Dalam dunia yang kian terpolarisasi oleh perbedaan, dakwah tidak lagi cukup hanya disampaikan dengan suara lantang dan narasi tunggal kebenaran. Kita hidup dalam masyarakat yang multicultural, berbeda-beda latar, keyakinan, budaya, dan cara pandang. Di tengah keragaman ini, hadirnya “Kurikulum Berbasis Cinta” yang diinisiasi oleh Kementerian Agama RI menjadi angin segar yang sangat relevan, terutama bagi dunia dakwah dan pendidikan Islam hari ini.
Dakwah, dalam esensinya, adalah ajakan penuh kelembutan. Bukan paksaan, apalagi intimidasi. Di sinilah pentingnya bahasa cinta sebagai pendekatan dakwah: yakni cara berkomunikasi yang mengedepankan kasih sayang, empati, penghormatan terhadap martabat manusia, serta kesediaan untuk memahami, bukan sekadar menghakimi.
Bahasa cinta adalah dakwah yang membelai, bukan mencela.
Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam menyampaikan pesan ilahi dengan penuh cinta. Ketika dihina, beliau mendoakan. Ketika ditolak, beliau tetap bersikap ramah. Akhlaknya adalah dakwah itu sendiri dan akhlak itu bersumber dari cinta: cinta pada manusia, cinta pada perdamaian, cinta pada kebaikan. Maka dari itu, menjadikan cinta sebagai inti kurikulum adalah upaya melanjutkan risalah kenabian dengan cara yang lebih relevan, terutama di ruang pendidikan dan dakwah.
Dalam masyarakat multikultural, cinta bukan sekadar perasaan, tetapi strategi sosial. Pendekatan keras, eksklusif, atau penuh ujaran kebencian justru menjauhkan dakwah dari fungsinya sebagai pelita. Kita butuh bahasa cinta agar pesan-pesan Islam tidak hanya terdengar, tetapi juga diterima dan dihayati. Terlebih di lingkungan pendidikan, di mana para peserta didik bukan hanya menyerap ilmu, tetapi juga membentuk nilai dan kepribadian.
Kurikulum Berbasis Cinta sejatinya mengoreksi pendekatan-pendekatan lama yang kadang terlalu normatif dan tidak menyentuh jiwa. Kurikulum yang mendorong para pendidik, dai, dan komunikator Islam untuk tidak sekadar menyampaikan ayat, tetapi juga merasakan dan menghidupkan nilai-nilai cinta dalam tutur kata dan laku nyata.
Dalam konteks ini, bahasa cinta dalam dakwah menjadi bagian integral dari pendidikan rahmatan lil alamin, pendidikan yang menyejukkan, merangkul perbedaan, serta menumbuhkan kesadaran akan kemanusiaan yang universal. Bukan berarti kita kompromi terhadap nilai, tapi kita memuliakan cara penyampaiannya.
Sebagai dosen dan pelaku pendidikan di kampus keagamaan, kita punya peran strategis dalam menanamkan semangat ini. Mulailah dari ruang kelas, dari cara menegur mahasiswa, dari cara kita membicarakan agama, bahkan dari cara kita menulis di media sosial. Sebab, cinta itu menular dan ketika cinta menjadi bahasa dakwah, maka Islam akan terasa sebagai agama kasih, bukan ancaman.
Kurikulum Berbasis Cinta bukan sekadar program. Melainkan paradigma baru yang mendorong kita semua, para pendidik, penyampai dakwah, dan pembelajar untuk kembali kepada jantung agama itu sendiri: rahmat dan kasih sayang. Mari kita sambut kurikulum ini bukan hanya dengan seremoni, tetapi dengan komitmen untuk mempraktikkan cinta dalam dakwah dan pendidikan, agar kampus, masjid, dan ruang publik kita menjadi tempat yang ramah bagi perbedaan dan subur bagi nilai-nilai kemanusiaan.
Parepare Kota Cinta, 24 Juli 2025