Cinta kini resmi masuk ke ruang kelas. Bukan sebagai nasihat ustaz di akhir ceramah, tapi sebagai ruh kebijakan pendidikan nasional melalui peluncuran Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) oleh Kementerian Agama RI. Sebuah langkah berani yang mengajak kita untuk kembali menanamkan kasih sayang, empati, dan kelembutan dalam proses belajar.
Sebagai akademisi di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) dan kebetulan masih jomblo, saya merasa terpanggil untuk menulis. Bukan untuk curhat, tentu saja, tapi karena saya percaya bahwa cinta dalam pendidikan tidak cukup hanya menjadi materi kurikulum. Ia harus menjelma menjadi napas pengelolaan manusia di balik sistem pendidikan itu sendiri. Guru, tenaga kependidikan, dosen, hingga pegawai tata usaha. Jika kurikulum butuh cinta, maka pengelolaan sumber daya manusianya pun lebih-lebih lagi.
Human Resource tanpa “Human”? Selama ini, dunia manajemen kerap dipenuhi dengan istilah-istilah teknis, efisiensi, produktivitas, performa, target. Di balik itu, terkadang kita lupa bahwa subjek utama dari semua itu adalah manusia. Dosen yang mengajar tidak hanya perlu modul dan pelatihan, tapi juga penghargaan dan ruang untuk merasa dimengerti. Tenaga Pendidikan yang rajin bukan hanya butuh honor, tetapi juga pengakuan. Banyak di antara mereka yang merasa kesepian di tempat kerja. Mereka hadir secara fisik, tetapi jiwanya absen. Mereka loyal, tapi tidak merasa dimiliki.
Kondisi ini menggambarkan fenomena “jomblo struktural” dalam sistem pendidikan kita ketika manusia hadir tanpa hubungan emosional dengan institusinya. Mereka tidak dicintai, dan tidak tahu kepada siapa harus mencinta. Di sinilah gagasan Kurikulum Berbasis Cinta seharusnya menyentuh, tidak hanya mahasiswa, tetapi seluruh ekosistem pendidikan.
Kepemimpinan Berbasis Cinta dalam MSDM. Ada konsep yang disebut transformational leadership kepemimpinan yang menginspirasi, mendukung, dan membimbing. Ini adalah bentuk cinta dalam tindakan. Sayangnya, di banyak lembaga pendidikan, gaya kepemimpinan yang berkembang masih berbasis komando dan penilaian, bukan perhatian dan pendampingan.
Kurikulum cinta seharusnya mendorong munculnya gaya kepemimpinan yang lebih humanis: pimpinan yang mendengarkan, bukan hanya memerintah; yang memfasilitasi tumbuhnya potensi, bukan sekadar mengoreksi kekurangan. Di sinilah cinta berperan: bukan sebagai perasaan manis, tapi sebagai nilai yang membentuk cara kita memperlakukan sesama dalam organisasi.
Manajemen Rasa dalam Pendidikan. Selama ini, MSDM lebih sering berurusan dengan angka, absensi, skor evaluasi, peringkat, jenjang karir. Tapi bagaimana dengan rasa? Apakah Dosen merasa dihargai? Apakah staf merasa diperhatikan? Apakah ada ruang untuk bicara dari hati ke hati?
Kurikulum cinta adalah pengingat bahwa pendidikan bukanlah pabrik, dan dosen bukanlah mesin. Mereka manusia yang lelah, bahagia, kecewa, dan bangga. Jika manajemen kita hanya mengatur kerja tanpa mengelola rasa, maka akan selalu ada yang merasa “sendiri”, tak peduli seberapa besar insentif atau seberapa megah struktur organisasi.
Bukan sekadar program, tapi budaya. Cinta dalam kurikulum tidak cukup hanya dituangkan dalam dokumen rencana pembelajaran. Ia harus menjadi budaya kerja, cara menyapa, cara mendengar, cara memberi kesempatan. Manajemen SDM berbasis cinta berarti menciptakan lingkungan kerja yang sehat secara emosional tempat semua merasa didukung untuk bertumbuh.
Itulah mengapa Kurikulum Berbasis Cinta harus diterjemahkan juga dalam sistem manajerial, mulai dari proses rekrutmen, pelatihan, pembinaan, hingga evaluasi kerja. Semua proses itu perlu disentuh oleh nilai-nilai kasih sayang, bukan hanya indikator kinerja.
Sebagai Penutup “Sendiri Boleh, Tapi Tidak Ditinggalkan”. Saya mungkin masih jomblo, dan itu tak masalah. Tapi ketika sistem pendidikan kita masih membiarkan dosen-dosen hebat dan tendik berdedikasi merasa “jomblo” dalam pekerjaannya, terisolasi, tidak dihargai, dan tidak disayangi, maka itu adalah masalah besar. Cinta yang sejati bukan sekadar urusan personal. Ia adalah fondasi sosial, kunci organisasi yang sehat, dan energi spiritual yang menghidupkan semua proses pendidikan.
Semoga Kurikulum Berbasis Cinta bukan hanya romantisme pendidikan, tetapi benar-benar menjadi jalan untuk menghadirkan suasana kerja yang lebih manusiawi, hangat, dan penuh cinta bagi semua yang terlibat. Termasuk kita yang masih sendiri.