Pendahuluan
Perubahan zaman menuntut setiap institusi pendidikan untuk beradaptasi dengan cepat. Perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN), menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di satu sisi, kampus dituntut untuk menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan modern dengan penguasaan teknologi dan inovasi. Di sisi lain, kampus Islam juga dipanggil untuk menjaga nilai-nilai spiritualitas, moralitas, dan kemanusiaan.
Kondisi ini menjadikan transformasi budaya kerja sebagai agenda mendesak. Transformasi tersebut tidak hanya berfokus pada aspek teknis atau administratif, tetapi juga pada pembentukan paradigma kerja yang mengintegrasikan dua dimensi penting: High Tech dan High Touch (prophetic). Keduanya harus berjalan beriringan, melahirkan budaya kerja yang profesional sekaligus humanis.
High Tech: Pilar Efisiensi dan Inovasi
High Tech adalah simbol dari modernitas. Pemanfaatan teknologi dalam dunia kerja bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave (1980) menjelaskan bahwa gelombang peradaban ketiga ditandai dengan dominasi informasi dan teknologi digital yang mengubah cara manusia bekerja, belajar, dan berinteraksi. Tanpa penguasaan teknologi, perguruan tinggi akan tertinggal.
Dalam konteks IAIN Parepare, penerapan budaya High Tech dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk:
- Bagi dosen, High Tech mencakup penguasaan teknologi pembelajaran. LMS tidak hanya menjadi media unggah bahan kuliah, melainkan ruang interaktif untuk diskusi, penilaian, bahkan kolaborasi riset. Pemanfaatan big data dan kecerdasan buatan (AI) dalam penelitian dapat mempercepat analisis, memperluas literatur, serta meningkatkan kualitas publikasi internasional. Dosen yang adaptif teknologi akan lebih mudah terhubung dengan jaringan ilmiah global, sekaligus memfasilitasi mahasiswa agar tidak tertinggal dari perkembangan ilmu.
- Bagi tenaga kependidikan (tendik), High Tech berarti keterampilan mengoperasikan aplikasi akademik dan keuangan yang terintegrasi. SIMAK dan SISTER, misalnya, bukan hanya alat input data, tetapi juga sarana manajemen informasi yang memperkuat akuntabilitas. Sistem keuangan digital memungkinkan transparansi anggaran, mengurangi risiko penyalahgunaan, serta meningkatkan kepercayaan publik. Tendik yang melek teknologi dapat memberi pelayanan cepat, akurat, dan responsif sesuai tuntutan era digital.
Sebagaimana dijelaskan Thomas L. Friedman dalam The World is Flat (2005), teknologi telah meratakan dunia, sehingga lembaga pendidikan tidak punya pilihan lain kecuali mengadopsinya agar tetap relevan dan kompetitif.
High Touch (Prophetic): Ruh Kemanusiaan dalam Bekerja
Namun, teknologi secanggih apa pun tidak akan bermakna jika tidak disertai nilai kemanusiaan. John Naisbitt dalam karyanya High Tech, High Touch (1999) menegaskan bahwa semakin tinggi penetrasi teknologi, semakin besar pula kebutuhan manusia akan sentuhan emosional dan nilai kemanusiaan. Teknologi bisa menghadirkan efisiensi, tetapi hanya kemanusiaan yang bisa menumbuhkan makna.
Di perguruan tinggi Islam, High Touch terwujud dalam nilai-nilai profetik: shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), fathanah (cerdas), dan tabligh (komunikatif). Konsep ini selaras dengan pandangan Nurcholish Madjid dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (1987), bahwa modernisasi tidak boleh menghilangkan spiritualitas; sebaliknya, nilai-nilai keislaman harus hadir dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk budaya kerja.
Dosen yang profetik bukan sekadar pengajar. Ia hadir sebagai pendidik yang memberi inspirasi. Dengan High Touch, dosen mampu membangun iklim kelas yang dialogis, memberi perhatian pada mahasiswa yang mengalami kesulitan akademik atau personal, dan menjadi teladan akhlak. Kehadiran dosen yang peduli menjadikan mahasiswa merasa dihargai, bukan sekadar “objek” pendidikan.
Tendik yang profetik bukan sekadar pelaksana administrasi. High Touch mendorong tendik melayani dengan ramah, sabar, dan penuh empati. Mahasiswa yang bingung dengan prosedur dibimbing dengan bahasa sederhana, bukan ditegur dengan nada tinggi. Dengan begitu, pelayanan administrasi bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga kualitas interaksi.
High Touch memastikan bahwa mahasiswa datang ke kampus bukan sekadar untuk memperoleh ijazah, tetapi juga untuk merasakan bimbingan hidup dan keteladanan moral.
Profesional sekaligus Humanis
Transformasi budaya kerja akan melahirkan iklim kerja yang profesional sekaligus humanis. Konsep ini sejalan dengan gagasan Peter F. Drucker dalam Management: Tasks, Responsibilities, Practices (1974) bahwa profesionalisme merupakan syarat keberhasilan organisasi, tetapi keberlangsungan organisasi juga ditentukan oleh kemampuan menghargai manusia sebagai subjek, bukan sekadar objek.
- Dosen profesional: menyusun RPS sesuai standar KKNI, mengelola kelas dengan disiplin, serta memenuhi kewajiban riset dan publikasi. Namun, dosen humanis juga mendengarkan aspirasi mahasiswa, memberi motivasi, dan memperhatikan perkembangan mental serta spiritual mereka.
- Tendik profesional: menyelesaikan tugas administratif tepat waktu, menyimpan arsip dengan tertib, dan mengikuti prosedur standar. Tendik humanis, di sisi lain, mampu memberi solusi praktis, misalnya membantu mahasiswa yang terlambat registrasi dengan pendekatan bijak, bukan sekadar menolak.
Profesionalisme membangun kredibilitas, sedangkan humanisme menumbuhkan rasa memiliki.
Contoh nyata transformasi seperti pada transformasi budaya kerja di IAIN Parepare tidak berhenti pada tataran konsep. Praktik nyata telah muncul.
"Seorang dosen muda mengelola kelas dengan aplikasi digital interaktif. Mahasiswa merasa terbantu dengan fitur teknologi, tetapi yang lebih diingat adalah kepedulian dosen tersebut yang menanyakan kabar mahasiswa dan keluarganya. Ini adalah penerapan gagasan Naisbitt: teknologi diimbangi sentuhan kemanusiaan."
"Seorang tendik senior, meski awalnya kesulitan menguasai aplikasi, berhasil beradaptasi melalui pelatihan berkelanjutan. Kini ia melayani mahasiswa dengan sistem online yang lebih cepat, tanpa kehilangan keramahan. Hal ini membuktikan tesis Toffler bahwa gelombang teknologi hanya bisa ditaklukkan oleh mereka yang bersedia belajar sepanjang hayat."
Urgensi Transformasi di PTKIN
1. Tuntutan Zaman
Toffler menegaskan bahwa peradaban baru lahir dari gelombang teknologi informasi. PTKIN tidak boleh berhenti pada tradisi lama, tetapi harus ikut serta dalam revolusi digital agar tidak terpinggirkan.
2. Identitas Keislaman
Nurcholish Madjid menekankan pentingnya modernisasi yang berpadu dengan nilai Islam. PTKIN harus menjadi contoh bahwa teknologi modern bisa berjalan harmonis dengan ajaran profetik, menghadirkan wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
3. Kebutuhan Stakeholder
Friedman menggambarkan masyarakat global menuntut layanan yang cepat, transparan, dan ramah. Mahasiswa dan orang tua di era digital mengharapkan pelayanan akademik yang mudah diakses, tetapi tetap berlandaskan keramahan dan kepedulian.
4. Daya Saing Institusi
Drucker menekankan bahwa organisasi hanya bertahan jika adaptif terhadap teknologi sekaligus menghargai manusia. PTKIN akan mampu bersaing jika tidak hanya menguasai sistem digital, tetapi juga menghadirkan pelayanan humanis yang membedakannya dari institusi lain.
Strategi Implementasi
1. Pelatihan digital berkelanjutan
Peter Senge dalam The Fifth Discipline (1990) memperkenalkan konsep learning organization. IAIN Parepare perlu membangun budaya belajar sepanjang hayat, baik untuk dosen maupun tendik, agar mampu mengikuti perkembangan teknologi.
2. Internalisasi nilai profetik
Nilai profetik perlu dihidupkan melalui teladan pimpinan, pembiasaan salam dan senyum, serta pembinaan akhlak di seluruh lini organisasi. Dengan begitu, dimensi spiritual tetap terjaga di tengah modernisasi.
3. Sistem penghargaan dan evaluasi
Drucker menekankan pentingnya apresiasi sebagai motivasi, disertai evaluasi yang konsisten. Dosen dan tendik yang berinovasi dalam digitalisasi atau pelayanan humanis perlu diberikan penghargaan, sementara yang lalai perlu mendapat pembinaan.
4. Kolaborasi lintas unit
Transformasi budaya kerja hanya mungkin jika setiap fakultas, biro, dan lembaga bekerja sama. Sinergi lintas unit mencegah ego sektoral dan memperkuat budaya kolektif yang solid.
Penutup
Transformasi budaya kerja di IAIN Parepare adalah bagian dari upaya membangun perguruan tinggi Islam yang unggul secara akademik dan kokoh secara moral. Integrasi High Tech dan High Touch bukan sekadar strategi manajemen, melainkan fondasi peradaban.
High Tech menghadirkan efisiensi, kecepatan, dan daya saing global. High Touch menghadirkan keteladanan, kemanusiaan, dan nilai profetik. Profesionalisme menjamin mutu, sedangkan humanisme menumbuhkan kepercayaan.
Sebagaimana dirumuskan oleh Toffler, Naisbitt, Friedman, Drucker, Senge, dan Nurcholish Madjid, kemajuan hanya bermakna jika teknologi dan nilai berjalan beriringan. Dengan demikian, IAIN Parepare berpotensi menjadi mercusuar peradaban Islam modern: unggul dalam teknologi, kuat dalam nilai profetik, profesional dalam kinerja, dan humanis dalam interaksi.
Referensi:
Alvin Toffler, The Third Wave (1980).
John Naisbitt, High Tech, High Touch (1999).
Thomas L. Friedman, The World is Flat (2005).
Peter F. Drucker, Management: Tasks, Responsibilities, Practices (1974).
Peter Senge, The Fifth Discipline (1990).
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (1987).