Skip ke Konten

Riset: Regulasi Ekonomi Digital di Indonesia Belum Adaptif, Ketimpangan Sosial Kian Menganga

25 Desember 2025 oleh
Fikruzzamansaleh

Di tengah gemuruh transformasi digital yang mengubah lanskap ekonomi dan sosial Indonesia, sebuah pertanyaan krusial muncul: apakah kerangka hukum kita mampu mengimbangi laju perubahan ini tanpa menciptakan jurang ketimpangan baru?


Dalam riset berjudul "Regulasi Ekonomi Digital: Perspektif Hukum dan Dampak Sosial" yang dilakukan oleh Zainal Said, Indah Fitriani Sukri, dan Dwi Putri Ariska dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, ditemukan bahwa regulasi yang ada masih menghadapi tantangan serius. Persoalan penegakan hukum, perlindungan konsumen, dan kesenjangan akses digital menjadi sorotan utama. Secara sosial, ekonomi digital memang menawarkan peluang ekonomi lokal, tetapi juga memunculkan risiko ketimpangan digital dan perubahan pola interaksi masyarakat.



Pesatnya Pertumbuhan Ekonomi Digital dan Jurang Ketimpangan


Perkembangan teknologi dan digitalisasi telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor ekonomi. Ekonomi digital, dengan platform perdagangan daring, teknologi finansial (fintech), serta layanan berbasis teknologi lainnya, menawarkan peluang efisiensi dan inovasi. Indonesia memiliki potensi besar dalam ekonomi digital, didukung oleh lebih dari 202 juta pengguna internet pada tahun 2023. Nilai ekonomi digital Indonesia mencapai USD 44 miliar pada 2020 dan diproyeksikan tumbuh hingga USD 124 miliar pada 2025.


Namun, kemajuan ini tidak datang tanpa tantangan. Ketimpangan akses digital antara wilayah perkotaan dan pedesaan, risiko keamanan transaksi, serta pelanggaran privasi data pribadi menjadi isu krusial. Sebagian besar wilayah pedesaan masih kekurangan infrastruktur digital, yang memperparah ketimpangan akses. Tantangan ini mengindikasikan perlunya pembaruan kebijakan hukum yang komprehensif untuk mengatur transaksi digital dan menjamin perlindungan sosial agar seluruh masyarakat dapat menikmati manfaat ekonomi digital secara adil.



Regulasi yang Ada dan Hambatan Implementasinya


Pemerintah telah menyusun berbagai regulasi untuk mengatur ekonomi digital, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Peraturan Pemerintah (PP) No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) juga bertujuan menciptakan kepastian hukum bagi pelaku usaha, melindungi konsumen, dan memastikan kesetaraan perlakuan antara pelaku usaha daring dan luring.


Namun, implementasi aturan ini masih menghadapi berbagai hambatan. Peneliti menggarisbawahi tingginya angka kebocoran data dan lemahnya pengawasan hukum. Studi menunjukkan bahwa insiden kebocoran data di Indonesia terus meningkat, dengan 35% perusahaan digital mengalami permasalahan terkait keamanan data dalam lima tahun terakhir. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan efektivitas pengawasan dan implementasi regulasi.


Peneliti juga menemukan bahwa implementasi PP No. 80 Tahun 2019 menuai beragam respons, terutama dari pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Banyak UMKM digital merasa terbebani oleh kewajiban administratif seperti pengurusan Nomor Induk Berusaha (NIB), pelaporan transaksi, dan kewajiban pajak. Situasi ini dapat membatasi ruang gerak dan daya saing mereka di tengah persaingan e-commerce yang sangat kompetitif, terutama dengan pelaku besar dan pelaku asing.



Disharmoni Regulasi dan Dampak Sosial di Ajatappareng


Salah satu tantangan utama dalam regulasi ekonomi digital di Indonesia adalah kurangnya responsivitas regulasi terhadap perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perubahan teknologi sering kali tidak diiringi dengan pembaruan regulasi yang memadai, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum bagi pelaku industri digital. Misalnya, dalam sektor fintech, regulasi terkait layanan pinjaman digital mengalami keterlambatan penyesuaian, yang mengakibatkan maraknya layanan pinjaman ilegal.


Tim riset menyoroti disharmonisasi antara aturan di tingkat pusat dengan aturan di tingkat daerah, serta kurangnya transparansi dalam menjalankan regulasi. Dalam konteks wilayah Ajatappareng, peneliti menemukan fakta lapangan yang mencolok. Berdasarkan sampel data jumlah Indomaret dan Alfamart di Kabupaten Barru, Kota Parepare, Pinrang, Sidrap, dan Enrekang, ditemukan ada 1 unit Indomaret di Kabupaten Barru yang beroperasi tanpa memperoleh izin usaha, sebab belum adanya regulasi hukum daerah yang mengakomodir hal tersebut. Aksi ini sempat dikecam sejumlah masyarakat namun masih tetap beroperasi hingga saat ini, menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan ketidakjelasan dalam pemberian izin.


Menurut teori Difusi Inovasi oleh Rogers, adopsi teknologi digital oleh masyarakat dapat membawa dampak positif dan negatif, tergantung pada bagaimana inovasi tersebut diimplementasikan. Dalam konteks ekonomi kerakyatan, platform digital membuka akses pasar yang lebih luas bagi UMKM. Namun, proses adopsi ini tidak terjadi secara merata dan menciptakan risiko kesenjangan digital (digital divide) yang justru dapat memperlebar ketimpangan sosial. Banyak pelaku usaha, khususnya dari kalangan mikro dan tradisional, berpotensi tertinggal (laggards) karena keterbatasan literasi digital, mahalnya biaya akses internet, serta minimnya pemahaman strategi digital marketing.



Membangun Ekosistem Digital yang Inklusif dan Berkelanjutan


Perlu ada pendekatan regulasi yang lebih adaptif dan responsif terhadap perkembangan teknologi. Pemerintah harus mampu menjembatani kesenjangan digital, melindungi hak privasi pengguna, dan memastikan ekonomi digital dapat berkembang tanpa memperburuk ketimpangan sosial. Pendekatan kolaboratif antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat diperlukan untuk memaksimalkan peluang ekonomi digital secara inklusif dan berkelanjutan.


Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah perlu menerapkan pendekatan yang inklusif dan berjenjang. Edukasi dan pendampingan kepada pelaku UMKM harus diperluas agar mereka memahami hak dan kewajiban hukum dalam ekosistem digital. Skema insentif atau keringanan administratif dapat diberikan kepada usaha kecil untuk meringankan beban transisi menuju regulasi yang lebih formal. Selain itu, evaluasi berkala terhadap dampak regulasi perlu dilakukan untuk menyesuaikan kebijakan dengan kondisi nyata di lapangan.


Penguatan sinergi antara pemerintah, platform digital, dan pelaku UMKM akan menjadikan regulasi sebagai payung hukum yang kuat sekaligus katalisator pertumbuhan e-commerce yang sehat, adil, dan inklusif di Indonesia. Reformasi regulasi yang berbasis prinsip technology-neutral akan memberikan kepastian hukum dan memastikan bahwa hukum tidak menjadi penghambat inovasi, melainkan memberikan ruang perlindungan hukum yang optimal bagi semua pihak dalam ekosistem digital. Regulasi yang baik tidak akan berdampak signifikan jika masyarakat dan pelaku industri digital tidak memiliki pemahaman yang memadai terhadap hak dan kewajibannya dalam ekosistem digital. Literasi digital harus terus diperkuat bagi pelaku usaha dan masyarakat.



Identitas Riset

Judul: Regulasi Ekonomi Digital: Perspektif Hukum dan Dampak Sosial

Peneliti: Zainal Said, Indah Fitriani Sukri, Dwi Putri Ariska

Institusi: Institut Agama Islam Negeri Parepare

Tahun: 2025



Daftar Pustaka / Referensi

Afrianti, U., Isa Anshori, M., & Andriani, N. (2022). Digitalisasi Marketing Melalui Instagram Dan Facebook Ads Dalam Meningkatkan Skala Usaha Umkm: Systematic Literature Review. https://doi.org/10.30651/jms.v9i1.21058

Bangsawan, G. (2023).