Sewaktu menonton tayangan Trans7 yang viral belakangan ini, jujur saya sempat ikut terbawa suasana. Ada bagian diri saya yang langsung ingin memilih kubu “membela atau mengecam”. Baru setelah video selesai, saya tarik napas pelan dan bertanya ke diri sendiri, sebenarnya apa yang sedang saya lihat. Kenapa rasanya fokus tayangan lebih tertuju pada orangnya, bukan pada masalah yang ingin dibenahi.
Saya paham kegelisahan yang hendak diangkat. Feodalisme memang dapat muncul dalam bentuk yang halus di lembaga keagamaan. Namun di layar, yang saya tangkap justru potongan tentang rumah, pakaian, dan gestur tokoh. Di kepala saya, muncul pertanyaan sederhana: kalau yang ingin dikritik adalah sistem, kenapa kamera terlalu dekat ke figur. Di situ saya merasa arah kritiknya mulai tersesat.
Di linimasa, suasana tidak lebih tenang. Ada yang membela tokoh secara habis-habisan, ada yang memarahi media. Saya sempat hampir ikut gelombang itu. Lalu saya ingat kebiasaan buruk saya sendiri yang terlalu cepat menyimpulkan. Di titik itu, saya memilih menahan komentar dan mencari pegangan. Robert Entman (1993) menulis tentang framing, intinya media selalu memilih bagian mana yang ditonjolkan. Ketika yang ditonjolkan adalah sosok, penonton cenderung mengira sosok itulah masalah. Ketika yang ditampilkan adalah mekanisme, kita diajak melihat cara kerja yang perlu diperbaiki. Pikir saya, mungkin di sini saya perlu menggeser cara memandang.
Ada hal lain yang bikin saya gelisah, yaitu rasa sungkan yang sering muncul saat berbicara soal pesantren dan kiai. Saya tumbuh di lingkungan yang hormat pada mereka. Saya pun belajar banyak dari tradisi itu. Tapi saya juga tahu, penghormatan bisa berubah menjadi pagar yang terlalu tinggi. Norman Fairclough (1995) menyebutnya sebagai wacana yang mengatur siapa yang boleh berbicara dan topik apa yang pantas dipertanyakan. Saya ingat beberapa kalimat yang sering terdengar, “jangan bawa-bawa kiai, urusan pesantren itu urusan internal”. Kalimat-kalimat itu membuat banyak orang, termasuk saya, memilih diam. Lalu kita kehilangan kesempatan menata hal-hal yang sebenarnya bisa diperbaiki.
Kalau emosi kita sisihkan sebentar, ada beberapa pertanyaan yang menurut saya wajar. Bagaimana jam kegiatan santri diatur agar tidak melelahkan. Adakah laporan donasi rutin sehingga jamaah dan alumni bisa melihat alirannya. Pertanyaan seperti ini tidak menuduh siapa pun, tetapi menuntut prosedur yang jelas. Saya merasa, kritik semacam ini mungkin tidak spektakuler, namun efeknya bisa nyata.
Saya juga menyadari, media sosial tidak memudahkan proses mendinginkan kepala. Notifikasi datang begitu cepat, komentar semakin panas, dan saya sering tergoda untuk ikut menimpali. Di saat seperti itu saya ingat Habermas yang membayangkan ruang publik sebagai tempat orang bertukar alasan, bukan sekadar saling menyemangati kubunya sendiri. Saya mencoba kecil-kecilan untuk kembali ke sana. Membaca ulang, menahan diri, dan bertanya apa data dan proses yang bisa diperiksa.
Dari pengalaman menonton tayangan ini, saya belajar tiga hal untuk diri sendiri. Pertama, saya akan lebih hati-hati setiap kali melihat kritik yang menempel terlalu dekat pada tokoh. Saya akan bertanya, apa prosedur dan aturan main yang sedang bekerja di belakangnya. Kedua, saya ingin menagih penjelasan yang bisa diverifikasi, bukan sekadar opini. Jika ada laporan donasi, saya ingin melihatnya. Jika ada SOP perlindungan santri, saya ingin tahu bagaimana ia dijalankan. Ketiga, saya ingin menjaga nada. Mengkritik dengan nada rendah hati ternyata membuat pintu percakapan tetap terbuka.
Saya sadar, kritik tetap bisa membuat tidak nyaman. Bahkan saat menulis ini, saya beberapa kali menghapus kalimat karena takut salah paham. Namun saya juga percaya, rasa tidak nyaman adalah harga wajar dari perbaikan. Yang ingin saya hindari adalah kritik yang melukai lalu pergi begitu saja. Personalisasi sering menghasilkan itu. Menyasar prosedur memberi kesempatan untuk menyembuhkan.
Pada akhirnya, saya menaruh harapan pada tiga sisi. Pada media, agar berani memilih angle mekanisme dan memberi ruang bagi data, bukan hanya montase dramatis. Pada lembaga, agar menyediakan laporan singkat yang rutin, batas kegiatan yang manusiawi, dan kanal keluhan yang jelas. Pada publik, termasuk saya sendiri, agar lebih sering bertanya bagaimana sesuatu bekerja, bukan hanya siapa yang salah.
Saya menutup catatan ini dengan pengingat untuk diri sendiri. Jika sebuah tayangan membuat saya bangga atau marah terlalu cepat, saya akan berhenti sejenak. Saya akan mencari bagian yang menjelaskan aturan main. Jika tidak ada, berarti liputan itu belum tuntas. Saya akan minta datanya, prosesnya, dan tindak lanjutnya. Di situ saya merasa lebih adil terhadap semua pihak, dan lebih jujur pada apa yang ingin saya benahi.
Buat saya, kritik yang baik bukan yang paling lantang. Kritik yang baik adalah yang membuat perilaku berubah, cara kerja rapi, dan orang-orang yang terlibat merasa lebih aman. Kalau sorot bisa dipindahkan dari figur ke mekanisme, peluang untuk mencapai itu akan lebih besar. Dan di situlah harapan saya bertumpu.