Kurikulum Berabsis Cinta (KBC)lahir sebagai sebuah jawaban atas kegelisahan banyak pihak: mengapa pendidikan sering kali hanya berhenti pada angka-angka, ranking, dan sertifikat, sementara hati anak-anak kita perlahan terasa asing pada empati dan rasa hormat? Inilah ajakan untuk kembali ke hakikat pendidikan: membentuk manusia seutuhnya, bukan sekadar mengisi kepala dengan hafalan.
Pada intinya, Kurikulum Berbasis Cinta adalah pendidikan berbasis nilai. Nilai-nilai seperti kejujuran, kasih sayang, kesabaran, dan tanggung jawab bukan hanya diajarkan sebagai teori, tetapi dihidupkan dalam keseharian. Anak-anak tidak hanya tahu apa arti toleransi, tetapi juga belajar mempraktikkannya saat bermain, berdiskusi, dan bahkan saat berbeda pendapat.
Lebih jauh, kurikulum ini menekankan pentingnya pengembangan karakter. Di tengah era serba cepat dan penuh tekanan, anak-anak diajak untuk tetap punya hati yang lembut: mampu mendengar, merasakan, dan peduli terhadap orang lain. Karena ilmu setinggi apa pun tak akan berarti tanpa karakter yang baik.
Keteladanan menjadi prinsip berikutnya. Guru, orang tua, dan para pemimpin di lingkungan sekitar diajak menjadi role model nyata. Anak-anak belajar cinta bukan hanya dari buku, melainkan dari contoh sikap sabar, adil, dan penuh kasih yang mereka saksikan setiap hari.
Pendekatan Kurikulum Cinta bersifat holistik. Pendekatan ini tidak hanya mengasah akal, tetapi juga merawat hati, tubuh, jiwa, dan relasi sosial. Anak-anak diajak menyeimbangkan prestasi akademik dengan kesehatan fisik, kestabilan emosi, dan penguatan spiritualitas.
Tak kalah penting, keterlibatan komunitas menjadi kunci. Nilai-nilai cinta tak cukup ditanam di ruang kelas; ia harus berakar di rumah, di lingkungan, dan di ruang-ruang publik. Sebab keluarga dan masyarakat adalah sekolah pertama tempat anak belajar kejujuran, penghormatan, dan kepedulian.
Melalui Kurikulum Cinta, diharapkan muncul generasi baru yang tak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga punya hati yang peduli dan penuh kasih. Generasi yang berani berkata jujur, rela membantu tanpa diminta, dan selalu menghargai perbedaan. Cinta di sini bukan sekadar rasa suka antarpribadi, tetapi juga cinta kepada kebenaran, kepada sesama manusia, kepada bangsa, bahkan cinta kepada Tuhan. Cinta yang mengajarkan anak-anak menjadi rendah hati ketika berhasil dan tetap bersemangat ketika gagal.
Dalam jangka panjang, Kurikulum Cinta bukan hanya proyek pendidikan, tetapi sebuah gerakan budaya. Sebuah upaya bersama untuk membuat sekolah kembali menjadi taman yang menyenangkan, di mana anak-anak belajar bukan karena takut, melainkan karena cinta. Sejatinya sejatinya, pendidikan bukan hanya tentang membuat anak tahu lebih banyak, tetapi juga membuat mereka mencintai lebih dalam mencintai ilmu, mencintai sesama, mencintai alam dan mencintai kehidupan itu sendiri.