Skip ke Konten

Skripsi

Bimbingan skripsi itu seperti hubungan LDR: sering di-ghosting, jarang dapat balasan cepat, dan kalau ketemu pun lebih banyak diceramahi daripada dimengerti. Mahasiswa datang dengan harapan, "Semoga dosen ACC hari ini." Tapi yang terjadi? Kertas revisi dikembalikan dengan coretan lebih banyak dari tulisan anak SD di tembok rumah. "Coba perbaiki lagi, ini masih kurang rapi." Padahal mahasiswa sudah merasa tulisannya seperti jurnal internasional.

Catatan Rektor #14

Setiap tahun, ribuan mahasiswa bertanya dengan nada separuh putus asa, “Pak, kenapa saya harus menulis skripsi? Nanti setelah lulus, tidak ada yang peduli dengan judulnya.” Pertanyaan ini bukan sekadar keluhan. Ia lahir dari kegelisahan yang lebih dalam: apakah skripsi benar-benar berguna atau sekadar ritual akademik yang harus dilalui?

Prof. Hannani, di salah satu acara wisuda IAIN Parepare, pernah memberi pesan akademik. Skripsi, sejatinya, bukan hanya soal menyusun ratusan halaman penuh teori, metode, dan analisis. Lebih dari itu, skripsi adalah latihan berpikir. Sebuah proses yang mengajarkan mahasiswa cara melihat masalah, menyusunnya dalam alur logis, mengumpulkan data, menganalisisnya, lalu menyimpulkan dengan rasional. Dalam bahasa sederhana: skripsi melatih otak agar tidak asal bicara.

Di luar sana, banyak orang hidup tanpa pola pikir yang sistematis. Kita sering mendengar tentang maraknya judi online, hoaks, hingga keputusan-keputusan sembrono yang diambil tanpa dasar logika. Padahal, jika berpikir ilmiah telah menjadi kebiasaan, orang-orang akan bertanya sebelum bertindak: Apakah ini rasional? Apakah ada datanya? Apa konsekuensinya? Tapi, sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Banyak yang tetap berjudi, meskipun secara matematis peluang menangnya nyaris nol. Banyak yang percaya hoaks, meskipun faktanya bertolak belakang.

Inilah mengapa skripsi itu penting. Ia mengajarkan kita untuk berpikir dengan kepala dingin, bukan sekadar mengikuti kata orang. Metodologi penelitian bukan sekadar teori di atas kertas, tapi keterampilan nyata yang mengajarkan bagaimana mengumpulkan informasi dengan akurat, bagaimana menyusun wawancara, menyebar kuesioner, mengobservasi, lalu menarik kesimpulan yang valid.

Kita sering mengeluh bahwa negeri ini sulit maju. Persentase sarjana kita rendah, tetapi lebih buruk lagi, masih ada sarjana yang tidak terbiasa berpikir ilmiah. Mereka lulus, tapi tetap percaya pada mitos, mengambil keputusan tanpa data, dan mudah terbawa arus informasi tanpa kritis bertanya darimana sumbernya?

Skripsi bukan soal bisa atau tidak bisa. Bukan soal penting atau tidak penting. Ia adalah gerbang yang memisahkan mereka yang sekadar memiliki gelar dari mereka yang benar-benar berpikir. Pada akhirnya, skripsi bukan untuk dosen, bukan untuk kampus, tapi untuk diri sendiri. Sebab dunia ini, tanpa logika dan pola pikir ilmiah, hanya akan jadi tempat di mana kebodohan terus dipelihara.

Tapi tentu, menyusun skripsi itu tidak mudah. Ia butuh latihan kesabaran. Sabar mahasiswa, sabar juga dosennya.

Bimbingan skripsi itu seperti hubungan LDR: sering di-ghosting, jarang dapat balasan cepat, dan kalau ketemu pun lebih banyak diceramahi daripada dimengerti. Mahasiswa datang dengan harapan, "Semoga dosen ACC hari ini." Tapi yang terjadi? Kertas revisi dikembalikan dengan coretan lebih banyak dari tulisan anak SD di tembok rumah. "Coba perbaiki lagi, ini masih kurang rapi." Padahal mahasiswa sudah merasa tulisannya seperti jurnal internasional.

Kadang, mahasiswa harus menghadapi realitas pahit: bimbingan bisa lebih lama dari hubungan pacaran. Yang paling sakral? Momen ketika mahasiswa mengetik "Selamat siang, Pak/Bu. Mohon waktunya untuk bimbingan." lalu melihat centang biru di WhatsApp—tapi tidak ada balasan. Sejam, dua jam, sehari, dua hari. "Mungkin dosen sibuk." Seminggu, dua minggu. "Mungkin dosen sedang perjalanan spiritual." Hingga akhirnya, setelah satu bulan tanpa kepastian, balasan datang: "Maaf baru sempat baca. Silakan datang besok ya."

Belum lagi ketika Ujian Sidang.

Sidang skripsi itu mirip drama Korea—penuh air mata, kejutan, dan kadang, pengkhianatan. Mahasiswa datang dengan harapan tinggi, tapi sering pulang dengan revisi lebih tebal dari draft awal. Semua terasa seperti ujian hidup.

Yang membedakan? Kalau drama Korea bisa ditonton ulang.

Sidang skripsi? Seperti pernikahan, bukan untuk di-dua atau di-tiga kalikan.

Tidak lulus sidang skripsi jelas cukup fatal.

Apalagi buket dan ucapan selamatnya, terlanjur sudah disiapkan..


Parepare, 14 Ramadhan 1446 H.

Muhammad Haramain

Skripsi
Admin 14 Maret 2025
Share post ini
Label
Arsip

Lego-lego