“Allahu Akbar!”
`Teriakan itu menggema di stadion setiap kali tim kesayangan mencetak gol. Di antara gegap gempita suporter, gema takbir seolah menjadi bagian dari selebrasi, suatu cara mengekspresikan rasa syukur dan kebanggaan. Namun, belakangan, fenomena yang dikenal sebagai takbir bola ini menimbulkan tanya: apakah ia masih bentuk ekspresi religius yang tulus, atau justru cermin fanatisme yang menyusup dalam euforia olahraga?
Takbir dalam Islam sejatinya adalah bentuk pengagungan kepada Allah. Ia merupakan ungkapan syukur yang luhur dan spiritual. Tetapi ketika seruan itu berpindah dari masjid ke stadion, maknanya sering kali bergeser. Ada yang memaknainya sebagai doa, namun tak sedikit yang menjadikannya sebagai simbol “identitas kelompok” seolah kemenangan tim tertentu juga kemenangan agamanya.
Di titik inilah batas antara semangat religius dan fanatisme menjadi kabur. Takbir yang seharusnya menyatukan justru bisa memisahkan. Ketika agama diseret masuk ke lapangan hijau, aroma persaingan berubah menjadi sentimen. Sportivitas berganti dengan superioritas.
Sebagian orang berpendapat bahwa takbir bola hanyalah luapan emosi. Sama seperti nyanyian atau yel-yel suporter lainnya, katanya. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu.
Dalam masyarakat religius seperti Indonesia, simbol agama memiliki daya pengaruh besar. Jika disalahgunakan, ia dapat memperdalam sekat antara “kita” dan “mereka”. Beberapa kali, rivalitas antarsuporter diwarnai teriakan berbau agama yang memicu ketegangan. Di sinilah pentingnya moderasi beragama: mengembalikan semangat keagamaan pada nilai dasarnya, menghargai, bukan menyingkirkan.
Belajar dari Stadion Dunia
Di banyak negara, sepak bola justru menjadi sarana membangun solidaritas lintas perbedaan. Di Inggris misalnya, komunitas suporter lintas ras dan agama berdiri berdampingan di tribun yang sama. Di Jerman, klub-klub besar bahkan punya program fans diversity, untuk menanamkan nilai inklusivitas di antara pendukungnya.
Indonesia bisa belajar dari hal ini. Takbir tetap boleh dikumandangkan, tapi dengan makna yang utuh: doa, bukan tantangan; rasa syukur, bukan kebanggaan eksklusif.
Ayat dalam Al-Baqarah 143 mengingatkan, “Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang pertengahan...”
Umat pertengahan bukanlah yang kehilangan semangat, tetapi yang mampu menahan diri agar tidak berlebihan. Prinsip inilah yang mestinya hadir di setiap stadion: berteriaklah sekuatnya untuk tim kesayanganmu, tapi jangan biarkan suara itu menyingkirkan yang lain.
Takbir bola pada dasarnya bukan masalah. Ia bisa menjadi jembatan spiritual di tengah hiruk-pikuk budaya populer, asal kita tahu batasnya. Karena pada akhirnya, kemenangan sejati bukan saat tim kita mencetak gol, tapi ketika kita mampu menjaga hati agar tetap lapang, bahkan untuk lawan yang berbeda warna jersey.
Biodata Penulis
Sarna lahir di Karomabang pada tanggal 7 Agustus 2005. Ia merupakan mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga Islam. Sejak menempuh pendidikan di perguruan tinggi, Sarna menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap kajian hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan keluarga, seperti pernikahan, warisan, dan perceraian.
Melalui bidang studinya, Sarna berkomitmen untuk memahami nilai-nilai keadilan dan kebijaksanaan yang terkandung dalam hukum Islam serta menerapkannya dalam kehidupan masyarakat. Ia bercita-cita menjadi seorang ahli hukum Islam yang dapat memberikan kontribusi positif dalam penyelesaian permasalahan keluarga sesuai dengan prinsip syariat dan keadilan sosial.