Skip ke Konten

Kemerdekaan yang Tertukar (bagian II): Pesan Abadi AG. K.H. Abdurrahman Ambo Dalle

Islamul Haq (Direktur Pascasarjana IAIN Parepare)
8 Agustus 2025 oleh
Kemerdekaan yang Tertukar (bagian II): Pesan Abadi AG. K.H. Abdurrahman Ambo Dalle
Hamzah Aziz


"Gelar tanpa hakikat hanyalah kebohongan yang dibungkus rapi. Sarjana sejati adalah mereka yang rendah hati di hadapan ilmu, haus pengetahuan meski sudah berada di puncak, dan selalu merasa perlu belajar dari siapa pun" (Dawuh AG. K.H. Abdurrahman Ambo Dalle).
Islamul Haq
Direktur Pascasarjana IAIN Parepare

AG. K.H. Abdurrahman Ambo Dalle pernah berpesan penuh makna: Aja lalo na laing asengmu laing bettuanna alemu; asemmu anak sikola, na de muassikola (Jangan sampai namamu berbeda dengan hakikatmu; engkau disebut anak sekolah, tapi hakikatnya bukan orang berilmu).

Ini bukan sekadar nasihat, tetapi cermin yang memantulkan wajah pendidikan kita. Banyak orang menyandang gelar tinggi, namun perilaku dan pemikirannya tidak menunjukkan jejak ilmu. Gelar itu indah di ijazah, gagah di kartu nama, tetapi rapuh di kehidupan nyata.

Beliau juga menegaskan prinsip yang tak lekang oleh zaman: Iyyasengnge pangngaji (pattuntu paddisingengeng) matuntu' paddisingengeng lettu mate (menuntut ilmu sampai ajal menjemput). Bagi Anregurutta, ilmu bukan piala yang dipajang, melainkan cahaya yang terus dijaga nyalanya. Selama napas masih berhembus, proses belajar tak boleh berhenti.

Pesan ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW: "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim hingga ke liang lahad (hadis)." Hadis ini menegaskan bahwa belajar bukan sekadar kewajiban dunia, tetapi juga bagian dari persiapan menuju kehidupan akhirat. Ilmu adalah bekal yang harus dijaga sepanjang hayat, bukan hanya sekadar formalitas menyandang gelar.

Namun kini, semangat itu sering terkubur di bawah mentalitas “selesai kuliah, selesai belajar.” Wisuda dijadikan garis akhir, bukan garis awal. Buku-buku ditutup rapat, diskusi intelektual berganti obrolan basa-basi, dan gelar tinggal menjadi tempelan di belakang nama. Mereka bangga pada toga, tapi lupa menambah isi kepala.

Yang lebih memprihatinkan, ada yang menjadikan gelar sebagai tameng untuk menutupi kemiskinan pengetahuan. Mereka bicara lantang soal status akademik, tapi gagap menjawab persoalan sederhana di lapangan.

Pesan Anregurutta seharusnya membangunkan kita: gelar tanpa hakikat hanyalah kebohongan yang dibungkus rapi. Sarjana sejati adalah mereka yang rendah hati di hadapan ilmu, haus pengetahuan meski sudah berada di puncak, dan selalu merasa perlu belajar dari siapa pun.

Kalau kampus hanya melahirkan lulusan yang pandai menghafal teori tapi kaku membaca kenyataan, maka pendidikan telah kehilangan jiwanya. Sebab yang membedakan orang berilmu dan orang berlabel sarjana hanyalah satu: kesetiaan pada proses belajar, seumur hidup.

Maka, pantaskanlah diri pada gelar yang disandang. Jangan biarkan nama kita lebih besar dari ilmu kita, apalagi perilaku kita lebih kecil dari status yang kita klaim. Sebab pada akhirnya, sejarah tak mengingat gelar, tapi mengingat manfaat.

Gelar adalah sebuah amanah, bukan sekadar hiasan. Hakikat ilmu adalah perjalanan tanpa ujung yang menuntun kita menembus batas-batas kejumudan dan kebodohan. Bila kita berhenti belajar, kita sesungguhnya telah memulai kematian kecil dalam diri.

Biarlah ilmu menjadi lentera yang menyinari setiap langkah, bukan lilin kecil yang mudah padam diterpa angin nafsu dan kemalasan. Gelar sejati bukan milik mereka yang hanya merayakan upacara wisuda, tapi milik mereka yang berani terus menantang diri, merobohkan tembok kebodohan, dan menegakkan keadilan dalam dunia nyata. Di sanalah kemerdekaan hakiki bermula merdeka dari ketertindasan ilmu dan kebodohan hati.


Kemerdekaan yang Tertukar (bagian II): Pesan Abadi AG. K.H. Abdurrahman Ambo Dalle
Hamzah Aziz 8 Agustus 2025
Share post ini
Arsip