Setiap kali kita memperingati Maulid Nabi Muhammad saw., sesungguhnya kita tidak hanya merayakan kelahiran seorang Nabi, tetapi juga merenungi nilai-nilai luhur yang beliau bawa. Maulid bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan momentum refleksi: bagaimana kejujuran, tawakkal, dan kearifan lokal pernah hadir sejak sebelum beliau diutus, bahkan sudah dikenali oleh sebagian orang pilihan. Nilai-nilai ini bukan sekadar hiasan sejarah, melainkan fondasi moral yang terus hidup sepanjang zaman.
Dalam catatan sejarah, terdapat tiga tokoh yang diyakini telah percaya pada kenabian Muhammad saw sebelum beliau resmi menjadi Rasul. Pertama adalah seorang putri raja Mesir bernama Fatimah. Ia merupakan seorang Kristen Qibti yang taat, ahli kitab yang tekun, dan memiliki kecerdasan intelektual. Dari kitab sucinya, ia membaca tanda-tanda akan lahir Nabi akhir zaman yang bernama Ahmad atau Muhammad. Keyakinannya mendorongnya mencari Abdullah, ayah Nabi, yang diyakini menyandang cahaya kenabian. Meski takdir akhirnya mempertemukan Abdullah dengan Siti Aminah, kejujuran Fatimah dalam mengakui kebenaran adalah teladan abadi bahwa nurani yang jernih akan selalu terbuka pada tanda-tanda Tuhan.
Tokoh kedua adalah seorang pendeta bernama Bahira yang hidup di Syam. Dari balik biaranya, ia melihat kafilah Abu Thalib tampak berbeda dari biasanya: selalu dinaungi awan dan bahkan pohon pun condong memberi teduh. Ia lalu yakin bahwa seorang anak kecil dalam rombongan itu kelak akan menjadi Nabi terakhir. Bahira dengan tulus menyampaikan keyakinannya kepada Abu Thalib, bahkan meminta agar anak itu segera dipulangkan ke Makkah agar selamat dari ancaman. Kejujuran Bahira mengajarkan kepada kita bahwa iman tidak selalu ditentukan oleh identitas agama, melainkan oleh kejernihan hati dalam menangkap kebenaran.
Tokoh ketiga adalah Warakah bin Naufal, seorang rahib Nasrani sekaligus kerabat Khadijah. Ketika Muhammad saw. menerima wahyu pertama di Gua Hira, Warakah dengan penuh keyakinan menegaskan bahwa cahaya kenabian benar-benar telah datang. Ia berkata, “Seandainya aku masih hidup ketika engkau diutus, niscaya aku menjadi pengikutmu yang pertama.” Ucapan Warakah ini bukan sekadar pengakuan, melainkan sebuah pernyataan iman intelektual bahwa tanda-tanda kenabian telah lama ia baca dalam kitab suci sebelumnya. Dari Warakah kita belajar bahwa ilmu yang benar harus dibarengi dengan keberanian moral untuk mengakui kenyataan.
Tiga kisah ini menggambarkan kejujuran intelektual dan spiritual. Mereka tidak menutup mata terhadap tanda-tanda kebenaran, meskipun belum menyaksikan risalah Islam secara sempurna. Kejujuran inilah fondasi moral yang seharusnya kita warisi. Dengan hati yang jernih, mereka mampu mengakui kebenaran meski berisiko ditolak lingkungannya. Dalam konteks hari ini, teladan itu menuntun kita agar berani berkata benar di tengah arus kebohongan dan manipulasi.
Sering kali masyarakat Arab pra-Islam dilabeli “jahiliah”. Namun, bukan berarti mereka sama sekali tanpa nilai. Di tengah praktik syirik dan tradisi yang keliru, mereka tetap memelihara kearifan luhur: kejujuran, kesetiaan pada janji, dan kehormatan diri. Bahkan, mereka mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa meski salah dalam jalan perantara. Inilah yang menunjukkan bahwa benih-benih kebaikan tidak pernah hilang dalam masyarakat, meskipun dibungkus oleh sistem yang salah. Tugas Islam datang bukan untuk menghapus seluruh warisan itu, melainkan untuk menyempurnakan.
Al-Qur’an menegaskan pengakuan orang Arab saat itu: “Kami tidak menyembah berhala ini, kecuali agar lebih dekat kepada Allah” (QS. Az-Zumar: 3). Artinya, sekalipun keliru, ada kejujuran dalam pengakuan mereka. Nilai-nilai positif seperti inilah yang tidak dihapus oleh Islam. Sebaliknya, Islam memelihara dan meluruskan. Prinsipnya jelas: yang bengkok dibenarkan, yang baik dipertahankan. Kearifan lokal bukanlah lawan agama, melainkan jembatan bagi agama untuk berakar dalam kehidupan masyarakat.
Di sinilah refleksi Maulid menjadi relevan. Pertanyaannya: apakah kita masih berani jujur pada kebenaran seperti Fatimah, Bahira, dan Warakah? Apakah kita mau menepati janji meski rugi, sebagaimana sifat Arab pra-Islam yang diapresiasi oleh Islam? Apakah kita siap menjaga kearifan lokal agar tidak hilang ditelan modernisasi yang serba instan dan kompetitif? Maulid seharusnya membangunkan kesadaran kita, bukan sekadar mengisi jadwal acara tahunan. Namun, realitas hari ini menunjukkan kita sering terjebak dalam ritual tanpa makna. Peringatan Maulid ramai dengan seremonial, tetapi miskin refleksi. Padahal, esensi Maulid adalah bercermin: apakah kita sudah meneladani Nabi saw. dalam kejujuran, ketulusan, dan keteguhan pada kebenaran? Tanpa refleksi itu, perayaan akan berakhir sebagai rutinitas budaya tanpa daya ubah bagi akhlak umat.
Kejujuran adalah cahaya yang menuntun jalan. Tawakkal adalah kekuatan yang membuat kita teguh di tengah ujian. Kearifan lokal adalah jembatan yang memperindah hidup beragama. Ketiga nilai ini bukan hanya cerita sejarah, melainkan pedoman hidup yang relevan hingga hari ini. Dengan menghidupkannya, kita menjadikan ajaran Nabi saw nyata dalam kehidupan sosial kita.
Mari menjadikan Maulid bukan sekadar nostalgia masa lalu, tetapi ruang refleksi masa kini. Sebab memperingati kelahiran Nabi berarti menghidupkan nilai-nilainya dalam diri dan masyarakat kita. Jika Fatimah, Bahira, dan Warakah sudah jujur mengakui kebenaran sebelum Nabi saw diutus, bagaimana mungkin kita yang hidup setelah cahaya Islam terang benderang masih enggan meneladani nilai itu? Mari refleksikan diri dalam kehidupan sehari-hari: menjaga kejujuran, menyerahkan diri dengan tawakkal, dan menghargai kearifan lokal sebagai bagian dari iman. Itulah makna Maulid yang sesungguhnya. — A. Nurkidam