"Akreditasi bukan hanya urusan dokumen atau mengisi borang. Ia adalah kesepakatan tak tertulis antara fikih dan tasawuf, antara aturan dan makna. Tanpa aturan, ilmu bisa liar. Tanpa makna, ilmu bisa mati."
![]()
Waktu masih nyantri di pondok, libur Ramadan bukan berarti pulang lalu berselimut mimpi panjang. Libur bukan untuk tidur, melainkan kesempatan untuk menjelajah. Kadang kami bermain ke pelosok, berkunjung ke kampung-kampung seberang. Paling seru kalau bentuknya tanya jawab seperti main layangan di lapangan: kita tarik, mereka balas.
Pertanyaan yang datang biasanya aman: kapan boleh tayammum? apa hukum ini dan itu? Aku bisa menjawabnya meski kadang belepotan seperti nasi liwet yang kemasukan pasir. Tapi suatu hari, ada beberapa pertanyaan yang membuatku terdiam lebih lama dari seharusnya.
Aga hakekana sempajangnge (apa hakikat salat)? Aga tongkoi sempajang subue (apa yang menutup salat subuh)? Aga ibissai ku mabbisaki (apa yang kita cuci saat beristinja)?
Pertanyaan-pertanyaan itu seperti ketukan halus di pintu hati, tapi gaungnya memantul lama di lorong kepala. Kitab fikih di rak bisa menjawab prosedurnya, tapi tak semua sanggup menjawab “kenapa” dan “untuk apa.” Saat itu aku sadar, ada wilayah yang tak bisa dijangkau hanya dengan pasal-pasal hukum. Ada getar yang hanya bisa ditangkap oleh rasa, seperti musik yang tak tercatat di partitur. Dan rasa itu, mungkin, adalah wilayah tasawuf yang diam-diam memeluk tanpa kita sadari.
Fikih menjaga langkahku. Tasawuf menjaga arah tatapan mataku. Tanpa keduanya, ibadah hanya jadi gerakan tanpa jantung.
Ada ungkapan populer di kalangan ulama:
مَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ
(Siapa yang berfikih tanpa bertasawuf akan menjadi fasik. Siapa yang bertasawuf tanpa berfikih akan menjadi zindik).
Fikih memberi aturan, batas, dan prosedur. Tasawuf memberi ruh, kesadaran, dan keikhlasan. Tanpa keduanya, kita mudah tergelincir: menjadi kaku tanpa rasa, atau bebas tanpa arah. Keduanya seperti dua tangan yang memegang kemudi: satu menentukan arah, satu menjaga keseimbangan. Lepas salah satunya, perjalanan bisa berubah jadi petaka. Dan agama tak dicipta untuk petaka, tapi untuk pulang.
Gurutta pernah bilang, Fikih dan Tasawuf itu seperti dua sayap burung yang harus sama-sama kuat. Satu sayap rusak, burung akan oleng dan jatuh di ladang orang. Sayap kiri adalah Fikih; mengatur arah terbang, memastikan jalurnya lurus dan tidak nyelonong ke wilayah terlarang. Sayap kanan adalah Tasawuf; memberi rasa, membuat terbang bukan sekadar pindah pohon, tapi menikmati langit dan angin. Burung yang hanya punya satu sayap akan berputar-putar di tempat. Burung dengan dua sayap bisa melihat dunia dari ketinggian yang tenang. Dan manusia yang punya dua sayap itu, insya Allah akan melihat Tuhannya lebih jernih.
Bayangkan orang salat hanya dengan Fikih. Wudunya rapi, fatihahnya tak kurang satu huruf, gerakannya seperti senam militer tapi hati sedang menghitung cicilan di warung sebelah. Usai salam, langsung berlari kembali ke maksiat. Salatnya sah, tapi Tuhan cuma menerima gerakan, bukan rasa.
Lalu bayangkan orang salat hanya dengan Tasawuf. Hatinya dimabuk cinta pada Allah, matanya basah, tapi ia tak bertakbir, tak rukuk, tak pula sujud. Rasanya benar, tapi jalannya keliru. Dan jalan yang salah, meski penuh bunga, tetap menjauhkan kita dari rumah.
Fikih itu seperti gelas, Tasawuf itu seperti air. Air tanpa gelas akan tumpah ke tanah, gelas tanpa air hanya jadi pajangan berdebu. Kalau hausmu ingin hilang, keduanya harus bertemu. Gelas menjaga bentuk, air memberi isi. Begitu pula ibadah: Fikih menjaga benar-salahnya, Tasawuf menjaga hidup-matinya. Tanpa bentuk, ruhnya liar. Tanpa ruh, bentuknya kaku. Dan keduanya baru menjadi indah jikalau diminum sampai habis.
Tak hanya dalam salat. Dalam jual beli, nikah, bahkan saat marah, Fikih dan Tasawuf tetap berpasangan. Fikih bilang: jangan zalim. Tasawuf membisik: jangan dendam. Fikih memberi aturan, Tasawuf memberi alasan untuk taat. Keduanya seperti dua nada yang membuat lagu menjadi utuh. Hilang satu nada, lagunya sumbang. Hilang keduanya, yang tersisa hanya sunyi. Dan sunyi itu, bila tanpa makna, bisa menjadi bising.
Akreditasi pun bergumul dalam pelukan Fikih dan Tasawuf. Fikihnya penuh tabel, indikator, instrumen, dan rubrik. Ia memastikan standar, menjaga mutu, dan membuat kampus punya arah yang bisa diukur. Tapi tanpa “Tasawuf” akreditasi, ruh pendidikan, keikhlasan mendidik, dan kesadaran bahwa ilmu adalah amanah, semua itu jadi beban administratif. Beban ini bisa mencekik kreativitas, bahkan mematikan rasa mendidik. Lalu yang tersisa hanyalah guru yang pandai mengisi borang, tapi lupa mengisi hati murid. Dan itu, sesungguhnya, adalah kemiskinan yang tak tercatat di statistik.
Di satu belahan bumi, ada universitas yang tak peduli absensimu, tak kenal RPS, dan tak butuh skripsi untuk menyebutmu sarjana. Ia percaya, kalau kamu sungguh mencari, kamu akan datang sendiri. Di sana, ujian adalah bulan puasa bagi pikiran, lapar tidur, haus hiburan, dan kenyangnya saat lembar jawaban selesai. Tak ada sensor untuk mengukur afektif atau psikomotorik, yang ada hanyalah doa dan diktat yang menguning. Dunia mungkin tak akan menaruhnya di peringkat global, tapi siapa peduli jika yang dicetak adalah jiwa.
Aku pernah merasakannya. Dan tak pernah belajar sekeras itu sebelumnya. Bahkan malam-malamnya, mataku terpejam tapi pikiranku berzikir mengulang materi.
Di bumi lain, ada universitas yang mengukur segalanya. Setiap pintu kelas punya jadwal, setiap WC punya sertifikat kebersihan. Di sini, Fikih menjadi raja. Semua harus jelas pasalnya, semua ada indikatornya. Kalau nilainya A, kursinya empuk, lantainya mengilap, dan AC-nya dingin seperti senyum petugas administrasi. Sistem seperti ini membuat hidup rapi, tertib, dan nyaman. Tapi kadang aku curiga, di balik rapi itu ada rasa yang diam-diam disetrika sampai rata. Dan rasa yang terlalu rata, lama-lama kehilangan denyut.
Keduanya bak sepasang kekasih. Fikih memberi batas, Tasawuf memberi napas. Hilang satu, hubungan jadi pincang, entah liar tanpa aturan, atau kaku tanpa rasa. Tapi lucunya, banyak orang memilih salah satunya saja lalu merasa sudah cukup. Ada yang tenggelam dalam angka, lupa bahwa manusia tak hidup di tabel Excel. Ada yang hanyut dalam rasa, lupa bahwa rasa pun butuh pagar. Dan di situlah, cinta pendidikan sering patah.
Bangku kuliah sarjana mengajariku bahwa belajar bisa jadi ladang jihad, bahkan tanpa daftar hadir. Tak ada yang menuntutmu datang, tapi rasa takut akan bodoh memaksa kakimu berjalan sendiri. Jenjang magister mengajariku bahwa sistem bisa menumbuhkan disiplin, bahkan tanpa cambuk. Dua-duanya seperti dua guru dari aliran berbeda: satu mengajar dengan tatapan tajam, satu dengan rencana rinci. Dan aku, santri nakal, mencoba mengopi rasa dari keduanya. Tapi kopi itu pahit jika tanpa gula. Dan gula itu, entah kenapa, cuma kutemukan dalam percakapan senja dengan seorang kawan yang paham.
Ada malam-malam ketika aku merasa sendirian, kecuali ditemani buku-buku yang menatap seperti wali tua. Ada siang-siang ketika aku merasa seperti di ruang tunggu bandara, bersih, tertib, tapi asing. Dua rasa ini seperti dua warna bendera: merahnya semangat bebas, putihnya keteraturan tenang. Jika dicampur, jadinya indah. Jika dipisah, satu membakar tanpa kendali, satu membeku tanpa hangat. Hidup yang cuma membara atau cuma membeku, akhirnya sama-sama melelahkan. Dan lelah itu sering datang tanpa kita sadari. Seperti doa yang pelan-pelan kehilangan kata.
Mungkin itu sebabnya aku tak mau terlalu memuja satu sistem dan menghina yang lain. Sama seperti aku tak mau memilih hanya Fikih atau hanya Tasawuf. Keduanya adalah sayap. Dan burung dengan satu sayap hanya akan berputar-putar. Kadang yang kita butuhkan bukan “pilih ini atau itu,” tapi “bagaimana membuat keduanya bicara.” Seperti aku yang ingin mendengar dosen menjelaskan CPL dan CPMK, tapi diam-diam menunggu penjelasan tentang “ikhlas”. Kata yang tak masuk rubrik penilaian, tapi bisa membuat nilai hidup jadi A+ meski tak tercatat dalam lembaran Ijazah.
Kampus Toscaku tercinta sudah menorehkan sebelas prestasi puncak dalam dunia akreditasi. Sebelas itu bukan cuma angka di kertas. Itu keringat yang jatuh di meja rapat, malam-malam yang tertahan di depan layar, isi dompet yang dikorbankan diam-diam, dan isi kepala yang diperas sampai rasanya seperti teko tua direbus lagi. Semua itu dinahkodai oleh pemikir yang tak cuma bisa membuat visi di spanduk, tapi juga mau ikut menggotong kursi kalau perlu. Pemimpin yang tak cuma pandai berpidato, tapi juga paham kapan harus diam untuk memberi ruang kepada yang lain. Ada pejuang-pejuang tangguh di dalamnya, dan ada kerja sama yang rapi, seperti orkestra yang pemainnya kadang fals tapi tahu cara kembali ke nada dasar. Kita patut berbangga, meski kebanggaan itu tak perlu terlalu ramai diucapkan, cukup kita genggam di dada, supaya tak terbang oleh tepuk tangan.
Tentu, ini belum sempurna. Tapi kesempurnaan itu, bukankah cuma alamat yang Tuhan sembunyikan supaya kita tak cepat sampai? Jangan kita menafikannya hanya karena belum ada ruh sedalam ibadah yang dipeluk Tasawuf. Salat tetap kita lakukan walau khusyuk masih sering bolos. Zakat tetap kita tunaikan meski ikhlas kadang ketinggalan di rumah. Kerudung tetap kita kenakan walau belum sempurna sholehahnya. Karena dalam hidup, yang penting bukan kita sudah sampai atau belum, tapi kita berangkat atau tidak. Dan setiap langkah, meski terpincang, tetap lebih mulia dari duduk diam menunggu sempurna. Karena setiap ikhtiar meski belum sempurna, adalah langkah menuju kesempurnaan itu sendiri.
Jadi, bagiku akreditasi bukan hanya urusan dokumen atau mengisi borang. Ia adalah kesepakatan tak tertulis antara Fikih dan Tasawuf, antara aturan dan makna. Tanpa aturan, ilmu bisa liar. Tanpa makna, ilmu bisa mati. Pendidikan seharusnya membuat kita lulus di dunia dan lulus di hati. Dan hati itu, kadang, nilainya tidak bisa dibaca oleh semua orang. Orang yang mungkin duduk di kelas yang sama, tapi tahu persis bahwa ujian terberat bukan di lembar jawaban. Melainkan di menjaga makna di baliknya.