Di tengah dinamika pendidikan tinggi yang semakin kompetitif dan kerap berorientasi pada capaian material, muncul satu tawaran bernilai dari kalangan kampus Islam: kurikulum cinta. Gagasan ini bukan sekadar wacana puitis atau jargon emosional, melainkan pendekatan nilai yang menghidupkan kembali ruh kasih sayang, toleransi, dan akhlak mulia dalam keseluruhan ekosistem akademik. Sebagai dosen Ilmu Falak, saya melihat bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam kurikulum cinta sejatinya sejalan dengan prinsip-prinsip kosmis yang menjadi inti dalam ilmu falak.
Ilmu Falak mengajarkan kita tentang keteraturan semesta bagaimana benda-benda langit bergerak dalam orbit yang terukur, harmonis, dan saling menjaga. Tak satu pun saling bertabrakan karena semuanya tunduk pada hukum keseimbangan. Prinsip ini menjadi inspirasi penting dalam dunia pendidikan. Kurikulum cinta dapat dianalogikan sebagai "gravitasi nilai" yang menjaga agar proses belajar-mengajar, serta interaksi sosial di kampus, tetap berada dalam orbit yang etis, inklusif, dan beradab. Tanpa gravitasi cinta, pendidikan berisiko kehilangan arah dan menjadi kering dari ruh kemanusiaan.
Sebagaimana ilmu falak menuntut ketelitian dalam menentukan arah kiblat dan waktu ibadah, demikian pula kurikulum cinta membutuhkan ketelatenan dalam membina karakter mahasiswa. Cinta dalam konteks ini adalah energi nilai yang melahirkan empati, penghormatan terhadap sesama, kepedulian, serta kemampuan menjaga keberagaman. Dalam sebuah pepatah Arab disebutkan: “المرء عبد ما أحب” (seseorang adalah budak bagi apa yang ia cintai). Pepatah ini mengajarkan bahwa cinta mampu membentuk loyalitas dan pengabdian. Maka, jika cinta ditanamkan dalam pendidikan, mahasiswa akan tumbuh sebagai pribadi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara emosional dan luhur secara moral.
Kurikulum cinta adalah jalan menuju kampus yang beradab kampus yang bukan hanya menghasilkan sarjana, tetapi juga membentuk insan-insan yang orbit hidupnya berputar di sekitar nilai kasih sayang dan kemanusiaan. Ia mengingatkan kita bahwa tidak ada bintang yang berjalan sendiri; semuanya terhubung dalam sistem semesta yang saling menopang. Maka, cintaku sebagai pendidik, cintamu sebagai mahasiswa, dan cinta kita sebagai bagian dari ekosistem kampus, adalah bahan bakar untuk membangun peradaban yang tidak hanya cemerlang, tetapi juga meneduhkan.