Skip ke Konten

Bahasa Cinta Al-Qur’an: Menarik Cinta Ilahi

Prof. Dr. Muzdalifah Muhammadun, M.Ag. (Dekan FEBI)
24 Juli 2025 oleh
Bahasa Cinta Al-Qur’an: Menarik Cinta Ilahi
Suhartina

Dalam satu riwayat sufi, ada yang bertanya, “Mengapa kau jatuh cinta kepada Tuhan yang tak terlihat?” Sang sufi menjawab, “Karena Dia yang paling sering memanggilku dengan kelembutan.” Jawaban itu terasa sederhana, tetapi dalam—seperti Al-Qur’an itu sendiri. Sebab, jika kita membaca Al-Qur’an bukan hanya sebagai kumpulan ayat, melainkan sebagai surat cinta ilahi, maka kita akan menemukan satu bahasa yang paling dalam: bahasa cinta.

Cinta dalam Al-Qur’an bukan sekadar tema, tapi ruh. Ia bukan hanya disebut dalam redaksi (“yuhibbuhum wa yuhibbūnahu”) melainkan dirasakan dalam ritme, dikandung dalam diksi, dan dihadirkan dalam relasi antara Tuhan dan manusia. Dalam ḥadis Qudsī, Allah berfirman: “Jika hamba-Ku datang mendekat sejengkal, Aku akan datang sehasta…”—sebuah bahasa yang sangat manusiawi, sekaligus ilahi.

Namun, bagaimana sebenarnya Al-Qur’an menyusun bahasa cinta itu?

Cinta sebagai Struktur Makna

Pertama-tama, bahasa cinta dalam Al-Qur’an ditandai oleh pilihan kata yang lembut tetapi kuat, indah namun penuh arah. Kata rahmah (kasih sayang) disebut lebih dari 300 kali, jauh melebihi kata azab (siksa). Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai al-Rahman al-Rahim, bukan al-Muntaqim (Yang Membalas). Bahkan, hampir semua surah dibuka dengan kalimat Bismillāhir-Rahmānir-Rahīm, seolah ingin mengingatkan bahwa siapa pun yang ingin membaca kitab ini harus memasuki ruang cinta terlebih dahulu.

Cinta ilahi juga bukan cinta kosong. Ia bersyarat, bukan dalam pengertian transaksional, tetapi relational. Lihat bagaimana redaksi cinta Tuhan dalam QS. Ali Imran:134-148 — Tuhan mencintai orang-orang yang sabar, orang yang berbuat baik (muhsinīn), dan mereka yang bertakwa. Ini menunjukkan bahwa cinta Ilahi bisa ditarik—bukan dipaksa—melalui akhlak, laku, dan niat. Maka, al-Qur’an tak sekadar berbicara tentang cinta; ia memformulasikan cara mencintai dan dicintai.

Bahasa yang Menyentuh Jiwa

Ada yang berkata bahwa bahasa Arab Al-Qur’an adalah bahasa tinggi dan sukar. Namun, siapa pun yang membaca surah Yusuf, surah Maryam, atau ayat-ayat tentang Nabi Ibrahim yang memohonkan ampun untuk ayahnya, akan tahu bahwa ini bukan soal sulit atau mudah—ini soal rasa. Bahasa cinta bukan selalu romantik, tapi empatik. Bahasa cinta Al-Qur’an tahu kapan harus tegas (QS. al-Tawbah), kapan harus lembut (QS. al-Dhuha), dan kapan harus diam (QS. al-Ahqaf:15).

Jika cinta adalah frekuensi, maka Al-Qur’an adalah gelombang yang terus memanggil, menuntun, dan kadang memperingatkan agar tidak salah arah. Teguran dalam Al-Qur’an bukan kemarahan tanpa kasih, tapi “cambuk” yang memeluk. Bahkan hukuman dalam Al-Qur’an disampaikan dengan kata yang mengandung harapan (lihat QS. al-Zumar:53). Di sinilah kita temukan kekuatan bahasa Ilahi: tidak pernah menghapus harapan, bahkan dalam ayat paling menggentarkan.


Hari ini, ketika dunia pendidikan mulai menggagas Kurikulum Cinta, kita justru menemukan fondasinya telah lama diajarkan oleh Al-Qur’an. Ini bukan kebetulan. Sebab Al-Qur’an tak hanya kitab hukum, tetapi juga kitab hati. Ia tidak hanya mengatur, tetapi juga mengasuh.

Pertanyaannya: apakah kita telah mendidik anak-anak kita untuk mengenal Tuhan melalui cinta, bukan sekadar takut? Apakah pesan-pesan keimanan kita lebih sering dibungkus dalam ancaman atau harapan?

Sebagian kalangan terlalu sibuk pada kesalahan tajwid dan bacaan, tetapi lupa bahwa Al-Qur’an pertama-tama adalah suara cinta. Suara yang memanggil bukan hanya telinga, tapi hati. Maka, membacanya tanpa rasa seperti membaca surat cinta sebagai maklumat birokrasi, kaku dan kehilangan makna.

Menghidupkan Bahasa Cinta

Bahasa cinta Al-Qur’an bukan untuk dipajang dalam kutipan Instagram, tetapi untuk dihidupkan dalam perbuatan. Dalam relasi dengan sesama, bahasa cinta itu berwujud dalam adab, kesabaran, saling mendoakan diam-diam, serta memaafkan dalam senyap. Sebab cinta ilahi tidak bersuara keras, tapi gaungnya sampai langit.

Maka, menarik cinta Ilahi bukan dengan teriak-teriak atau klaim surga, tapi dengan mendekat seperti burung kecil mendekati cahaya: dengan takut-takut, tapi yakin. Dan pada akhirnya, barangkali inilah puncak dari segala keilmuan: ketika kita tak sekadar tahu, tapi merasa—bahwa Tuhan selalu mencintai lebih dulu.

Catatan kebahasaan: Artikel ini ingin mengajak pembaca tidak hanya memahami makna cinta dalam teks-teks keagamaan, tetapi juga menghidupkan register cinta dalam tutur sehari-hari. Kata "ilahi" bukan hanya label metafisik, tetapi gaya komunikasi yang penuh kasih, empati, dan tidak menyakiti.

Jika engkau membaca Al-Qur’an dan tidak merasa dicintai, barangkali yang keliru bukan kitabnya, tapi cara membacamu.

Bahasa Cinta Al-Qur’an: Menarik Cinta Ilahi
Suhartina 24 Juli 2025
Share post ini
Arsip