Skip ke Konten

Cintai Aku dan Sayangi Aku: Perspektif Humanistik dalam Pendidikan

Nurmi, S.Ag., M.A. (Kepala Bagian Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah)
28 Juli 2025 oleh
Cintai Aku dan Sayangi Aku: Perspektif Humanistik dalam Pendidikan
Suhartina

Di ruang-ruang kelas perguruan tinggi, hubungan antara dosen dan mahasiswa sering kali dipahami hanya sebagai transaksi keilmuan: dosen menyampaikan, mahasiswa menerima. Namun, pendidikan bukanlah sekadar transmisi pengetahuan. Ia adalah proses batiniah yang melibatkan empati, pengertian, dan cinta.

Dalam konteks ini, ungkapan sederhana seperti “Cintai aku, sayangi aku” bukanlah rayuan romantis. Ia adalah jeritan sunyi dari para mahasiswa yang merindukan suasana belajar yang manusiawi. Sebuah permohonan diam-diam agar mereka tak sekadar dipandang sebagai nomor induk, nilai KHS, atau sekadar baris absen di SIAKAD.

Pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia. Mahasiswa yang merasa dihargai, diperhatikan, dan disayangi akan menunjukkan partisipasi aktif dalam perkuliahan. Mereka belajar bukan karena takut gagal, tetapi karena merasa aman untuk tumbuh, salah, lalu belajar lagi. Rasa aman inilah yang lahir dari kehadiran sosok dosen yang tidak hanya cerdas intelektual, tetapi juga hangat secara emosional.

Sayangnya, tidak semua ruang kuliah membuka ruang untuk cinta. Ada yang terlalu kaku oleh aturan, terlalu terburu-buru mengejar target kurikulum, atau terlalu dingin karena relasi yang kering emosi. Mahasiswa pun akhirnya hanya menjadi pelengkap statistik, bukan subjek pembelajaran yang hidup.

Dosen sejatinya bukan hanya pengajar, melainkan penuntun jiwa. Ia harus mampu membaca jeritan batin mahasiswanya:

"Kami ingin dinilai bukan hanya dari angka akhir UAS, tetapi dari proses kami bertumbuh. Saat kami lambat memahami, bukan berarti kami bodoh. Kami sedang berjuang—mungkin dengan tekanan ekonomi, masalah keluarga, atau beban mental yang tak terlihat. Maka, cintailah kami sebagai pembelajar, dan sayangilah kami dengan kesabaran."

Pendidikan yang dibangun di atas cinta tidak berarti lunak atau memanjakan. Sebaliknya, ia menuntut kedisiplinan yang lahir dari pengertian, bukan ketakutan. Umpan balik diberikan dengan tulus untuk membimbing, bukan menjatuhkan. Bahasa yang digunakan membangun, bukan menghakimi.

Di sinilah relevansi Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) menemukan tempatnya. KBC bukan sekadar metode atau strategi pembelajaran, melainkan filosofi hidup. Ia menempatkan cinta sebagai energi dasar dalam proses mendidik—cinta kepada ilmu, cinta kepada manusia, dan cinta kepada kehidupan itu sendiri.

Melalui KBC, pendidik diajak untuk mengembangkan pendekatan yang lebih responsif terhadap kondisi mahasiswa. Termasuk di dalamnya adalah kemampuan untuk mendengar secara aktif, memahami kesulitan yang dihadapi mahasiswa, dan menunjukkan fleksibilitas dalam menyikapi dinamika mereka. Dengan demikian, pembelajaran tidak menjadi alat seleksi yang dingin, tetapi sarana pemberdayaan yang penuh empati.

Tentu saja, pada akhirnya, cinta itu harus menyentuh semua yang ada di kampus, termasuk para dosen dan tenaga kependidikan. Khususnya mereka yang sudah terlalu lama menjomblo, bukan karena tak laku, tapi karena terlalu sibuk dengan data SINTA, penelitian payung, MBKM, pengabdian, ataupun BKD. Mhhh

Untuk para jomblo akademik yang masih setia di balik layar LCD proyektor dan rak buku tua, ini saatnya merenung:

"Jika mahasiswa saja menjerit minta cinta dalam pembelajaran, apakah hati kita sudah selesai menertibkan ruang-ruang sunyi dalam diri sendiri?"

Barangkali kita terlalu sering menyusun proposal penelitian, sampai lupa menyusun proposal masa depan. Terlalu rajin mengoreksi skripsi orang lain, tapi abai menyunting bab pertama kisah cinta kita sendiri. Bisa jadi, di balik kesibukan mengejar angka kredit, ada hati yang diam-diam lelah menunggu SK penugasan dari takdir.

Maka, jika cinta harus menjadi ruh dalam pendidikan, marilah kita mulai dari diri sendiri. Mencintai tugas dengan ikhlas, menyayangi mahasiswa dengan sabar, dan—siapa tahu—membuka hati untuk cinta yang selama ini hanya sebatas judul lagu atau status WhatsApp.

Sejatinya, kampus bukan hanya tempat tumbuhnya ilmu, tapi juga ruang bertemunya jiwa-jiwa yang sedang mencari arti. Di antara ribuan referensi literatur, jangan lupa, cinta pun butuh ruang untuk dipelajari dan diperjuangkan.


Cintai Aku dan Sayangi Aku: Perspektif Humanistik dalam Pendidikan
Suhartina 28 Juli 2025
Share post ini
Arsip