“Bukan karena niat yang salah, tapi karena harakat yang luput, banyak makna dalam teks suci berubah tanpa disadari.
Sabda Nabi Muhammad saw. ini mengingatkan kita agar tidak sembarangan dalam memahami kitab suci. Terkadang, kesalahan bukan karena niat yang buruk, melainkan karena kurangnya pengetahuan, termasuk dalam hal kecil seperti membaca harakat akhir kata. Padahal, satu kesalahan harakat bisa mengubah arah makna secara drastis.
Bahasa Arab memiliki sistem yang unik. Bukan hanya indah didengar, tetapi juga sangat presisi. Dalam bahasa ini, fungsi kata dalam kalimat ditentukan oleh harakat akhir, atau yang dikenal dengan i‘rab. Itulah sebabnya, kesalahan kecil seperti membaca fathah, padahal seharusnya dhammah bisa mengubah “si pelaku” menjadi “yang dikenai tindakan”. Perubahan makna ini tidak hanya terjadi dalam komunikasi sehari-hari, tetapi juga dalam pemahaman terhadap ayat-ayat suci dan hukum agama.
Sebagai contoh, perhatikan perbedaan antara kalimat Jā’a Muḥammadun dan Naṣartu Muḥammadan. Dalam kalimat pertama, Muhammad adalah subjek—orang yang datang. Sementara dalam kalimat kedua, Muhammad menjadi objek—orang yang ditolong. Hanya satu huruf terakhir yang berubah, tetapi artinya berbalik. Ini menunjukkan bahwa memahami i‘rab bukanlah keterampilan tambahan, melainkan kebutuhan dasar bagi siapa saja yang ingin memahami bahasa Arab secara benar.
Kesalahan i‘rab juga bisa berdampak serius dalam konteks ibadah. Ambil saja ayat iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn dari Surah Al-Fātiḥah. Jika kata iyyāka dibaca salah menjadi iyyāki, struktur kalimat menjadi rusak, dan maksud doa berubah. Padahal, ayat ini diucapkan dalam salat setiap hari. Artinya, kesalahan kecil ini bisa terus diulang tanpa disadari, dan berdampak pada kualitas ibadah kita.
Tidak hanya dalam Al-Qur’an, kitab-kitab keilmuan Islam pun sangat bergantung pada ketepatan i‘rab. Dalam ilmu fiqh, misalnya, kalimat yajibu ḥifẓu al-dīn artinya “wajib menjaga agama”. Tapi jika dibaca ḥifẓa, makna wajib bisa menjadi tidak jelas. Ini bisa menimbulkan kebingungan dalam mengambil kesimpulan hukum. Maka, penguasaan i‘rab menjadi sangat penting, bukan hanya untuk memahami teks, tetapi juga untuk menjaga akurasi dalam beragama.
Melihat pentingnya hal ini, sudah seharusnya ilmu nahwu dan sharaf kembali mendapat perhatian besar dalam pendidikan Islam. Jangan sampai harakat dianggap hiasan semata. Ia adalah penunjuk makna, penanda hukum, dan penjaga keutuhan pesan. Kesalahan membaca bisa menjadi awal dari kesalahan memahami, dan ujungnya bisa berakibat pada kesalahan dalam menjalankan ajaran agama.
Oleh karena itu, mari kita tumbuhkan kembali semangat belajar bahasa Arab dengan serius, tapi juga dengan semangat yang menyenangkan. Belajar i‘rab bukan berarti belajar sesuatu yang rumit, melainkan belajar untuk tidak salah langkah dalam memahami firman Allah dan sabda nabi.
Satu harakat mungkin tampak sepele, tetapi di sanalah letak kejelasan makna. Dari makna yang terjaga, kebenaran bisa sampai kepada siapa pun dengan selamat.
Biodata
St. Alawiyah Ahmad adalah seorang mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Arab semester II di IAIN Parepare. Selain menjalani peran sebagai mahasiswi, ia juga aktif dalam berbagai organisasi, salah satunya adalah Forum Lingkar Pena (FLP) Kota Parepare.