Skip ke Konten

Cinta dalam Kelas: Saat Pendidikan Tak Lagi Sekadar Mengajar

Andi Nurindah Sari (Dosen yang Penuh dengan Cinta)
26 Juli 2025 oleh
Cinta dalam Kelas: Saat Pendidikan Tak Lagi Sekadar Mengajar
Admin

Dalam ruang kelas, saya percaya bahwa pendidikan sejatinya bukan hanya soal menyampaikan teori atau menuntaskan kurikulum. Pendidikan adalah tentang menghadirkan hati, tentang bagaimana kehadiran seorang dosen bisa mengubah hari-hari mahasiswa menjadi lebih berarti. Itulah mengapa saya berusaha mendidik mahasiswa saya dengan cinta. Saya ingin mereka merasa dibutuhkan, merasa penting, agar semangat belajarnya tumbuh bukan karena takut gagal, tetapi karena merasa dihargai.


Setiap pertemuan, saya hadir bukan sekadar sebagai pengajar, tapi sebagai manusia yang peduli. Saya menyapa mereka dengan senyum, mengingat nama mereka satu per satu, dan kadang melakukan hal-hal konyol hanya untuk memancing tawa mereka. Saya percaya, tawa adalah energi positif yang menghidupkan suasana kelas. Ketika mahasiswa bahagia, proses belajar menjadi lebih ringan dan bermakna. Pendidikan pun terasa lebih manusiawi.


Inilah yang saya pahami dari gagasan Kurikulum Cinta yang digaungkan oleh Kementerian Agama RI. Kurikulum ini mengingatkan kita bahwa pendidikan harus dibangun di atas fondasi kasih sayang, toleransi, dan kedamaian. Nilai-nilai ini tidak hanya menghidupkan kelas, tetapi juga menumbuhkan karakter yang utuh pada diri peserta didik. Kita tidak sedang membentuk robot, kita sedang membentuk manusia.


Namun, cinta dalam pendidikan tidak cukup hanya dengan kelembutan. Cinta sejati justru hadir lewat adab. Maka sejak awal, saya tekankan bahwa dalam kelas saya, adab adalah nomor satu. Saya ajarkan bahwa menghormati teman sekelas, dosen, bahkan petugas kebersihan adalah bagian dari proses belajar yang tidak tertulis di silabus. Tanpa adab, kepintaran bisa berubah menjadi kesombongan. Tapi dengan adab, ilmu akan menjadi cahaya yang menerangi sekelilingnya.


Saya juga menekankan pentingnya menghargai perbedaan. Mahasiswa saya datang dari berbagai latar belakang: agama, suku, dan budaya. Namun, di kelas, semua harus saling menghormati. Tidak ada ruang untuk egoisme identitas. Justru dari keberagaman itulah cinta diuji, dan saya bangga ketika melihat mahasiswa saya belajar bukan hanya dari saya, tapi juga dari satu sama lain.


Mengajar dengan cinta bukan berarti selalu lembut atau memanjakan. Kadang saya tegas, kadang saya diam untuk memberi ruang refleksi. Namun, semuanya tetap berakar dari niat yang sama: agar mereka merasa berharga, agar mereka tahu bahwa mereka bisa tumbuh tanpa harus takut menjadi salah. Saya ingin mereka tahu, bahwa ada tempat aman dalam proses belajar, dan tempat itu adalah ruang kelas yang dipenuhi cinta dan adab.


Ketika pendidikan dibangun dengan cinta dan dilandasi adab, maka hasilnya tak hanya mahasiswa yang pintar, tapi juga mahasiswa yang bijak dan manusiawi. Inilah mimpi besar saya, dan saya yakin mimpi ini bukan milik saya sendiri. Sudah saatnya kita menjadikan cinta sebagai ruh pendidikan, bukan sekadar tambahan, tapi sebagai inti dari segala proses. Saya percaya hanya dengan cinta, pendidikan bisa benar-benar mengubah dunia.


Cinta dalam Kelas: Saat Pendidikan Tak Lagi Sekadar Mengajar
Admin 26 Juli 2025
Share post ini
Arsip