi momentum refleksi: profesi guru semakin berat, tetapi semakin dibutuhkan. Jika masa depan bangsa ditentukan oleh sejauh mana generasi muda mampu fokus, maka kualitas guru adalah penentu utamanya.
Pada akhirnya, tantangan terbesar bukan mengalahkan TikTok, melainkan memastikan bahwa di tengah hiruk-pikuk digital, anak-anak kita tetap mampu hadir, mendengar, dan berpikir jernih. Dan itulah tugas mulia seorang guru sejak dulu, sekarang, dan selamanya.
Selamat hari guru, kami doakan semoga sehat wal afiat, dan berbahagia dunia akhirat, amin