Setiap 10 November bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Biasanya, imajinasi kita tertuju pada sosok yang bertempur di medan perang, memanggul senjata, dan mengorbankan nyawa. Namun di zaman ini, bentuk perjuangan tidak lagi selalu berdarah-darah. Di balik ruang kelas, laboratorium, dan asrama pesantren, lahir para pahlawan pendidikan yang berjuang dengan pena, ilmu, dan keteladanan. Mereka menanam benih yang buahnya tidak segera terlihat, namun menentukan arah bangsa dalam jangka panjang.
Pendidikan sebagai Ladang Perjuangan Ilmu
Dalam konteks modern, perjuangan terbesar bangsa bukan lagi sekadar mempertahankan kemerdekaan fisik, melainkan memastikan kemerdekaan intelektual dan ekonomi. Di sinilah kampus dan pesantren memainkan peran kunci. Kampus menjadi ruang lahirnya inovasi dan pembaruan pemikiran; pesantren menanamkan akhlak, karakter, dan spiritualitas. Keduanya adalah ladang subur tempat tumbuhnya manusia berilmu, beriman, dan berdaya.
Perjuangan pendidikan adalah perjuangan jangka Panjang, sering tanpa tepuk tangan, tanpa sorotan kamera. Tetapi justru dari ruang-ruang sunyi itulah lahir “pahlawan modal manusia”, sebagaimana dijelaskan oleh ekonom peraih Nobel, Theodore W. Schultz. Dalam teorinya tentang Human Capital (1961), Schultz menegaskan bahwa pendidikan adalah investasi, bukan sekadar pengeluaran konsumtif. Ilmu, keterampilan, dan pengalaman yang diperoleh seseorang adalah bentuk modal yang meningkatkan produktivitas, kesejahteraan, dan daya saing bangsa.
Kampus sebagai Inkubator Pahlawan Intelektual
Kampus merupakan tempat di mana “investasi” ilmu pengetahuan dilakukan secara sistematis. Di ruang kuliah, mahasiswa bukan sekadar mengejar ijazah, tetapi sedang menanam nilai produktivitas masa depan. Melalui pengajaran, riset, dan pengabdian masyarakat, dosen dan peneliti membentuk kapasitas manusia (human capacity) yang menjadi motor penggerak ekonomi, teknologi, dan tata sosial.
Namun, menjadi pahlawan pendidikan di kampus tidaklah mudah. Banyak dosen yang bekerja di tengah keterbatasan fasilitas dan dana penelitian. Mereka menulis, membimbing, dan meneliti bukan untuk popularitas, melainkan karena keyakinan bahwa ilmu adalah amal jariyah yang tak terputus manfaatnya. Seorang peneliti yang menemukan solusi irigasi hemat air untuk petani, misalnya, telah menjadi pahlawan yang tak kalah penting dibanding mereka yang berjuang di garis depan sejarah.
Seperti ditegaskan oleh Oltulular dkk. (2025), pembangunan ekonomi modern tidak bisa dilepaskan dari dinamika modal manusia yang ditumbuhkan melalui riset dan pendidikan tinggi. Perguruan tinggi yang kuat dalam riset dan etika akademik adalah indikator kemajuan bangsa.
Pesantren: Penjaga Nilai dan Modal Sosial Bangsa
Sementara itu, pesantren, institusi pendidikan Islam tertua di Nusantara, adalah benteng moral dan pusat pembentukan karakter bangsa. Di pesantren, pendidikan tidak hanya menumbuhkan kecerdasan kognitif, tetapi juga etos kerja, keikhlasan, dan disiplin spiritual. Nilai-nilai inilah yang membentuk santri menjadi pribadi tangguh dan mandiri, yang kelak berperan dalam membangun masyarakat.
Menurut Sa’dullah Assa’idi (2021), pesantren di Indonesia telah berkembang menjadi lembaga yang bukan hanya mencetak ulama, tetapi juga penggerak sosial dan ekonomi di tingkat lokal. Banyak alumni pesantren yang menjadi guru, wirausahawan, bahkan pemimpin publik. Mereka membawa nilai kejujuran, kerja keras, dan kepedulian sosial—modal sosial yang sangat dibutuhkan dalam membangun bangsa yang berkeadilan dan bermartabat.
Jika dilihat melalui kacamata Human Capital Theory, pesantren telah lama menerapkan prinsip investasi manusia. Kiai dan ustaz yang mendidik dengan kesabaran dan keikhlasan sesungguhnya sedang menanam modal jangka panjang: membentuk generasi yang bermoral, berpengetahuan, dan berdaya saing. Nilai spiritual dan sosial yang mereka tanamkan adalah bentuk “dividen moral” yang menopang keberlanjutan pembangunan bangsa.
Menghubungkan Kampus dan Pesantren dalam Visi Nasional
Di era disrupsi teknologi, sinergi antara kampus dan pesantren menjadi sangat penting. Kampus memiliki kekuatan riset dan inovasi, sedangkan pesantren memiliki kekuatan nilai dan spiritualitas. Bila keduanya bekerja sama, kampus belajar dari pesantren tentang etika dan integritas, pesantren belajar dari kampus tentang metodologi ilmiah dan teknologi, maka lahirlah generasi emas yang cerdas sekaligus berakhlak.
Program-program integrasi seperti “Pesantrenpreneur”, “Santri Digitalpreneur”, dan kolaborasi riset antara perguruan tinggi dan pesantren merupakan langkah konkret yang mencerminkan paradigma baru pendidikan berbasis modal manusia. Pendekatan ini sejalan dengan gagasan Schultz bahwa peningkatan produktivitas tidak cukup dengan teknologi, tetapi harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas dan kualitas manusia itu sendiri.
Tantangan dan Refleksi
Meski demikian, perjuangan para pahlawan pendidikan tidak tanpa hambatan. Ketimpangan akses, kualitas pembelajaran yang belum merata, serta kurangnya dukungan terhadap riset menjadi tantangan serius. Dalam banyak kasus, dosen dan guru pesantren masih bekerja dengan sumber daya terbatas. Ini menunjukkan bahwa investasi negara dalam pendidikan belum sepenuhnya setara dengan peran vital mereka.
Kritik terhadap teori modal manusia modern menegaskan hal yang sama. P. Auerbach (2024) menulis bahwa pendidikan tidak boleh direduksi menjadi alat ekonomi semata; ia juga harus dipandang sebagai proses sosial, kultural, dan moral. Pendidikan yang bermakna bukan hanya mencetak tenaga kerja terampil, tetapi juga membentuk manusia yang beradab dan memiliki tanggung jawab sosial.
Karena itu, menghormati pahlawan pendidikan tidak cukup dengan ucapan atau seremoni. Kita perlu memastikan kebijakan publik yang benar-benar mendukung mereka: peningkatan anggaran riset, penghargaan bagi guru dan dosen berprestasi, serta penguatan lembaga pendidikan berbasis masyarakat seperti pesantren.
Menjadi Pahlawan Pendidikan di Zaman Ini
Di era digital, menjadi pahlawan bukan berarti harus mengangkat senjata. Setiap guru yang sabar mengajar di pelosok, setiap dosen yang meneliti dengan integritas, setiap kiai yang mendidik santrinya dengan kasih sayang, mereka semua adalah pahlawan masa kini. Mereka menyalakan cahaya pengetahuan di tengah kegelapan kebodohan.
Seorang pahlawan pendidikan sadar bahwa perubahan tidak datang tiba-tiba; ia dibangun perlahan melalui proses belajar yang tekun dan konsisten. Seperti pepatah Arab mengatakan, “Man jadda wajada”—siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil. Itulah semboyan yang dijalankan tanpa henti oleh para pendidik bangsa di kampus dan pesantren.
Hari Pahlawan seharusnya bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga tentang melanjutkan perjuangan dalam bentuk baru: perjuangan menumbuhkan manusia berilmu, berakhlak, dan berdaya. Bangsa yang menghargai pahlawan pendidikan berarti bangsa yang berani berinvestasi pada masa depannya sendiri.