Skip ke Konten

Riset: Mengurai Ketegangan Arah Kiblat, Toleransi Syariat Melawan Klaim Radikal

26 Desember 2025 oleh
Fikruzzamansaleh

Perdebatan mengenai arah kiblat, yang seharusnya menjadi penanda kesatuan umat Islam, justru seringkali memicu ketegangan. Di Parepare, misalnya, isu akurasi arah kiblat telah menjadi medan konflik, bahkan hingga memicu polarisasi pandangan keagamaan yang ekstrem. Hal ini bukan sekadar masalah teknis pengukuran, melainkan refleksi dari interpretasi syariat yang berbeda, terkadang hingga menyentuh ranah akidah.

Dalam riset berjudul "NEGOSIASI KETEPATAN ARAH KIBLAT: HAD AL-A'LA DAN AL-ADNA SYAHRUR MELAWAN SIKAP RADIKAL" yang dilakukan oleh Abd. Karim Faiz, Wahidin dari IAIN Parepare, dan Zulfahmi AR dari Al-Azhar, fenomena ini dikaji secara mendalam. Penelitian ini menyoroti bagaimana pandangan kaku terhadap akurasi kiblat, yang diusung oleh kelompok seperti Forum Masyarakat Muslim Parepare (FM2P), berbenturan dengan konsep toleransi dalam syariat Islam yang diusulkan oleh pemikir Muhammad Syahrur.

Akurasi Absolut Versus Fleksibilitas Syariat Bagi sejumlah kalangan, terutama anggota Forum Masyarakat Muslim Parepare (FM2P), ketepatan arah kiblat adalah kewajiban mutlak yang tidak bisa ditawar. Mereka memandang deviasi sekecil apa pun sebagai kesalahan fatal yang berpotensi membatalkan salat, bahkan mengarah pada pengingkaran syariat. Pandangan ini terungkap jelas dalam wawancara dengan ARS, salah satu anggota FM2P dan pengurus Masjid Andalusia Parepare.

ARS menegaskan, "Arah kiblat itu bukan sekadar simbol, tapi perintah langsung dari Allah dalam Al-Qur'an... Jadi bagi kami, kesalahan arah kiblat, walaupun sedikit, tetap pelanggaran terhadap perintah Allah." Ia menambahkan, "Salat itu ibadah yang sakral, dan tidak ada alasan untuk melenceng walau satu derajat." Bagi FM2P, jika seseorang mengetahui arah kiblatnya salah namun tetap membiarkannya, itu adalah tanda ketidaktaatan pada perintah Allah, yang mereka kaitkan dengan lemahnya iman. 

Sikap rigid ini juga diutarakan oleh JD, pengurus masjid sekaligus anggota FM2P, yang menyatakan, "Arah kiblat itu wajib tepat. Bukan kira-kira, bukan mendekati." JD bahkan menganggap keputusan mengembalikan arah kiblat ke posisi awal setelah pengukuran ilmiah sebagai bentuk pengabaian kebenaran. "Kalau sudah ada hasil pengukuran yang benar, ya harus ikut. Kok justru balik ke arah yang salah?" tanyanya. SP, anggota FM2P lainnya, juga memperkuat pandangan ini, menekankan bahwa "Kita tidak bisa bermain-main dengan urusan ibadah wajib seperti salat."

Pandangan FM2P ini menunjukkan kecenderungan untuk menuntut akurasi geodetik yang absolut, mengabaikan dimensi fleksibilitas dalam syariat Islam. Mereka menolak pandangan ulama moderat yang menekankan niat dan usaha maksimal, dengan alasan bahwa "Kalau Allah sudah tetapkan batas (Hudud), kita tidak boleh melampauinya." Hal ini pada gilirannya menciptakan potensi konflik sosial, seperti yang terlihat dalam penolakan pembangunan sekolah Kristen Gamaliel di Parepare, yang juga disoroti dalam riset ini sebagai indikasi sikap intoleransi yang meluas.

Namun, di tengah kekakuan ini, konsep Hudud yang digagas oleh Muhammad Syahrur menawarkan perspektif yang lebih moderat. Hudud merujuk pada batasan hukum yang jelas dalam syariat, namun Syahrur menekankan adanya fleksibilitas dalam implementasinya, terutama dengan mempertimbangkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam isu arah kiblat, Syahrur memperkenalkan dua batas: Had al-A'la dan Had al-Adna. 

Had al-A'la adalah batas maksimal, mengacu pada titik Ka'bah itu sendiri sebagai arah paling ideal dan akurat. Ini adalah orientasi puncak bagi mereka yang mampu menentukannya dengan presisi tinggi. Sebaliknya, Had al-Adna adalah batas minimal yang masih dianggap sah, yaitu wilayah Tanah Haram di sekitar Ka'bah. Bagi umat Islam yang jauh dari Makkah atau menghadapi kesulitan teknis, menghadap ke arah umum Tanah Haram sudah dianggap memenuhi kewajiban. Konsep ini sejalan dengan prinsip al-mashaqah tajlibu al-taysir, yang berarti "kesulitan mendatangkan kemudahan," sebuah fondasi penting dalam fiqh Islam yang mempertimbangkan keterbatasan manusia.

Studi Kasus: Dinamika Arah Kiblat di Parepare Riset ini menyoroti dua masjid di Parepare sebagai studi kasus untuk memahami implementasi pandangan yang berbeda ini: Masjid Al-Barkah dan Masjid Andalusia. Masjid Al-Barkah di BTN Pondok Indah Soreang, yang dibangun pada 1994, mengalami dinamika signifikan terkait arah kiblatnya. Pada Juli 2022, setelah pengukuran oleh tim Fakultas Syari'ah dan Ilmu Hukum IAIN Parepare, ditemukan adanya kemiringan arah kiblat. Pengurus masjid dan yayasan Al-Barkah pun sepakat untuk mengubah posisi shaf sesuai hasil pengukuran. Namun, pada Maret 2023, keputusan ini dianulir. Sebagian pengurus mengembalikan shaf ke posisi awal dengan alasan daya tampung jamaah berkurang jika shaf diubah.

Keputusan ini memicu pro dan kontra. Bapak JD dan Bapak SP, keduanya anggota FM2P, dengan tegas menolak pengembalian arah kiblat ke posisi lama. Mereka berpendapat bahwa pengembalian tersebut tidak sesuai dengan prinsip syariat dan mengabaikan kebenaran ilmiah. "Arah kiblat itu wajib tepat. Bukan kira-kira, bukan mendekati," tegas JD. SP juga menambahkan, "Pengembalian arah kiblat lama jelas salah dan tidak sesuai dengan prinsip syariat. Sementara itu, Masjid Andalusia Parepare, yang didirikan pada 2005 atas inisiatif ARS dan tokoh masyarakat, juga menjadi fokus riset. ARS, sebagai pengurus masjid dan anggota FM2P, menekankan bahwa ketepatan arah kiblat di masjid ini bukan sekadar simbol, melainkan perintah mutlak dari Allah. Pandangan ini menunjukkan bahwa bagi FM2P, akurasi arah kiblat adalah indikator kepatuhan dan kualitas keimanan seorang muslim.

Analisis teknis dalam riset ini menunjukkan bahwa azimut had al-adna untuk Masjid Al-Barkah dan Masjid Andalusia berada di kisaran 292°15′ hingga 292°24′, sementara had al-a'la (titik Ka'bah) berada di sekitar 292°17′ hingga 292°18′. Rentang ini secara ilmiah mendukung adanya fleksibilitas dalam penentuan arah kiblat, selama masih dalam cakupan wilayah Haram Makkah. Hal ini menunjukkan bahwa deviasi teknis kecil, asalkan disertai niat dan usaha maksimal, masih dalam batas toleransi syariat.\n\nMemahami Batasan Toleransi dalam Fiqh Kiblat Konsep Hudud Muhammad Syahrur, dengan Had al-A'la dan Had al-Adna-nya, memberikan kerangka teoretis yang kuat untuk menengahi perdebatan ini. Had al-A'la merepresentasikan kesempurnaan ibadah, di mana mukallaf yang mampu wajib mengarahkan salatnya tepat ke Ka'bah. Ini adalah bentuk kepatuhan maksimal terhadap syariat.

 Namun, Syahrur juga mengakui adanya Had al-Adna, yaitu wilayah Tanah Haram, sebagai batas minimal yang sah. Ini memberikan kelonggaran bagi mereka yang memiliki keterbatasan geografis atau teknis, menegaskan bahwa niat dan usaha maksimal dalam menentukan arah kiblat adalah esensial. Pendekatan ini mengintegrasikan idealitas (Had al-A'la) dengan pragmatisme (Had al-Adna), memungkinkan umat Islam di seluruh dunia untuk menunaikan salat dengan sah tanpa harus terbebani oleh tuntutan akurasi mutlak yang sulit dicapai. Ini adalah cerminan rahmat syariat yang menyeimbangkan ketegasan hukum dengan kemudahan dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, salat tetap sah meskipun ada deviasi teknis kecil, selama arah umum salat masih menuju wilayah Makkah dan didasari oleh ikhtiar yang maksimal. 

Membangun Harmoni di Tengah Perbedaan Ketegangan terkait akurasi arah kiblat di Parepare mencerminkan tantangan yang lebih luas dalam masyarakat Muslim modern: bagaimana menyeimbangkan ketegasan hukum agama dengan prinsip toleransi dan kemudahan syariat. Pandangan yang terlalu rigid dan absolut, seperti yang diusung oleh FM2P, berpotensi menciptakan polarisasi dan konflik sosial. Sebaliknya, pendekatan moderat yang diinspirasi oleh konsep Hudud Muhammad Syahrur menawarkan solusi yang lebih inklusif dan harmonis. 

Untuk membangun harmoni sosial, penting untuk mengedukasi masyarakat tentang nuansa fiqh dalam penentuan arah kiblat. Mengintegrasikan data ilmiah dengan pemahaman syariat yang fleksibel dapat membantu meredakan ketegangan. Institusi keagamaan dan pemerintah daerah memiliki peran krusial dalam mempromosikan dialog dan pemahaman yang lebih luas tentang prinsip al-mashaqah tajlibu al-taysir dan konsep Had al-A'la serta Had al-Adna. Dengan begitu, fokus ibadah dapat kembali pada esensi niat dan ketaatan, bukan pada perdebatan teknis yang memecah belah, sehingga mendukung stabilitas dan keharmonisan umat.

Identitas Riset Judul:

 NEGOSIASI KETEPATAN ARAH KIBLAT: HAD AL-A'LA DAN AL-ADNA SYAHRUR MELAWAN SIKAP RADIKAL Peneliti: Abd. Karim Faiz, Wahidin, Zulfahmi AR Institusi: IAIN Parepare, Al-Azhar Tahun: 2025

Daftar Pustaka / Referensi 

1. Faiz, Abd. Karim, Wahidin, dan Zulfahmi AR. 2025.