Delapan puluh tahun kemerdekaan Republik Indonesia adalah capaian sejarah yang patut disyukuri. Tema HUT RI tahun ini, “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”, bukan hanya rangkaian kata indah, tetapi sebuah seruan moral dan intelektual. Seruan ini seharusnya menggema hingga ke ruang-ruang kuliah, laboratorium, dan forum akademik di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), yang memiliki peran strategis dalam membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) unggul untuk masa depan bangsa.
Sebagai institusi pendidikan tinggi, PTKIN memikul mandat ganda. Pertama, membekali mahasiswa dengan kompetensi akademik yang mumpuni agar mampu bersaing di era global. Kedua, membentuk karakter moral dan spiritual yang kokoh agar lulusan tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana. Gary Dessler (2020) menyebutkan bahwa kualitas SDM adalah keunggulan kompetitif yang tidak dapat ditiru oleh teknologi atau modal. Artinya, investasi terbesar PTKIN adalah pada manusianya: dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.
Di tengah tantangan global yang kian kompleks, penting bagi PTKIN untuk mengembangkan kurikulum cinta dan ekoteologi sebagai bagian dari penguatan karakter SDM. Kurikulum cinta menumbuhkan empati, kepedulian sosial, dan rasa saling menghormati. Sementara ekoteologi menanamkan kesadaran bahwa manusia, alam, dan Tuhan adalah satu kesatuan yang saling terhubung. Konsep ini selaras dengan pesan Rasulullah ﷺ bahwa “sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”, dan pandangan Imam Al-Ghazali bahwa "ilmu tanpa akhlak hanya akan membawa kerusakan".
Pendekatan ini juga beririsan dengan 16 keterampilan abad ke-21 versi World Economic Forum seperti: berpikir kritis, kolaborasi, kepemimpinan adaptif, dan literasi teknologi, yang menjadi bekal penting bagi lulusan PTKIN. Dalam konteks manajemen SDM, pendekatan ini bukan sekadar wacana, tetapi harus diterjemahkan dalam kebijakan nyata: pelatihan berkelanjutan bagi dosen, penguatan kapasitas tenaga kependidikan, serta program pengembangan karakter mahasiswa.
Kita tidak boleh lupa bahwa SDM PTKIN adalah agen perubahan (change agent). Stephen Covey mengingatkan bahwa organisasi hebat dibangun oleh individu yang proaktif dan berintegritas. Maka, budaya kerja kolaboratif, penghargaan terhadap prestasi, serta pengelolaan talenta berbasis meritokrasi harus menjadi bagian dari tata kelola SDM di PTKIN.
Selain itu, nilai-nilai moderasi beragama (komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan akomodasi budaya lokal) harus tertanam kuat. Kearifan lokal seperti sipakatau, sipakalebbi, sipakainge dalam budaya Bugis dapat menjadi perekat sosial yang memperkuat harmoni kampus. Nilai-nilai ini adalah benteng moral yang menjaga PTKIN dari pengaruh negatif budaya instan dan sikap individualistis yang kian marak.
Peringatan HUT RI ke-80 adalah saat yang tepat untuk mengkonsolidasikan kekuatan ini. Kemerdekaan yang kita nikmati hari ini adalah hasil perjuangan kolektif yang melibatkan pengorbanan jiwa, raga, dan pikiran. Tugas kita di PTKIN adalah meneruskan perjuangan itu melalui jalur pendidikan, yaitu mencetak generasi yang bukan hanya unggul dalam pengetahuan, tetapi juga kokoh dalam nilai.
Kemerdekaan sejati, sebagaimana diingatkan oleh Bung Hatta, bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari kemiskinan, kebodohan, dan degradasi moral. Dengan SDM PTKIN yang berkualitas, berkarakter, dan peduli lingkungan, kita bisa ikut memastikan bahwa cita-cita itu tercapai. Inilah kontribusi nyata PTKIN dalam mengantar Indonesia menuju Indonesia Emas 2045.
Mari kita jadikan tema Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju sebagai energi kolektif di kampus. Sebab, membangun bangsa dimulai dari membangun manusianya. Dan membangun manusia di PTKIN berarti membangun kecerdasan intelektual, kematangan spiritual, kepedulian sosial, serta tanggung jawab ekologis. Dengan itu semua, kita bisa meyakini bahwa kemerdekaan akan terus hidup dan memberi makna, tidak hanya untuk kita, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.